TUGAS KONEKSI ANTAR MATERI MODUL 1.4
BUDAYA POSITIF
Oleh : Ridho Pahlawan, S.Pd., M.Pd. (Calon Guru Penggerak Angkatan 10)
Artikel ini merupakan paparan koneksi antar materi pada modul 1 pada program Pendidikan Guru Penggerak (PGP) Angkatan 10. Koneksi antar materi merupakan salah satu tugas penutup dalam mempelajari sebuah modul. Pada tahap ini, saya akan meninjau ulang keseluruhan materi pembelajaran di paket Modul 1 dan membuat sebuah koneksi antar materi yang sudah saya pelajari. Perlu diketahui bahwa, Modul 1 terdiri dari 4 bagian materi, yaitu Filosofi Pendidikan Nasional Ki Hadjar Dewantara, Nilai dan Peran Guru Penggerak, Visi Guru Penggerak, serta Budaya Positif.
Tujuan pendidikan menurut filosofi pendidikan nasional Ki Hadjar Dewantara adalah menuntun segala kekuatan kodrat yang ada panda anak untuk mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya, baik sebagai seorang manusia maupun sebagai anggota masyarakat.Â
Dalam upaya mewujudkan tujuan tersebut, maka seorang guru harus memiliki nilai-nilai dalam dirinya serta mampu menjalankan perannya agar dapat menuntun segala proses tumbuh kembangnya murid melalui pengajaran dan pendidikan. Agar proses tersebut dapat berjalan sesuai dengan harapan, tentu sebagai seorang guru penggerak harus memiliki suatu visi yang memuat impian, cita-cita, dan nilai-nilai yang diyakini, yang dapat menjadi panduan dalam melangkah, serta sesuatu yang dapat memberikan gambaran ideal tentang tujuan utama yang ingin dicapai.Â
Dalam upaya mewujudkan visi guru penggerak, tentu tidak cukup hanya dengan bermodalkan pengetahuan dan pemahaman mengenai filosofi pendidikan nasional saja, atau cukup dengan memiliki nilai dan peran sebagai penggerak saja, melainkan juga harus didukung dengan lingkungan yang baik yaitu lingkungan yang memiliki budaya positif.
Pembiasaan-pembiasaan positif atau yang dikenal sebagai budaya positif dapat dibentuk melalui inisiatif-inisiatif atau prakarsa perubahan yang dirancang dalam tahapan-tahapan mewujudkan visi sekolah impian. Budaya positif yang terbentuk akan menimbulkan kebiasaan-kebiasaan baru di lingkungan belajar, sehingga akan menjadikan sekolah sebagai tempat yang menyenangkan, aman, dan nyaman dalam belajar. Lingkungan ini akan mendorong lahirnya murid yang merdeka, murid yang mampu mengembangkan segala potensi yang ada pada dirinya, sehingga akhirnya dapat membawa mereka mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.
Peran Guru Penggerak dalam Menciptakan Budaya Positif
Dalam membangun budaya positif di sekolah diperlukan kolaborasi atara setiap elemen yang terlibat dalam lingkungan belajar anak, seperti kepala sekolah, guru, murid, dan orangtua. Sebab, tanpa dukungan dari pihak-pihak tersebut, tentu akan sulit mewujudkan budaya positif yang diimpikan.
Sebagai seorang guru penggerak yang memiliki peran dalam memimpin pembelajaran yakni mendorong terwujudnya wellbeing dalam ekosistem pendidikan sekolah, salah satunya tentu harus mampu menciptakan lingkungan sekolah yang aman, nyaman, dan menyenangkan yaitu melalui penerapan budaya positif di sekolah dengan menerapkan posisi kontrol restitusi, keyakinan sekolah/kelas, dan segitiga restitusi.
Dalam upaya menggerakkan semua pihak di sekolah dalam menciptakan budaya positif di sekolah, diperlukan kolaborasi yang solid. Melalui peran sebagai coach bagi guru lain, sebagai guru penggerak dapat berbagi pengetahuan dan pemahaman tentang konsep inti budaya positif seperti disiplin positif, motivasi perilaku manusia (hukuman dan penghargaan), posisi kontrol restitusi, keyakinan sekolah/kelas, dan segitiga restitusi, serta berbagi praktik baik penerepannya di sekolah.
