Mohon tunggu...
Ridho Putranto
Ridho Putranto Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pembelajar

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah” (Pramoedya Ananta Toer)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kuasa Antroposen dan Krisis Ekologi

31 Agustus 2023   08:21 Diperbarui: 31 Agustus 2023   08:23 263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kota Jakarta baru-baru ini mencatatkan hasil yang cukup mencengangkan dimana indeks kualitas udara terburuk nomor empat di dunia dengan kualitas udara yang tercatat oleh Air Quality Index (AQI) mencapai angka 156 dan masuk pada kategori udara yang tidak sehat. Situs ini juga merekomendasikan agar mengenakan masker, menutup jendela dan mengurangi aktivitas di luar ruangan.

Bukan hanya pencemaran udara saja yang terjadi di Jakarta, namun juga pencemaran sampah di lautan juga menjadi sebuah permasalah serius terkait dengan lingkungan hidup. Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), pada tahun 2020 wilayah lautan Indonesia sudah tercemar oleh sekitar 1.772,7 gram sampah per meter persegi (g/m2). Jenis sampah yang paling banyak ditemukan adalah sampah plastik, dengan bobot seberat 627,80 g/m2. Jumlah itu memiliki proporsi 35,4% dari total sampah di laut Indonesia pada 2020.

Terkait dengan berbagai macam problematika lingkungan hidup, faktor penyebab salah satunya adalah cara manusia memandang alam itu sendiri. Semenjak renaissance atau masa pencerahan terjadi di Eropa Barat dari abad ke-16, terjadi perubahan yang signifikan antara hubungan manusia dan alam semesta dan konsep inilah yang dijelaskan oleh A.S. Keraf dan Fritjof Capra dalam buku yang berjudul "Filsafat dan Lingkungan Hidup".

Selain itu, dalam karya tersebut menjelaskan tentang pembahasan awal filsafat yang masih bertumpu pada hubungan manusia dan alam semesta yang bersifat organis atau sebagai kesatuan yang tak terpisahkan yang kemudian setelah masa renaissance yang dimana sebuah masa yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan sehingga menyingkirkan peran dari alam semesta sebagai kesatuan organis.

Akibatnya, relasi manusia dan alam semesta menjadi relasi yang reduksionistis. Alam semesta dinilai manusia hanya sebagai "alat" dalam mencapai tujuan umat manusia. Oleh sebabnya, terdapat perubahan paradigma atau cara pandang manusia terhadap lingkungan hidup dari kosmosentris yang berpusat pada alam semesta menjadi antroposentris atau berpusat pada manusia.

Paradigma antroposentris, pandangan bahwa manusia berada di pusat dan memiliki nilai tertinggi dalam alam semesta, telah lama menjadi landasan budaya dan pemikiran dominan dalam masyarakat modern. Dalam konteks ekologi, paradigma antroposentris dapat dianggap sebagai pandangan bahwa alam hanya berfungsi sebagai sumber daya yang dapat dimanfaatkan manusia tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap lingkungan. Pandangan ini telah menyebabkan krisis ekologi yang semakin meningkat.

Krisis ekologi merupakan hasil dari kerusakan dan degradasi lingkungan alam yang disebabkan oleh kegiatan manusia. Dalam era industri modern ini, manusia telah mengubah ekosistem alam secara drastis melalui deforestasi, polusi, perubahan iklim, dan eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan. Krisis ekologi yang terjadi ini kemudian mengancam keberlanjutan planet dan keselamatan serta kesejahteraan manusia itu sendiri.

Kuasa antroposentris telah menyebabkan manusia mengabaikan pentingnya menjaga keseimbangan ekosistem dan keanekaragaman hayati. Sebagai contoh, manusia seringkali mengambil sumber daya alam secara berlebihan tanpa mempertimbangkan kemampuan regenerasi alam. Eksploitasi berlebihan ini mengakibatkan kehancuran ekosistem, kepunahan spesies, dan kerusakan lingkungan yang tak dapat diperbaiki.

Krisis ekologi juga berdampak negatif terhadap manusia itu sendiri. Perubahan iklim yang disebabkan oleh pelepasan gas rumah kaca dan polusi udara menyebabkan berbagai masalah kesehatan, seperti peningkatan penyakit pernapasan serta dapat menimbulkan penurunan kualitas air dan pangan. Selain itu, berkurangnya sumber daya alam juga dapat menyebabkan kemiskinan, migrasi massal, bahkan sampai terjadinya konflik sosial di tengah masyarakat.

