Mohon tunggu...
Ridho Dwi Nugroho
Ridho Dwi Nugroho Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Mercubuana Kranggan, Bekasi. Jurusan Public Relation NIM 44219210012 Dosen Pengampu: Prof. Dr, Apollo, M.Si.Ak

Mahasiswa Mercubuana Kranggan, Bekasi. Jurusan Public Relation NIM 44219210012 Dosen Pengampu: Prof. Dr, Apollo, M.Si.Ak

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

K13_Spekulasi Anthony Ghiddens Mengenai Korupsi

23 Juni 2022   04:44 Diperbarui: 23 Juni 2022   04:50 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam artikel kali ini kita akan membahas mengenai spekulasi atau pemikiran dari seorang Sosiolog Inggris yaitu Anthony Giddens mengenai korupsi. Anthony Giddens sendiri merupakan salah satu sosiolog yang mempunyai kontribusi yang tinggi pada sosiologi modern. Salah satu spekulasinya mengenai pengembangan teori strukturasi, analisis agen, serta struktur. Dan juga buah karya pemikirannya yaitu Pusat Permasalahan Teori Sosial dan Konstitusi Masyarakat. Sebelum membahas mengenai spekulasi Anthony Giddens, pertama tama kita akan membahas mengenai hal hal mengenei korupsi terlebih dahulu.

Apa yang membuat Korupsi semakin Merajalela?

Korupsi dalam konteks yuridis didefinisikan dengan berbagai pendekatan di berbagai negara, namun secara umum masih terdapat titik persamaan dalam definisinya. OECD atau Organization for Economic Co-operation and Development mendefinisikan korupsi secara luas yang mengacu pada penyalahgunaan posisi swasta atau publik untuk melayani kepentingan pribadi. Definisi ini mirip dengan Transparency International (TI) yang menggambarkan korupsi sebagai penggunaan posisi publik untuk melayani keuntungan pribadi. TI memperluas definisi korupsi sebagai penggunaan kekuasaan yang dipercaya untuk menghasilkan keuntungan pribadi. Definisi dari TI ini mencakup praktik korupsi di sektor publik dan swasta, dan setiap pelanggar bertanggung jawab atas tindakan mereka. 

Perkembangan korupsi di negara dunia ketiga seperti Indonesia ini terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dari jumlah kasus yang terjadi maupun jumlah kerugian keuangan negara serta cakupannya yang mencakup seluruh aspek kehidupan masyarakat. Kasus korupsi di Indonesia yang saat ini muncul di media massa sebenarnya merupakan sebagian kecil dari realitas korupsi. Untuk sebagian banyak mayarakat, korupsi bukan lagi pelanggaran hukum namun melainkan hanya kebiasaan. Modus korupsi meliputi: mark up, penganggaran, penggelapan, laporan fiktif, penyuapan, kegiatan/proyek fiktif, penagihan kewajiban, peningkatan wewenang, pemotongan, gratifikasi, pemerasan, penganggaran ganda dan mark down. 

Yang membuat korupsi semakin merajalela karena korupsi sendiri merupakan fakta yang tidak dapat dihindarkan dalam memahami dinamika kehidupan masyarakat Indonesia baik pada masa sekarang maupun masa lalu. Korupsi sebagai suatu perbuatan merupakan fakta yang muncul bukan sebagai suatu hal yang tunggal, karena berkaitan dengan faktor-faktor lain seperti sejumlah besar sumber daya publik yang berasal dari sumber daya alam, kepentingan pribadi dan jaringan yang terhubung secara politik, pegawai negeri yang dibayar rendah, kualitas peraturan yang rendah, dan independensi peradilan yang lemah. Selain itu, pejabat lokal diberikan kewenangan dan sumber daya diskresi yang luas tanpa mekanisme akuntabilitas dan penegakan yang tepat.

Berkaitan dengan kondisi dan perkembangan korupsi di Indonesia, ada pernyataan yang menyebutkan bahwa “korupsi di tanah negara seperti warisan yang tidak sah tanpa wasiat”. Hal ini disebabkan karena korupsi tetap lestari dan sudah menjadi budaya sejak lama, sehingga korupsi cenderung dianggap wajar oleh para pelaku korupsi. Bahkan banyak yang mengatakan bahwa korupsi yang terjadi di Indonesia merupakan budaya dan terjadi secara turun temurun.

pemikiran-anthony-giddens-1-62b38cc0bb448607f71236c2.jpg
pemikiran-anthony-giddens-1-62b38cc0bb448607f71236c2.jpg
Mengapa Spekulasi Anthony Giddens dipilih dalam menjelaskan mengenai Korupsi?

