Tazkiyat al-nafs memiliki peran yang sangat krusial, terutama dalam pelaksanaan ibadah kepada Allah. Proses tazkiyat al-nafs ini mencakup pembersihan hati dan jiwa dari sifat-sifat negatif, seperti kesombongan, iri hati, dan kebencian, serta pengembangan sifat-sifat positif, seperti ketulusan, kasih sayang, dan keikhlasan. Dengan melakukan tazkiyat al-nafs, seorang Muslim dapat meningkatkan kualitas ibadahnya dan memastikan bahwa setiap amal yang dilakukan dapat diterima oleh Allah SWT. Hal ini juga berkontribusi pada pembentukan karakter yang baik dan penguatan hubungan spiritual antara hamba dan Sang Pencipta.
Al-Ghazali juga menjelaskan bahwa tazkiyah al-nafs adalah usaha untuk membersihkan diri dari sifat sombong dan pujian diri. Konsep ini berlandaskan pada keyakinan sufi yang menyatakan bahwa jiwa manusia pada dasarnya bersih. Namun, adanya konflik antara jiwa dan nafsu, yang cenderung mengikuti keinginan dunia, menyebabkan jiwa menjadi tidak suci dan bahkan tidak sehat. Dalam pandangan Al-Ghazali, tazkiyatun nafs terkait dengan sifat-sifat jiwa manusia berarti menghilangkan sifat-sifat buruk seperti kebinatangan, kejahatan, dan godaan setan, serta menggantinya dengan sifat-sifat yang mencerminkan ketuhanan, seperti kesabaran, syukur, dan keikhlasan. Proses ini melibatkan refleksi diri dan pengendalian hawa nafsu, yang pada gilirannya akan membawa individu pada kedamaian batin dan kedekatan dengan Allah. Dengan demikian, tazkiyah al-nafs tidak hanya berfungsi untuk memperbaiki diri, tetapi juga untuk mencapai kehidupan yang lebih bermakna dan spiritual.
Dalam Mizan al-Amal, Al-Ghazali melihat tazkiyah sebagai penggabungan antara ilmu, amal, dan mujahadah dalam mencapainya. Pengertian tazkiyah tidak hanya terbatas pada pembersihan jiwa (tathir al-nafs), tetapi juga mencakup pengembangan jiwa (tanmitah al-nafs). Jiwa yang zakiyah, menurut pandangan ini, mampu menerima anugerah dan rahmat Allah. Al-Ghazali mengibaratkan jiwa sebagai kaca, di mana kesempurnaan terletak pada kesiapan dan kemampuan kaca dalam menerima dan memantulkan gambar yang ada di depannya. Ia berpendapat bahwa kaca yang berkarat, kotor, dan tidak mampu memantulkan gambar dengan baik hanya dapat disempurnakan melalui dua langkah. Pertama, membersihkan dan mengilapkan kaca tersebut dengan menghilangkan karat, kotoran, dan debu yang menempel. Kedua, mengarahkan kaca ke gambar yang diinginkan. Dengan cara ini, kaca dapat menerima dan memantulkan gambar yang ada di hadapannya. Demikian pula, jiwa manusia dapat mencapai kesempurnaannya melalui dua cara tersebut. Dalam Mizan al-Amal, Al-Ghazali juga membahas tazkiyah dalam konteks amal shaleh, karena amal shaleh merupakan jalan yang membawa kepada tazkiyah. Ini menekankan pentingnya tindakan baik dalam proses penyucian jiwa dan pengembangan diri, yang pada gilirannya mendekatkan individu kepada Allah dan meningkatkan kualitas hidupnya secara spiritual.
Tazkiyat al-nafs dalam Al-Qur'an memiliki makna penting, seperti menjadikan rezeki yang diterima manusia bermanfaat dan penuh berkah, serta memberikan keturunan yang saleh dan salehah yang membawa kebaikan. Tazkiyat al-nafs juga memunculkan sifat-sifat jujur dan amanah dalam diri seseorang. Kedua, langkah-langkah tazkiyat al-nafs menurut Al-Qur'an meliputi menuntut ilmu, menjaga pandangan, dan memilih makanan yang halal dan baik. Ketiga, tazkiyat al-nafs memiliki makna baik secara implisit maupun eksplisit. Secara implisit, tazkiyat al-nafs berarti usaha seseorang untuk menjaga jiwa agar terhindar dari malapetaka dan berusaha mencapai kesempurnaan kehormatan jiwa. Sementara secara eksplisit, tazkiyat al-nafs berarti membersihkan diri dari dosa dengan mentaati Allah, menjalankan perintah-Nya, dan menjauhi larangan-Nya.
Imam al-Qusyairi di dalam muqoddimah kitabnya Lathoiful Isyarat (AlQushairi, 1997, hlm. 1) mengatakan:
Berdasarkan dari kata kata pengantar kitab Lathoiful Isyarat ini menjelaskan bahwa Imam al-Qusyairi mengungkap ibarat rahasia-rahasia al-Qur'an yang didapat oleh ahli ma'rifat. Meskipun tidak dijelaskan panjang lebar isyarat itu berisi ungkapan yang dalam, tetapi Imam al-Qusyairi dalam menjelaskannya itu tidak menyelisihi syareat sedikitpun. Secara lebih jelasnya bisa kita lihat lebih jauh ungkapan beliau ketika menafsirkan al-Qur'an. Imam al-Qusyairi secara eksplisit mencurahkan seluruh ilmu serta yang beliau ketahui tentang Islam dan tasawuf. Beliau juga banyak dalam menerangkan suatu ayat dengan menggunakan terminologi tasawuf, sebagaimana contoh dalam QS. Al-Baqoroh (2): 3
"Yaitu orang-orang yang beriman kepada yang Ghoib dan mereka mendirikan sholat dan mereka bersedekah dengan anugrah (rezeki) yang kami berikan." (QS.Â
Al-Baqoroh, 2/3).Â
Penyucian jiwa, atau Tazkiyat al-Nafs, merupakan konsep esensial dalam tradisi Islam. Seorang Muslim diharapkan untuk tidak hanya melaksanakan ibadah secara lahiriah, tetapi juga memperbaiki dan membersihkan jiwa dari berbagai penyakit hati yang dapat mengganggu spiritualitas. Dalam era modern yang penuh dengan tantangan moral dan berbagai godaan, pentingnya proses penyucian jiwa semakin terasa.
Pengertian Tazkiyat al-Nafs
Secara harfiah, Tazkiyat al-Nafs berarti membersihkan jiwa dari kotoran spiritual. Kata "tazkiyah" berasal dari bahasa Arab, yang berarti "penyucian" atau "pembersihan," sementara "nafs" merujuk pada jiwa atau diri manusia. Dalam ajaran Islam, proses penyucian ini menuntut usaha berkelanjutan untuk membersihkan hati dari sifat-sifat buruk dan menggantinya dengan akhlak yang terpuji, seperti ketulusan, ketakwaan, dan kerendahan hati.