Dalam menghadapi krisis ekologi ini, pergeseran dari pandangan antroposentris menuju pandangan yang lebih holistik dan ekosentris menjadi semakin penting. Pendekatan ekosentris mengacu pada pandangan atau sikap yang menempatkan lingkungan alam dan ekosistem sebagai fokus utama.

Maka dari itu, paradigma ekosentris menekankan pentingnya menjaga keseimbangan ekosistem dan menghargai nilai intrinsik semua bentuk kehidupan, bukan hanya manusia. Ini mengharuskan kita untuk berpikir lebih jauh dari sekadar kepentingan manusia dan mempertimbangkan dampak setiap tindakan terhadap planet ini dan makhluk-makhluk yang menghuninya.

Dalam hal ini, penting bagi masyarakat untuk secara kolektif mengubah paradigma dan nilai-nilai yang mendasari tindakan mereka. Dengan melepaskan diri dari ketergantungan terhadap pandangan antroposentris yang sempit, kita dapat membuka jalan menuju solusi yang lebih komprehensif dan berkelanjutan terhadap krisis ekologi yang sedang dihadapi.

Manusia harus menyadari bahwa mereka adalah bagian integral dari alam dan memiliki tanggung jawab untuk merawat dan menjaga keberlanjutan lingkungan. Konsep yang lebih berkelanjutan, seperti penggunaan energi terbarukan, pengurangan limbah, dan pelestarian habitat alam, harus diadopsi secara luas untuk memperbaiki keadaan ekologi planet ini.

Dalam menghadapi krisis ekologi, berbagai pihak juga turut andil yang dalam hal ini adalah kolaborasi antara pemerintah, masyarakat sipil, dan sektor swasta juga sangat penting. Sehingga, diperlukan upaya bersama dalam merancang kebijakan perlindungan lingkungan, mempromosikan gaya hidup berkelanjutan, dan mengedukasi masyarakat tentang pentingnya menjaga ekosistem. Hanya dengan melakukan upaya bersama ini, kita dapat membalikkan dampak negatif akibat proses industrialisasi dan mengatasi krisis ekologi yang semakin meningkat.

Pendidikan Lingkungan Hidup: Proses Internalisasi Kesadaran Ekosentris

Isu lingkungan hidup merupakan sebuah isu yang sering dibahas akhir-akhir ini dan banyak aktivis atau bahkan organisasi yang terkait dengan lingkungan hidup sering membahas terkait dengan isu satu ini. Dan yang paling sering diperbincangkan adalah terkait bagaimana unsur manusia sebagai titik sentral kehidupan di muka bumi mampu untuk merawat dan menjaga keberlangsungan ekologi.

Dalam upaya merawat keberlangsungan lingkungan hidup, hal yang pertama dilakukan adalah menanamkan sebuah kesadaran tentang pentingnya merawat ekosistem. Proses internalisasi atau penanaman kesadaran mengenai pentingnya merawat ekosistem salah satunya ialah dengan proses pendidikan.

Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) merupakan upaya untuk menyadarkan individu akan pentingnya menjaga dan melestarikan ekosistem serta mengembangkan kesadaran ekosentris. Konsep ekosentris mengarah pada pemahaman bahwa semua makhluk hidup dan lingkungannya saling terkait dan saling mempengaruhi dalam sebuah ekosistem yang kompleks.

Dalam PLH, individu diajarkan tentang pentingnya menjaga keseimbangan ekosistem dan melaksanakan tindakan yang berkelanjutan untuk mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan. Selain itu, PLH juga mendorong individu untuk menjaga kebersihan lingkungan seperti contohnya dengan mengurangi penggunaan plastik sekali pakai, mendaur ulang sampah, dan menjaga kebersihan sungai dan laut. Hal ini bertujuan untuk mengurangi pencemaran lingkungan serta melindungi kehidupan laut dan ekosistem air.

Melalui PLH, individu juga diajarkan tentang pentingnya menghargai dan menghormati semua makhluk hidup. Pendidikan ini mendorong individu untuk berperilaku ramah lingkungan dan berempati terhadap makhluk hidup lainnya. Menanamkan kesadaran ekosentris ini dapat membentuk sikap peduli dan bertanggung jawab terhadap lingkungan serta mendorong individu untuk berpartisipasi dalam pelestarian lingkungan.

Dengan demikian, pendidikan lingkungan hidup memiliki peran penting dalam membentuk perilaku individu yang ramah lingkungan, peduli terhadap ekosistem, dan menjalani kehidupan yang berkelanjutan. Melalui pendidikan ini, diharapkan masyarakat dapat menjaga dan melestarikan alam serta menjalani kehidupan yang harmonis dengan lingkungan sekitar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun