Mohon tunggu...
Ridho Ilahi
Ridho Ilahi Mohon Tunggu... Penulis - Fungsional Statistisi Badan Pusat Statistik (BPS)

Membaca dan Menulis

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Diplomasi Maritim Indonesia dalam Mengelola Konflik di Laut Cina Selatan

11 Mei 2024   17:51 Diperbarui: 11 Mei 2024   20:46 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Dalam sistem maritim internasional, wilayah Laut Cina Selatan memiliki nilai ekonomi, politik, dan strategis. Laut Cina Selatan merupakan tempat terjadinya beberapa sengketa teritorial yang kompleks, termasuk sengketa teritorial dan sengketa batas maritim yang masih belum terselesaikan. Wilayah perairan yang strategis dan kaya akan sumber daya alam ini menjadi rebutan Tiongkok, Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Taiwan. Masing-masing pihak mengklaim berdasarkan alasan sejarah, pemetaan wilayah maritim, serta prinsip-prinsip hukum laut internasional. Konflik ini telah berlangsung selama puluhan tahun dan kerap memicu ketegangan dan insiden di kawasan tersebut. Bagi Indonesia, potensi konflik di Laut Cina Selatan tidak hanya berasal dari klaim teritorial Tiongkok yang tegas atas laut tersebut, tetapi juga dari sesama negara ASEAN. Kepentingan nasional harus tetap dilindungi di wilayah tersebut karena posisi strategis Laut Cina Selatan yang berbatasan dengan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia.

Klaim tegas Tiongkok atas sebagian besar wilayah Laut Cina Selatan dianggap merugikan Indonesia karena sebagian wilayah Laut Cina Selatan yang berada di dalam ZEE Indonesia (Sinaga & Robertua, 2018). Laut Cina Selatan memiliki posisi yang strategis dan vital bagi kedaulatan politik dan ekonomi Indonesia. Sebagai pulau terluar Indonesia, perairan Natuna terletak di ZEE Indonesia dan bersebelahan dengan beberapa bagian ZEE yang diklaim oleh Tiongkok. Berdasarkan yurisdiksi maritim ini, pihak berwenang Indonesia telah menangkap beberapa kapal pukat ikan Tiongkok yang memasuki ZEE Indonesia secara tidak sah (Weatherbee, 2016). Pada Maret 2016, pasukan penjaga pantai Tiongkok menabrak salah satu kapal penangkap ikan negara tersebut dan membebaskannya dari kapal patroli otoritas Indonesia (Weatherbee, 2016). Insiden serupa terjadi pada bulan Juni 2016. Ketika mencoba mengusir kapal nelayan yang melanggar ZEE Natuna Utara, kapal angkatan laut Indonesia (KRI Imam Bonjol 383) diintimidasi oleh kapal patroli Tiongkok (Gumilang, 2016).

Di tengah konflik tersebut, Indonesia memiliki posisi geografis yang unik. Perairan teritorial Natuna berbatasan langsung dengan wilayah sengketa di Laut Cina Selatan. Meskipun tidak terlibat langsung dalam klaim kedaulatan, Indonesia berkepentingan untuk menjaga kedaulatan wilayah maritimnya sesuai dengan prinsip-prinsip negara kepulauan di bawah UNCLOS 1982. Perairan Natuna kaya akan potensi sumber daya alam dan merupakan jalur pelayaran yang penting. Oleh karena itu, Indonesia harus menjaga keamanan dan keutuhan wilayah perairannya dari ancaman-ancaman seperti pelanggaran wilayah, penangkapan ikan secara ilegal, dan kegiatan ilegal lainnya. Salah satu ancaman utama yang sering terjadi di Laut Natuna Utara adalah kegiatan penangkapan ikan secara ilegal oleh kapal-kapal asing. Kapal-kapal nelayan dari Vietnam dan Tiongkok sering memasuki perairan ini secara ilegal untuk menangkap ikan tanpa izin. Praktik ini tidak hanya merugikan secara ekonomi, tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap kedaulatan Indonesia di wilayah ZEE.