Â
Refleksi Pemahaman atas Keseluruhan Materi Modul Budaya Positif
Sejauh mana pemahaman Anda tentang konsep-konsep inti yang telah Anda pelajari di modul ini, yaitu: disiplin positif, teori kontrol, teori motivasi, hukuman dan penghargaan, posisi kontrol guru, kebutuhan dasar manusia, keyakinan kelas, dan segitiga restitusi. Adakah hal-hal yang menarik untuk Anda dan di luar dugaan?
Sebagai guru penggerak, saya menyadari bahwa dalam menjalankan peran sebagai pemimpin pembelajaran, diharapkan mampu menggerakkan ekosistem sekolah untuk berkolaborasi dan bersinergi dalam menciptakan lingkungan belajar yang berpihak pada murid melalui penerapan budaya atau disiplin positif di sekolah.
Disiplin positif merupakan salah satu bentuk pendidikan atau cara belajar kepada anak agar dapat memahami bagaimana cara mengontrol diri, dan bagaimana menguasi diri dalam memilih tindakan yang mengacu pada nilai-nilai yang diyakininya. Dengan kata lain, disiplin postif merupakan proses membentuk murid menjadi seseorang yang bisa bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukannya karena mereka mendasarkan tidakan mereka pada nilai-nilai kebajikan universal. Sebagai pendidik, tujuan kita adalah menciptakan anak-anak yang memiliki disiplin diri sehingga mereka bisa berperilaku dengan mengacu pada nilai-nilai kebajikan universal dan memiliki motivasi intrinsik, bukan ekstrinsik.
Disiplin positif membantu menciptakan landasan yang kuat untuk perkembangan karakter yang baik dan moral pada anak-anak. Dengan mendorong mereka untuk merenungkan nilai-nilai dan keyakinan mereka, mereka akan menjadi individu yang bertanggung jawab, bertindak sesuai dengan nilai-nilai kebajikan, dan memiliki integritas yang kuat dalam perilaku mereka. Disiplin positif membantu membangun dasar motivasi intrinsik yang berkelanjutan, yang akan membentuk kepribadian mereka dengan cara yang positif dan berkelanjutan.
Dalam membangun disiplin positif dengan menjalankan keyakinan kelas/sekolah, tentu tidak mungkin sepenuhnya dapat berjalan mulus. Terkadang, bilamana ada suatu pelanggaran, tentunya sesuatu harus terjadi. Dalam program disiplin positif ada yang dinamakan dengan Restitusi. Restitusi adalah proses menciptakan kondisi bagi murid untuk memperbaiki kesalahan mereka, sehingga mereka bisa kembali pada kelompok mereka, dengan karakter yang lebih kuat (Gossen; 2004).Â
Restitusi juga merupakan proses kolaboratif yang mengajarkan murid untuk mencari solusi untuk masalah mereka, dan membantu murid berpikir tentang orang seperti apa yang mereka inginkan, dan bagaimana mereka harus memperlakukan orang lain (Chelsom Gossen, 1996).
Dalam menjalankan restitusi, sebagai guru kita hendaknya berada di posisi kontrol sebagai seorang manajer. Posisi Manajer ini menciptakan lingkungan yang mendukung pertumbuhan pribadi, pengembangan keterampilan berpikir kritis, dan kemampuan mengatasi masalah pada murid. Pendekatan ini membantu murid untuk berperilaku secara lebih bertanggung jawab, dan pada saat yang bersamaan mengembangkan kemampuan untuk mengatasi masalah dan membuat keputusan yang baik.Â
Hal ini juga menciptakan hubungan yang lebih positif antara guru dan murid, di mana guru berperan sebagai fasilitator perkembangan pribadi dan pemahaman diri pada murid. Terdapat tahapan-tahapan yang dapat dilakukan dalam melakukan restitusi yang dapat kita sebut sebagai Segitiga Restitusi. 3 Sisi Segitiga Restitusi antara lain:
- Menstabilkan Identitas : Bagian dasar dari segitiga bertujuan untuk mengubah identitas anak dari orang yang gagal karena melakukan kesalahan menjadi orang yang sukses.
- Validasi Tindakan yang Salah : Setiap tindakan kita dilakukan dengan suatu tujuan, yaitu memenuhi kebutuhan dasar. Kalau kita memahami kebutuhan dasar apa yang mendasari sebuah tindakan, kita akan bisa menemukan cara-cara paling efektif untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
- Menanyakan Keyakinan : Ketika identitas sukses telah tercapai (langkah 1) dan tingkah laku yang salah telah divalidasi (langkah 2), maka anak akan siap untuk dihubungkan dengan nilai-nilai yang dia percaya, dan berpindah menjadi orang yang dia inginkan.
