[caption caption="WA"][/caption]
Menari dalam daftar mimpi.
Memilah segala kemungkinan aksi.
Kemudian aku bertepi sepi.
Adakah garis-garis tinta berhenti pada satu titik?
Tapi suara nurani ribut berbisik.
Ia tak lelah membuat begidik.
Kemudian aku mulai dibuat mengerti.
Memang ada saja visi yang mustahil digenapi.
Karena selaksa ragu terlanjur jadi abu.
Toh, hidup cenderung terjebak realitas kaku.
Ah, aku ingat sebuah sabda.
Seorang ksatria selalu terbukti tidak patah arang.
Maka aku harus memilih senjata.
Tapi tidak berpeluru atau tajam menyayat.
Tapi dapat membongkar nurani.
Menerobos hati.
Akhirnya menggerakkan tangan-tangan yang lain.
Untuk mewujudkan hal-hal yang tak mungkin.
Â
Apalagi aku muak dengan perlawanan fisik.
Maka dengan senjata ini tak akan membuat luka fisik, namum mampu menghantam dasar nurani.
Aku muak dengan pembodohan dan manipulasi.
Maka senjata ini mampu menambal lubang-lubang nalar, membuat mata berbinar, menggugah rasa, hingga membuat insan mengubah haluan.
Supaya lengkap, maka aku harus muak dengan kebisuan apatis.
Sehinga aku mulai mampu memakai senjata ini.
Pena, untuk melontarkan diksi.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H