Selain itu, Laut Natuna Utara juga sering menjadi tempat pelanggaran wilayah oleh kapal perang dan pesawat pengintai Tiongkok. Insiden-insiden tersebut memicu ketegangan dan kekhawatiran dari pihak Indonesia yang melihat langkah tersebut sebagai ancaman terhadap kedaulatan wilayah maritimnya. Pelanggaran teritorial tersebut tidak hanya melanggar hukum internasional, tetapi juga dapat memicu eskalasi konflik yang lebih luas di wilayah Laut Cina Selatan.

   Tabel 1. Jumlah Kasus Pelanggaran Maritim di Laut Natuna Utara Tahun 2020-2023

TahunJenis PelanggaranLaut Natuna Utara2020Penangkapan Kapal Ilegal13 kapal (12 kapal Vietnam, 1 kapal Tiongkok)2020Pelanggaran Wilayah2 kapal perang Tiongkok, 1 pesawat pengintai Tiongkok2021Penangkapan Kapal Ilegal18 kapal (16 kapal Vietnam, 2 kapal Tiongkok)2021Pelanggaran Wilayah3 kapal perang Tiongkok, 2 pesawat pengintai Tiongkok2022Penangkapan Kapal Ilegal14 kapal (11 kapal Vietnam, 3 kapal Tiongkok)2022Pelanggaran Wilayah4 kapal perang Tiongkok, 3 pesawat pengintai Tiongkok2023Penangkapan Kapal Ilegal7 kapal (5 Vietnam, 2 Cina)2023Pelanggaran Wilayah–

Sumber: diolah Penulis (2024)

Negara-negara Asia Tenggara termasuk Indonesia diharapkan dapat memainkan peran yang signifikan dalam mendorong penyelesaian di wilayah yang disengketakan tersebut. Pendekatan strategis Indonesia dalam menangani sengketa Laut Cina Selatan menggarisbawahi efektivitas diplomasi maritim dalam menjaga kedaulatan regional. Posisi Indonesia sebagai ketua Indian Ocean Rim Association (IORA) tahun 2015-2017 memperlihatkan komitmen Indonesia untuk meningkatkan kerja sama internasional melalui diplomasi maritim yang kooperatif dan persuasif sesuai dengan visinya sebagai Poros Maritim Dunia. Visi ini didukung respon strategis Indonesia terhadap Belt and Road Initiative (BRI) Tiongkok di Laut Cina Selatan, yang berupaya untuk meningkatkan ekonominya melalui diversifikasi ekonomi dan memperkuat konektivitas regional. Upaya hukum dan diplomatik Indonesia untuk menegaskan kedaulatan di Laut Natuna Utara menunjukkan tekad menentang klaim sepihak Nine-Dash Line milik Tiongkok yang memasukkan sebagian wilayah Laut Cina Selatan ke dalam ZEE-nya.

 

Kekuatan Militer Indonesia

Regilme (2018) mengungkapkan bahwa banyak negara di sekitar Laut Cina Selatan, terutama di Asia Tenggara, menolak klaim Tiongkok atas Laut Cina Selatan dan menuntut Tiongkok untuk menghentikan aktivitas militernya di wilayah tersebut. Tidak hanya meningkatkan upaya untuk merebut kembali lahan di Laut Cina Selatan, Tiongkok juga terus membangun infrastruktur di pulau-pulau yang disengketakan. Dalam upaya meredakan konflik di Laut Cina Selatan, pemerintah Indonesia lebih banyak menggunakan soft power dan diplomasi. Namun, Indonesia juga memandang penting untuk meningkatkan sumber daya hard power. Dalam menghadapi ancaman konflik yang terus meningkat di Laut Cina Selatan, pertahanan Indonesia dianggap masih belum siap. Dengan mempertimbangkan jumlah personel dan aset angkatan laut sebagai indikator, kekuatan militer Indonesia masih jauh di belakang Tiongkok. Kapal-kapal patroli Indonesia sering menghadapi intervensi militer dari kapal-kapal Tiongkok.

