Akan tetapi, Indonesia tidak bisa lengah dalam menghadapi masalah di Laut Cina Selatan. Pertahanan negara dimaksudkan untuk menegaskan kedaulatan wilayah Indonesia di perbatasan Laut Cina Selatan dari ancaman eksternal yang bersinggungan dengan klaim Tiongkok. Saat ini Tiongkok merupakan negara dengan klaim terbesar di Laut Cina Selatan sehingga sering menimbulkan ketegangan di antara negara-negara pengklaim lainnya. Ketegangan antara Tiongkok dan Vietnam di Laut Cina Selatan meningkat pada tahun 1974 ketika terjadi insiden militer yang melibatkan baku tembak akibat sengketa Pulau Spartly dan Pulau Paracel. Selain itu, pengusiran paksa kapal-kapal penangkap ikan non-Tiongkok yang memasuki perairan tersebut menambah ketegangan (Lunn, 2016). Kebijakan-kebijakan Tiongkok di wilayah sengketa tersebut dianggap merugikan negara-negara lain di sekitarnya. Bahkan, kebijakan Tiongkok di kawasan Laut Tiongkok Selatan telah menyebabkan Amerika Serikat ikut terlibat sebagai kekuatan luar.
Pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang pesat telah membuat negara ini mengambil langkah-langkah agresif untuk mencapai ambisinya, termasuk dengan memperkuat kekuatan militernya. Laut Cina Selatan merupakan basis pertahanan yang vital bagi Tiongkok dalam menjaga stabilitas politik regional. Donges & Hofmann (2018) menyatakan bahwa tindakan suatu negara secara militer bertujuan untuk melindungi eksistensi negara tersebut dari segala ancaman. Pertahanan nasional Indonesia didasarkan pada jumlah personil militer yang tersedia dan kekuatannya. Selain itu, kekuatan militer Indonesia juga diukur berdasarkan jumlah senjata yang tersedia dan teknologi persenjataan. Kekuatan militer Indonesia dapat ditelaah dengan memperhatikan dimensi Sumber Daya Strategis dan Kemahiran Tempur.
Menurut rilis Global Firepower, kekuatan militer Indonesia tahun 2023 berada di peringkat ke-13 dari 145 negara dengan nilai indeks 0,2221. Kondisi ini jauh tertinggal jika dibandingkan dengan Tiongkok yang berada di peringkat ke-3 dengan nilai indeks 0,0722. Nilai Indeks Kekuatan Global sebesar 0,000 menunjukkan nilai sempurna dan belum pernah dicapai oleh negara mana pun. Nilai ini tidak memperhitungkan kemampuan nuklir dan murni melihat kemampuan konvensional. Semakin kecil nilai indeksnya berarti semakin kuat kemampuan tempurnya. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa kekuatan militer Indonesia jauh tertinggal dibandingkan dengan negara-negara lain yang memiliki potensi konflik di kawasan Laut Cina Selatan. Menurut Global Firepower, aset yang dimiliki oleh angkatan laut Indonesia masih jauh tertinggal dibandingkan dengan Tiongkok. Bahkan, indikator personil dan aset angkatan laut Indonesia masih jauh di bawah Tiongkok (Global Firepower, 2023). Perbandingan yang paling mencolok adalah ketersediaan kapal selam. Meskipun sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia hanya memiliki 5 kapal selam. Padahal, kekuatan angkatan laut Tiongkok mencapai 76 unit kapal selam. Akibatnya, Tiongkok melakukan klaim teritorial dan upaya reklamasi lahan di Laut Cina Selatan.
