Tahap awalnya sejumlah subprime mortgage ini dikumpulkan menjadi mortgage-backed securities (MBS). Tahun 2006 jumlah subprime mortgage di Amerika Serikat yang disekuritisasi menjadi MBS mencapai hampir 60% dari total outstanding kredit perumahan. Tidak sampai disini, melalui rekayasa keuangan (financial engineering) yang kompleks, MBS diresekuritisasi lagi menjadi Collateralised Debt Obligations (CDOs). Sejalan dengan peningkatan jumlah MBS, persentase jumlah CDOs juga meningkat tajam. Total penerbitan CDOs yang dominan bersumber dari MBS melampaui US$ 500 milar. Selain itu, MBS juga diresekuritisasi dalam bentuk sekuritas SIV (Structured Investment Vehicles) yang menjadi sulit untuk dilacak. Hasil rating lembaga-lembaga pemeringkat internasional yang cenderung underpricing terhadap risiko produk tersebut mengakibatkan maraknya perdagangan CDOs di pasar global.
Perubahan arah kebijakan moneter Amerika Serikat memicu tren peningkatan suku bunga yang terus berlangsung hingga 2006 memberikan pukulan berat pada pasar perumahan Amerika Serikat. Kondisi ini diperparah dengan  banyaknya debitur yang mengalami gagal bayar yang mengakibatkan harga rumah di Amerika Serikat terjun bebas dan menyeret semua investor maupun lembaga terperangkap dalam masalah besar likuiditas yang berdampak pada bangkrutnya raksasa finansial saat itu.
Belajar dari kasus subprime mortgage di Amerika Serikat, seleksi KPR yang ketat saat proses sekuritisasi harus diawasi oleh lembaga independen agar tidak terpilih debitor dengan sejarah kredit yang buruk atau tidak punya sejarah kredit sama sekali. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) harus mengawasi perdagangan EBA ritel di pasar keuangan agar harganya tidak dipermainkan oleh bandar (pemilik modal besar) dalam pasar keuangan sehingga investor ritel tidak dirugikan. Perlunya literasi keuangan yang diinisiasi oleh OJK dan PT SMF kepada seluruh lapisan masyarakat Indonesia agar masyarakat paham dan berminat berinvestasi dalam produk EBA ritel di pasar sekunder serta mengetahui risiko investasi dalam produk ini.
Sinergi dan koordinasi antara otoritas fiskal dan moneter diperlukan untuk terus menjaga stabilitas ekonomi agar kepercayaan pasar tetap terpelihara sehingga risiko fluktuasi harga EBA ritel pada pasar sekunder akibat perubahan suku bunga dapat diminimalisir. Selain itu, di tengah tantangan resesi ekonomi global kedua otoritas ini perlu mengeluarkan bauran kebijakan fiskal dan moneter yang terkoordinasi guna menjaga kemampuan daya beli masyarakat agar risiko tunggakan pelunasan KPR dapat berkurang sehingga yield yang diterima investor EBA ritel bisa meningkat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H