Source image: commonsnetwork.eu
Apa nilai universal yang berlaku di dunia saat ini? Di tengah keterbukaan dunia dimana kita bisa menyaksikan berbagai aksi yang dilakukan banyak kalangan dari seluruh penjuru, apa esensi yang bisa diambil?
Kita mungkin familiar dengan sebutan humanisme, kosmopolitanism, feminisme dan desa dunia serta globalisasi. Dari ke semua istilah itu, apa benang merah yang bisa kita temukan?
Humanisme adalah soal kemanusiaan dimana setiap manusia punya jiwa yang peduli dan juga baik kepada sesama. Setiap orang setara dan feminisme juga mengatakan hal yang sama. Orang liberal mengatakan bahwa kita ini adalah makhluk yang bebas. Bebas dalam hal ini adalah memilih entah itu politik ataupun itu, berpendapat, dan sebagainya.
Kosmopolitan ini adalah unsur penting di dalamnya dimana identitas lahir coba untuk disingkirkan dengan memasukkan mindset kalau kita ini manusia dunia. Sedangkan globalisasi dan desa dunia adalah faktor yang menjadi pengaruh perubahan mindset manusia itu sendiri.
Aksesibilitas terhadap informasi dengan ditemukannya telegram sampai internet membuat kita semakin mudah menjangkau setiap manusia di berbagai belahan dunia. Dengan kata lain, faktor-faktor seperti humanism, kosmopolitanism dan sebagainya ingin menciptakan dunia yang ideal atau katakanlah utopis untuk masyarakat yang lebih baik.
Saya berpendapat bahwa ada empat nilai universal umum berlaku saat ini: kepedulian, anti diskriminasi dan kesetaraan serta kebebasan. Prinsip ini seperti candu sekarang, dimana kita sekarang berusaha menjadi manusia yang baik, tidak egois dan memiliki kepeduliaan yang tinggi terhadap sesama. Hak asasi manusia menjadi norma universal yang harus dituruti oleh siapapun: negara, masyarakat, organisasi.
Rasanya ketika mengatakan ini, ada rasa tidak terima dengan nilai hidup yang berlaku sekarang. Bukan begitu, bahkan setiap agama mengajarkan cinta dan kasih sayang serta kepeduliaan terhadap manusia.
Di era sekarang, kita tidak lagi dibatasi oleh perbatasan negara karena berkomunikasi jadi semakin mudah. Terima kasih kepada inovator hebat yang telah menciptakan teknologi komunikasi hebat dan jenius.
Kita tidak lagi merasa sendiri dan merasa bahwa kita ini manusia dunia. Perbedaan suku, agama serta identitas lainnya seperti tidak ada. Pandangan kita berubah terhadap orang lain dan memandang mereka sebagai manusia, terlepas dari negara manapun mereka berada. Ketika krisis imigran melanda Uni Eropa, mereka menampung imigran tersebut dengan tangan terbuka --walaupun beberapa negara sudah mulai menutup perbatasannya.
Begitu juga Kolombia dan Brazil yang menerima imigran dari Venezuela serta banyaknya masyarakat dunia yang berusaha menolong rakyat Afrika dari ancaman kelaparan, penyakit dan sebagainya. Itu menunjukkan bagaimana prinsip humanis dalam diri kita bergerak untuk menolong sesama.
Semua orang sekarang berbicara tentang anti diskriminasi dan kesetaraan. Dua topik itu tidak akan ada habisnya. Gerakan seperti feminisme contohnya bicara tentang perlakuan setara antara laki-laki dan perempuan dan kesempatan yang sama.
Orang-orang liberal pasti akan berbicara tentang kesetaraan sesuai konstitusi karena demokrasi pada dasarnya adalah supremasi terhadap hak asasi manusia, khususnya hak politik, berpendapat, berbicara dan maju sebagai pemimpin negara.
Ke mana arah dunia sekarang ini? Sepertinya kita ingin menciptakan dunia tanpa adanya diskriminasi, laki-laki dan perempuan setara serta dapat kesempatan yang sama. Manusia saling peduli satu sama lain dan berusaha semaksimal mungkin membantu yang kesusahan. Jika dibayangkan, dunia yang seperti itu sangat ideal. Pertanyaan sederhananya adalah apakah kita bisa menciptakan dunia yang seperti itu?
Jawaban saya adalah tidak. Menciptakan dunia yang setara, adil, dan dimana manusia saling peduli satu sama lain serta tidak ada diskriminasi adalah utopia yang mustahil untuk diciptakan.
Faktor pertamanya adalah kita bicara soal prasangka dan ketakutan. Ini berkaitan dengan identitas. Menanamkan mindset bahwa kita semua adalah manusia tanpa memandang elemen SARA sangatlah sulit karena kita akan selalu terikat dengan identitas yang terpatri dalam diri kita.