Akan tetapi, Indonesia tidak bisa lengah dalam menghadapi masalah di Laut Cina Selatan. Pertahanan negara dimaksudkan untuk menegaskan kedaulatan wilayah Indonesia di perbatasan Laut Cina Selatan dari ancaman eksternal yang bersinggungan dengan klaim Tiongkok. Saat ini Tiongkok merupakan negara dengan klaim terbesar di Laut Cina Selatan sehingga sering menimbulkan ketegangan di antara negara-negara pengklaim lainnya. Ketegangan antara Tiongkok dan Vietnam di Laut Cina Selatan meningkat pada tahun 1974 ketika terjadi insiden militer yang melibatkan baku tembak akibat sengketa Pulau Spartly dan Pulau Paracel. Selain itu, pengusiran paksa kapal-kapal penangkap ikan non-Tiongkok yang memasuki perairan tersebut menambah ketegangan (Lunn, 2016). Kebijakan-kebijakan Tiongkok di wilayah sengketa tersebut dianggap merugikan negara-negara lain di sekitarnya. Bahkan, kebijakan Tiongkok di kawasan Laut Tiongkok Selatan telah menyebabkan Amerika Serikat ikut terlibat sebagai kekuatan luar.

Pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang pesat telah membuat negara ini mengambil langkah-langkah agresif untuk mencapai ambisinya, termasuk dengan memperkuat kekuatan militernya. Laut Cina Selatan merupakan basis pertahanan yang vital bagi Tiongkok dalam menjaga stabilitas politik regional. Donges & Hofmann (2018) menyatakan bahwa tindakan suatu negara secara militer bertujuan untuk melindungi eksistensi negara tersebut dari segala ancaman. Pertahanan nasional Indonesia didasarkan pada jumlah personil militer yang tersedia dan kekuatannya. Selain itu, kekuatan militer Indonesia juga diukur berdasarkan jumlah senjata yang tersedia dan teknologi persenjataan. Kekuatan militer Indonesia dapat ditelaah dengan memperhatikan dimensi Sumber Daya Strategis dan Kemahiran Tempur.

Menurut rilis Global Firepower, kekuatan militer Indonesia tahun 2023 berada di peringkat ke-13 dari 145 negara dengan nilai indeks 0,2221. Kondisi ini jauh tertinggal jika dibandingkan dengan Tiongkok yang berada di peringkat ke-3 dengan nilai indeks 0,0722. Nilai Indeks Kekuatan Global sebesar 0,000 menunjukkan nilai sempurna dan belum pernah dicapai oleh negara mana pun. Nilai ini tidak memperhitungkan kemampuan nuklir dan murni melihat kemampuan konvensional. Semakin kecil nilai indeksnya berarti semakin kuat kemampuan tempurnya. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa kekuatan militer Indonesia jauh tertinggal dibandingkan dengan negara-negara lain yang memiliki potensi konflik di kawasan Laut Cina Selatan. Menurut Global Firepower, aset yang dimiliki oleh angkatan laut Indonesia masih jauh tertinggal dibandingkan dengan Tiongkok. Bahkan, indikator personil dan aset angkatan laut Indonesia masih jauh di bawah Tiongkok (Global Firepower, 2023). Perbandingan yang paling mencolok adalah ketersediaan kapal selam. Meskipun sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia hanya memiliki 5 kapal selam. Padahal, kekuatan angkatan laut Tiongkok mencapai 76 unit kapal selam. Akibatnya, Tiongkok melakukan klaim teritorial dan upaya reklamasi lahan di Laut Cina Selatan.