Solusi Terbaik
Saat ini, peran aktif pemerintah Indonesia dalam meredakan konflik Laut Cina Selatan tidak selalu menampilkan kekuatan militer. Pemerintah Indonesia lebih banyak menggunakan pendekatan soft power, yaitu dengan memberikan ide-ide untuk mengoptimalkan sumber daya diplomasi yang dimiliki semua pihak yang terlibat. Kepentingan ekonomi yang dipertaruhkan di Laut Cina Selatan ditambah dengan ketegasan Tiongkok menggarisbawahi pentingnya diplomasi pertahanan dalam menjaga kepentingan nasional. Upaya-upaya ini harus dilengkapi dengan serangkaian strategi, mulai dari keterlibatan diplomatik hingga kesiapan militer, untuk mengatasi dinamika geopolitik dan geomaritim di kawasan ini. Peran Angkatan Laut sebagai instrumen diplomasi, tidak hanya sebagai pejuang perang, tetapi juga mencerminkan pilihan strategis yang dibatasi oleh kondisi domestik dan internasional. Langkah diplomasi hukum dan militer melalui perjanjian dan kerja sama dengan negara lain berperan vital melindungi kedaulatan nasional dan meningkatkan relevansi strategis Indonesia di kawasan ASEAN. Selain itu, Indonesia harus mampu bertindak tegas tanpa pengaruh ikatan militer, politik, atau ideologi negara lain dalam menjaga keamanan maritim dan keamanan regional. Kebijakan Poros Maritim Dunia dan keterlibatan Indonesia melalui Jalur Sutra Maritim Tiongkok menunjukkan navigasi strategis Indonesia dalam menjaga stabilitas keamanan. Peran diplomatik Indonesia tidak hanya terbatas pada isu-isu maritim, tetapi juga komitmen yang lebih luas terhadap keamanan dan stabilitas regional. Melalui upaya diplomatik dan strategis ini, Indonesia menunjukkan kekuatan dan kearifan diplomasi maritimnya dalam menjaga kedaulatan kawasan, stabilitas keamanan, dan membina hubungan baik dengan negara-negara tetangga.
Dukungan pemerintah Indonesia terhadap kekuatan militer merupakan strategi besar dengan konsep Global Maritime Fulcrum (GMF) dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. GMF mengintensifkan diplomasi maritim Indonesia untuk mendorong penyelesaian sengketa perbatasan dengan 10 negara tetangga, menjaga integritas teritorial, kedaulatan maritim, keamanan, dan kesejahteraan sosial di pulau-pulau terluar Indonesia, serta menjaga sumber daya nasional dan ZEE. Langkah-langkah strategis tersebut meliputi: (a) perundingan perbatasan laut dan darat; (b) melaksanakan doktrin GMF; (c) menyebarluaskan informasi termasuk perundingan perjanjian perbatasan dalam membatasi daya pancar radio.
Solusi terakhir untuk membuat kehidupan yang damai di Laut Natuna Utara adalah dengan memperkuat militer Indonesia menjadi lebih kuat dari militer Tiongkok. Anggaran untuk sektor pertahanan yang sangat kecil (hanya 0,8 persen dari PDB dalam 20 tahun terakhir) harus segera ditingkatkan. Indonesia perlu berkolaborasi dengan negara-negara ASEAN untuk mencegah terjadinya konflik di kawasan ini. Latihan militer bersama untuk negara-negara ASEAN dalam bentuk Latihan Solidaritas ASEAN harus dilanjutkan sebagai upaya meningkatkan kualitas pertahanan maritim. Selain itu, Kebijakan Penyelenggaraan Pertahanan Negara 2020-2024 harus menjadi acuan dalam mengarahkan pembentukan Postur Pertahanan Negara dengan prinsip defensif aktif dalam rangka mendukung terwujudnya Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia.
Dalam strategi pertahanan perlu penekanan yang bersifat bersifat prosedural secara substantif dibandingkan dengan pertimbangan konstelasi geografis. Pada aspek postur pertahanan militer, harus mengakomodir aspek statis (kekuatan, kemampuan, dan derajat kekuatan) dibandingkan dengan aspek geografi. Aspek doktrin militer harus menggabungkan ketiga matra dalam suatu gugus tugas dengan komposisi yang disesuaikan dengan karakteristik ancaman dan jenis operasi yang akan dilaksanakan. Strategi pertahanan nasional idealnya harus mampu menampilkan kekuatan militer untuk menangkal tindakan agresif atau sewenang-wenang pihak lain (negara asing).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H