Yang menarik dari pembelajaran ini adalah, bahwa melalui pendekatan restitusi ini dapat menciptakan landasan yang kuat untuk perubahan positif dan pengembangan pribadi anak. Dengan berfokus pada perubahan identitas dan dukungan emosional, pendekatan ini membantu menciptakan hubungan yang positif antara guru dan murid, di mana guru berperan sebagai fasilitator perkembangan pribadi dan pemahaman diri pada murid.
Perubahan apa yang terjadi pada cara berpikir Anda dalam menciptakan budaya positif di kelas maupun sekolah Anda setelah mempelajari modul ini?
Dalam upaya membangun budaya positif di lingkungan sekolah kita perlu untuk melibatkan murid dalam perencanaan dan pelaksanaannya, yang memberikan mereka rasa tanggung jawab dan memiliki, yang pada gilirannya membantu menciptakan lingkungan yang nyaman, aman, dan positif. Berikut adalah beberapa poin penting yang dapat diambil sebagai kesimpulan dari pembelajaran ini:
- Partisipasi Murid: Melibatkan murid dalam merencanakan dan mengimplementasikan budaya positif adalah cara yang efektif untuk menciptakan keterlibatan mereka dalam proses ini. Ini juga memungkinkan mereka untuk merasa memiliki budaya sekolah atau kelas, yang dapat meningkatkan rasa tanggung jawab dan rasa memiliki.
- Pemahaman Motivasi Murid: Mencoba memahami motivasi di balik perilaku murid yang melanggar peraturan adalah kunci untuk mengatasi masalah dengan cara yang efektif. Ini memungkinkan guru untuk meresapi perspektif murid dan mencari solusi yang sesuai.
- Perubahan Peran Guru: Mengubah peran dari penghukum atau pembuat rasa bersalah menjadi manajer adalah perubahan yang signifikan. Ini menciptakan lingkungan di mana guru berfungsi sebagai fasilitator pertumbuhan dan pengembangan pribadi murid, bukan sebagai otoritas yang menghukum.
- Menerapkan Segitiga Restitusi: Pendekatan ini mencakup penggunaan segitiga restitusi sebagai alat untuk menyelesaikan pelanggaran terhadap keyakinan atau kesepakatan kelas. Ini adalah cara yang konstruktif untuk mengajak murid untuk merenung, memahami, dan memperbaiki perilaku mereka.
Dengan pendekatan ini, diharapkan mampu menciptakan budaya yang positif dan mendukung perkembangan pribadi murid di sekolah. Ini juga membantu dalam mengembangkan hubungan yang positif antara guru dan murid, yang dapat mempengaruhi suasana di kelas dan sekolah secara keseluruhan.
Pengalaman seperti apakah yang pernah Anda alami terkait penerapan konsep-konsep inti dalam modul Budaya Positif baik di lingkup kelas maupun sekolah Anda?
Ketika dihadapkan pada suatu situasi atau permasalahan dengan murid, terutama dalam hal mengatasi perilaku, saya sering berbeda pendapat dengan rekan guru lain yang lebih mendukung pendekatan "penghakiman" sebagai metode yang paling efektif dalam membangun budaya disiplin positif. Oleh karena itu, saya harus lebih berhati-hati dan memberikan contoh kepada rekan-rekan guru dalam menerapkan pendekatan pengelolaan perilaku.
Saya menyadari bahwa perubahan dalam pendekatan penanganan masalah murid telah membuat beberapa orang merasa agak bingung, terutama dalam menyelesaikan masalah yang muncul.Â
Namun, setelah saya mulai menerapkan budaya positif di sekolah dengan membangun keyakinan kelas dan mengimplementasikan prinsip segitiga restitusi, saya melihat peningkatan antusiasme dan partisipasi murid dalam proses pembelajaran. Murid-murid menjadi lebih percaya diri dan disiplin dalam menerapkan nilai-nilai kebaikan yang mereka anut tanpa adanya tekanan eksternal.
Bagaimanakah perasaan Anda ketika mengalami hal-hal tersebut?
Saya merasa sangat senang dan termotivasi untuk menerapkan budaya positif di lingkungan sekolah, dan saya berharap dapat berbagi praktik baik ini dengan para sesama guru di sekolah saya. Selain itu, saya telah merasa lebih mampu dalam mengendalikan emosi dan diri saya, serta merasa lebih dekat dengan para murid daripada sebelumnya.