Solusi Terbaik

Saat ini, peran aktif pemerintah Indonesia dalam meredakan konflik Laut Cina Selatan tidak selalu menampilkan kekuatan militer. Pemerintah Indonesia lebih banyak menggunakan pendekatan soft power, yaitu dengan memberikan ide-ide untuk mengoptimalkan sumber daya diplomasi yang dimiliki semua pihak yang terlibat. Kepentingan ekonomi yang dipertaruhkan di Laut Cina Selatan ditambah dengan ketegasan Tiongkok menggarisbawahi pentingnya diplomasi pertahanan dalam menjaga kepentingan nasional. Upaya-upaya ini harus dilengkapi dengan serangkaian strategi, mulai dari keterlibatan diplomatik hingga kesiapan militer, untuk mengatasi dinamika geopolitik dan geomaritim di kawasan ini. Peran Angkatan Laut sebagai instrumen diplomasi, tidak hanya sebagai pejuang perang, tetapi juga mencerminkan pilihan strategis yang dibatasi oleh kondisi domestik dan internasional. Langkah diplomasi hukum dan militer melalui perjanjian dan kerja sama dengan negara lain berperan vital melindungi kedaulatan nasional dan meningkatkan relevansi strategis Indonesia di kawasan ASEAN. Selain itu, Indonesia harus mampu bertindak tegas tanpa pengaruh ikatan militer, politik, atau ideologi negara lain dalam menjaga keamanan maritim dan keamanan regional. Kebijakan Poros Maritim Dunia dan keterlibatan Indonesia melalui Jalur Sutra Maritim Tiongkok menunjukkan navigasi strategis Indonesia dalam menjaga stabilitas keamanan. Peran diplomatik Indonesia tidak hanya terbatas pada isu-isu maritim, tetapi juga komitmen yang lebih luas terhadap keamanan dan stabilitas regional. Melalui upaya diplomatik dan strategis ini, Indonesia menunjukkan kekuatan dan kearifan diplomasi maritimnya dalam menjaga kedaulatan kawasan, stabilitas keamanan, dan membina hubungan baik dengan negara-negara tetangga.

Dukungan pemerintah Indonesia terhadap kekuatan militer merupakan strategi besar dengan konsep Global Maritime Fulcrum (GMF) dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. GMF mengintensifkan diplomasi maritim Indonesia untuk mendorong penyelesaian sengketa perbatasan dengan 10 negara tetangga, menjaga integritas teritorial, kedaulatan maritim, keamanan, dan kesejahteraan sosial di pulau-pulau terluar Indonesia, serta menjaga sumber daya nasional dan ZEE. Langkah-langkah strategis tersebut meliputi: (a) perundingan perbatasan laut dan darat; (b) melaksanakan doktrin GMF; (c) menyebarluaskan informasi termasuk perundingan perjanjian perbatasan dalam membatasi daya pancar radio.

Solusi terakhir untuk membuat kehidupan yang damai di Laut Natuna Utara adalah dengan memperkuat militer Indonesia menjadi lebih kuat dari militer Tiongkok. Anggaran untuk sektor pertahanan yang sangat kecil (hanya 0,8 persen dari PDB dalam 20 tahun terakhir) harus segera ditingkatkan. Indonesia perlu berkolaborasi dengan negara-negara ASEAN untuk mencegah terjadinya konflik di kawasan ini. Latihan militer bersama untuk negara-negara ASEAN dalam bentuk Latihan Solidaritas ASEAN harus dilanjutkan sebagai upaya meningkatkan kualitas pertahanan maritim. Selain itu, Kebijakan Penyelenggaraan Pertahanan Negara 2020-2024 harus menjadi acuan dalam mengarahkan pembentukan Postur Pertahanan Negara dengan prinsip defensif aktif dalam rangka mendukung terwujudnya Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia.

Dalam strategi pertahanan perlu penekanan yang bersifat bersifat prosedural secara substantif dibandingkan dengan pertimbangan konstelasi geografis. Pada aspek postur pertahanan militer, harus mengakomodir aspek statis (kekuatan, kemampuan, dan derajat kekuatan) dibandingkan dengan aspek geografi. Aspek doktrin militer harus menggabungkan ketiga matra dalam suatu gugus tugas dengan komposisi yang disesuaikan dengan karakteristik ancaman dan jenis operasi yang akan dilaksanakan. Strategi pertahanan nasional idealnya harus mampu menampilkan kekuatan militer untuk menangkal tindakan agresif atau sewenang-wenang pihak lain (negara asing).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun