Tulisan ini  hanyalah opini penulis terkait  tren dunia internasional yang sedang terjadi saat ini. Kritik dan saran yang membangun akan sangat penulis hargai.
Dunia sedang ramai memperbincangkan "turunnya demokrasi" dan sebagainya. Fenomena "Brexit" di Uni Eropa menjadi titik balik bagi berkembangnya populisme sayap kanan di Eropa. Naiknya Donald Trump menjadi "pelumas" dan juga motivasi bagi populisme sayap kanan di Eropa untuk naik ke puncak kepemimpinan.
Kekuatan revisionis seperti Cina dan Rusia semakin meningkat  apalagi dengan kesuksesan Rusia mendapatkan Crimea. Ekonomi Cina yang kuat mulai menjadi pengganti alternatif  bagi dunia khususnya Asia.
Ketika Francis Fukuyama mengeluarkan tesis "The End of History", dia mengatakan bahwa tatanan Liberal pada akhirnya akan mendominasi dunia. Pemikiran Hegel mengatakan sejarah bergerak ke arah yang semakin rasional. Jika digabungkan antara pemikiran Francis Fukuyama dan Hegel akan mendapatkan sintesis bahwa Tatanan Liberal merupakan tatanan yang rasional karena saat ini, dunia Internasional didominasi oleh prinsip Liberal.Â
Hal ini sangat jelas karena banyak negara yang telah menerapkan nilai demokrasi, supremasi HAM, institusi internasional dan pasar bebas. Bahkan negara monarki pun juga menerapkan prinsip demokrasi seperti Malaysia dan Jepang.
Akan tetapi, jika tatanan liberal merupakan tatanan yang (re: mungkin) lebih rasional dibandingkan tatanan sebelumnya, satu pertanyaan yang muncul di benak penulis adalah "Mengapa gelombang populisme sayap kanan justru mulai muncul sebagai tandingan untuk "menggoyang" prinsip liberalisme?". Tentunya hal ini memunculkan sebuah persepsi bahwa tatanan liberal yang berlaku saat ini mulai diragukan rasionalitasnya oleh gelombang populisme.
Keluarnya Trump di TPP, perjanjian Paris, renegosiasi perjanjian dengan kerjasama multilateral seperti NAFTA ataupun Brexit dapat menjadi contoh paling nyata bagaimana tatanan liberal mulai "digoyang". Ironisnya, yang menggoyangkan status quo justru dari aktor utama prinsip Liberal, yakni AS. Trump melihat bahwa AS telah mengalami defisit perdagangan yang besar terhadap negara mitranya.
Oleh karena itu, sikap Trump terhadap NAFTA dan kebijakan perang dagang dengan Cina menunjukkan bahwa Trump ingin mengembalikan supremasi AS dan menghilangkan kerugian yang diderita.
Uni Eropa menghadapi ancaman populisme sayap kanan yang sangat keras. Beberapa negara anggota Uni Eropa seperti Hungaria, Austria, dan Polandia telah digenggam oleh kaum populisme sayap kanan. Jerman pun sudah mulai disusupi partai populisme sayap kanan dimana partai Alternative for Germany (AfD) menjadi partai ketiga terbesar di parlemen.
Memang, Partai Christian Democratic Union of Germany (partai pendukung Merkel) menjadi yang terbesar di parlemen, akan tetapi Merkel harus lebih berhati-hati dalam membuat kebijakan.
Prancis dibawah Macron mungkin masih aman dengan partainya En Marche! mendominasi sebagian besar kursi parlemen, tetapi jika Macron tidak jeli dalam merumuskan kebijakannya dan menunaikan janji kampanye, Front Nationale siap mengkapitalisasi setiap kesalahan yang dibuat.