Ketika bermain soal identitas, ada ketakutan kalau nilai yang selama ini mereka anut bertabrakan dan tidak cocok. Di Indonesia sendiri, tingkat toleransi dan intoleransi beda tipis. Berdasarkan hasil survey Wahid Foundation dan LSI tahun 2016, 40,4% toleran tetapi 38,4 persen intoleran.
Islamophobia di Eropa juga masih terus berlanjut dimana ada ketidakcocokan soal nilai diantara masyarakat beragama Islam dan native disana. Di negara Polandia, seorang muslim asal Pakistan diserang oleh sekelompok orang di Ozorkow pada tahun 2017. Sementara, di Rusia antara tahun 2012 dan 2016, ada lima imam yang dibunuh di daerah Stavropool.
Artinya apa, bahwa kita ini tidak bisa lepas dari identitas yang dibawa sejak lahir. Dalam cakupan negara dimana ini menjadi wadah bagi semua elemen masyarakat untuk berinteraksi dan bertempat tinggal dengan aman pun masih ada perlakuan seperti itu.
Dengan kata lain, kita lebih nyaman untuk berinteraksi dengan orang yang sepemahaman dan sulit untuk menerima perbedaan identitas. Ada ketakutan kalau kita akan kehilangan identitas kita ketika semakin banyak orang yang berbeda masuk ke negara kita.
Kemudian soal kesetaraan, akan menjadi aneh jika kita semua setara. Dunia tidak bekerja pada prinsip kesetaran: Elit dan proletar; pemimpin dengan anggota; pemilik modal dan buruh. Selalu ada hierarki, karena harus ada yang mengatur.
Permasalahannya adalah apakah orang yang berada pada posisi atas bisa berlaku adil atau tidak dengan yang dibawahnya. Soal gaji dan sebagainya itu ditentukan oleh porsi kerja masing-masing. Yang hanya setara adalah soal kesempatan, sisanya biarkan usaha kita yang menjawab. Laki-laki dan perempuan juga tidak akan menemukan kesetaraan karena peran yang mereka kerjakan juga berbeda.
Bagi saya, konsep kesetaraan sangat abstrak dan tidak ada indikator yang cocok. Jika indikator tersebut hanya berasal dari sanubari manusia itu sendiri, itu tidak valid karena setiap orang punya ukurannya soal kesetaraan. Tetapi, yang perlu ditekankan adalah bagaimana kita menciptakan keadilan.
Selalu suka perkataan bapak Anies Baswedan bahwa adil itu proporsional bukan sama. Setiap orang itu ada porsinya masing-masing tidak bisa disamakan porsinya. Ibarat kata, porsi makan orang gemuk akan berbeda dengan si langsing.
Tetapi saya berpikir kalau diskriminasi bisa dihilangkan asalkan kita bisa menerapkan prinsip keadilan dengan sebaik-baiknya. Adil memang tidak setara tetapi dia tidak melupakan hak-hak yang menjadi porsinya. Contohnya adalah memberikan hak rakyat terlepas dari identitas mereka untuk mengenyam pendidikan, itu hak merekan kan?
Mungkin tidak bisa masuk ke sekolah yang bagus seperti orang dengan kemampuan ekonomi menengah ke atas, tetapi setidaknya mereka telah diberi kesempatan untuk belajar bersungguh-sungguh dan mengubah nasibnya. Bahkan sudah banyak beasiswa. Pada intinya, kita memang tidak akan bisa setara antara satu dengan yang lainnya dalam banyak hal, tetapi memberikan hak dan kesempatan itulah yang menjadi pembeda.
Semua hal itu ada porsinya, bahkan tingkat kebebasan pun ada batasannya. Tidak selamanya manusia itu bebas karena ada hukum yang mengikat mereka seperti hukum agama, pidana , perdata serta hukum tidak tertulis seperti etika dan adat istiadat. Mereka ini seperti pengingat kita kalau di dunia ini ada aturan main yang berlaku. Bahkan, ketika Hegel menegaskan kalau ruh itu pada dasarnya bebas, tetapi tanpa adanya hukum-hukum tersebut, yang ada hanyalah kekacauan.
 Adil tanpa diskriminasi serta kebebasan yang bertanggung jawab dan rasa kepedulian terhadap sesama. Sisanya tinggal mengikuti. Kita tidak perlu menanamkan mindset bahwa kita ini manusia dunia sehingga harus peduli terhadap sesama.
Tidak mungkin kita bisa menghilangkan identitas yang kita bawa sejak lahir. Tetapi, setiap manusia ingin diperlakukan dengan baik sehingga perlakukan manusia seperti kita ingin diperlakukan. Kita ingin diperlakukan adil, kita harus memperlakukan orang lain sama. Itu pandangan saya.
Debatable itu mungkin karena setiap orang punya pengalaman subjektif masing-masing, tetapi menerima semua itu dengan pikiran terbuka tanpa adanya menilai dan menjatuhkan itu yang terpenting. Kita tidak akan bisa menciptakan dunia yang ideal tetapi kita bisa selalu memperbaiki hal-hal yang menurut kita salah dengan cara masing-masing.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H