Setelah memahami teori kontrol dengan lebih baik, saya merasa terdorong untuk mengimplementasikan peran saya sebagai manajer dan menerapkan pendekatan segitiga restitusi dalam menangani masalah-masalah yang melibatkan murid. Dengan mengambil peran manajer, saya memberikan kesempatan bagi murid untuk bertanggung jawab atas perilaku mereka dan mendukung mereka dalam menemukan solusi untuk permasalahan yang timbul.
Menurut Anda, terkait pengalaman dalam penerapan konsep-konsep tersebut, hal apa sajakah yang sudah baik? Adakah yang perlu diperbaiki?
Setelah menerapkan prinsip-prinsip budaya positif dalam proses pembelajaran, yang menjadi hal positif adalah munculnya motivasi intrinsik pada murid untuk menjalankan budaya positif sesuai dengan nilai-nilai kebajikan yang telah dibangun bersama.Â
Namun, terdapat beberapa aspek yang perlu diperbaiki, terutama dalam menggeser peran guru dari yang biasanya berposisi sebagai Penghukum dan Pemberi Rasa Bersalah, menjadi lebih menempatkan diri ke posisi sebagai Manajer. Selain itu, perlu juga perbaikan dalam cara guru menyampaikan nilai-nilai kepada murid, dengan menekankan bahwa disiplin positif dilakukan untuk menghargai diri sendiri dan orang lain, bukan semata-mata untuk menghindari hukuman atau mencari penghargaan.
Sebelum mempelajari modul ini, ketika berinteraksi dengan murid, berdasarkan 5 posisi kontrol, posisi manakah yang paling sering Anda pakai, dan bagaimana perasaan Anda saat itu? Setelah mempelajari modul ini, posisi apa yang Anda pakai, dan bagaimana perasaan Anda sekarang? Apa perbedaannya?
Sebelumnya, saya sering mengambil peran sebagai pembuat rasa bersalah dan pemantau dalam menangani masalah disiplin. Pada waktu itu, saya berkeyakinan bahwa memberikan konsekuensi ketika murid melanggar kesepakatan adalah pendekatan yang paling efektif untuk mengatasi perilaku yang tidak sesuai, dengan harapan agar mereka tidak mengulanginya lagi. Namun, ternyata masalah tersebut sering terulang berulang kali. Kini, saya berusaha untuk menjalankan peran sebagai seorang manajer dalam menyelesaikan masalah murid dengan menerapkan pendekatan Segitiga Restitusi.
Saat ini, saya merasa lebih mampu mengendalikan emosi saya dan merasa bahagia karena dapat membimbing murid-murid dalam menemukan solusi atas permasalahan mereka sendiri. Perbedaan yang paling signifikan adalah dalam hal emosi, di mana saya sekarang lebih baik dalam mengendalikan diri, dan juga dalam respon murid-murid terlihat mereka tampak lebih bahagia dan tidak terbebani.
Sebelum mempelajari modul ini, pernahkah Anda menerapkan segitiga restitusi ketika menghadapi permasalahan murid Anda? Jika iya, tahap mana yang Anda praktekkan dan bagaimana Anda mempraktekkannya?
Dalam menangani masalah atau kasus yang melibatkan murid, saya secara tidak sadar telah menerapkan langkah-langkah Segitiga Restitusi, terutama dalam upaya menstabilkan identitas dan mengvalidasi tindakan yang salah. Namun, satu aspek yang belum saya lakukan adalah menanyakan keyakinan murid, sehingga mereka dapat benar-benar memahami dan menerapkan nilai-nilai kebajikan dalam diri mereka, sehingga di masa depan mereka tidak akan mengulangi kesalahan yang sama.
Selain konsep-konsep yang disampaikan dalam modul ini, adakah hal-hal lain yang menurut Anda penting untuk dipelajari dalam proses menciptakan budaya positif baik di lingkungan kelas maupun sekolah?
Dalam upaya membangun budaya positif, baik di kelas maupun di lingkunga sekolah secara lebih luas, hal yang sangat penting adalah membangun kerja sama yang kuat antara murid, guru, rekan sejawat, pemangku kepentingan, dan orang tua. Ini akan memastikan bahwa budaya positif dapat dijaga dan berlangsung secara berkelanjutan.
Selain itu, penting juga untuk mempelajari perlunya tindak lanjut yang melibatkan refleksi secara berkala, misalnya pada akhir setiap semester, dan pengawasan terhadap konsistensi penerapan budaya positif di lingkungan sekolah atau kelas. Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa budaya positif yang telah dikembangkan menjadi ciri khas atau nilai tambah yang berkelanjutan bagi sekolah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H