Teori struktural Anthony Giddens didasarkan pada identifikasi kontinum hubungan antara individu dan institusi sosial. Teori ini menyeimbangkan peran aktor (manusia) dengan pilihan terbatas yang ada dalam ceritanya dan pilihan dalam tatanan sosialnya. Di satu sisi, manusia memiliki pengetahuan yang terbatas dan tidak memiliki semua insentif untuk tindakannya, di sisi lain, manusia adalah pencipta struktur sosial dan penyebab perubahan sosial. Teori ini membuktikan adanya dualitas manusia antara struktur dan organ daripada menentukan apa yang sebenarnya menyebabkan atau memperkuat keberadaannya.

Agensi dan struktur  saling terkait dan tidak dapat dipisahkan karena "dualitas struktural" mereka. Aktor (manusia) memiliki kemampuan untuk membentuk struktur sosial dengan menciptakan norma, membentuk nilai, dan membentuk penerimaan sosial. Namun, aktor (manusia) dibatasi oleh struktur sosial. Anda tidak dapat memilih siapa orang tua Anda dan kapan Anda dilahirkan. Giddens menggambarkan struktur sebagai  seperangkat  aturan dan modalitas dalam bentuk berbagai sumber daya yang mengontrol dan membimbing perilaku manusia. Perilaku manusia dibatasi oleh aturan, tetapi sumber daya memberikan peluang bagi perilaku manusia.

Strukturasi adalah proses dimana aktor mereproduksi struktur melalui sistem interaksi yang dihasilkan dari penggunaan struktur. Sebuah sistem hubungan di mana aturan membatasi interaksi sosial aktor dan sumber daya mempromosikan dan mereproduksi interaksi sosial aktor. Secara umum strukturnya stabil berupa nilai-nilai moral, tradisi, cita-cita ideal, bahkan pranata sosial, tetapi struktur tersebut dapat berubah jika terjadi perilaku yang tidak diinginkan. Misalnya, ketika orang meninggalkan norma sosial, mereka mengganti atau mereproduksi norma sosial lain dengan cara yang berbeda.

Ada tiga jenis struktur dalam sistem sosial yaitu dominasi, legitimasi, dan makna. Hirarki struktur memberikan penjelasan tentang hubungan antara struktur dan sistem interaksi. Struktur tingkat pertama adalah makna yang menciptakan makna melalui pengorganisasian unsur-unsur kebahasaan (semantik, interpretatif, dan wacana). Peran aktor diperluas untuk mencakup interpretasi dan manipulasi struktur linguistik dengan interpretasi makna yang berbeda. Struktur kedua adalah legitimasi, suatu tatanan moral yang berupa norma, nilai, dan standar sosial. Ketika agen individu berinteraksi, mereka  secara sadar, tidak sadar, atau tidak sadar menyampaikan makna melalui tindakan mereka. Interaksi ini membentuk norma norma sosial saat ini serta menimbang aturan aturan moral dari struktur. Struktur legitimasi ini menentukan apakah perilaku seorang aktor dianggap sah  dalam tatanan sosial. Struktur ketiga adalah dominasi, yaitu proses penciptaan dan pelaksanaan kekuasaan melalui pengelolaan berbagai sumber daya. Giddens menegaskan bahwa kekuatan dominasi dan kepatuhan ada dalam hubungan kekuasaan.

Perilaku dasar manusia dan aktivitas yang diakibatkannya adalah dua keterampilan yang mendefinisikan manusia sebagai "agen". Giddens membedakan antara tindakan sebagai perkembangan individu dari tindakan dan tindakan sebagai partisipasi rendah yang terus menerus oleh aktor manusia otonom tertentu. Perilaku individu dapat dirangsang oleh keinginan untuk memeriksa perilaku seseorang atau dengan proses pemeriksaan diri yang dikenal sebagai pemantauan refleks. Model perilaku Giddens memiliki tiga komponen: pemantauan refleksif, rasionalisasi, dan motivasi. Setiap elemen memiliki peran khusus selama proses tindakan. Teori struktural menunjukkan bahwa lembaga adalah elemen mendasar dalam membuat segala macam perubahan. Perubahan dapat dilihat secara sederhana sebagai bergerak melalui ruang dan berinteraksi  dengan kompleksitas lingkungan, perubahan, atau interaksi baru.

Bagaimana Penerapan Spekulasi Anthony Giddens terhadap Korupsi?

Pemikiran tentang korupsi dalam ilmu sosial ditandai dengan perdebatan tiada akhir antara pendekatan agen dan struktur. Pendekatan agen melihat, praktik korupsi dilakukan oleh kreativitas agen. Meskipun sudah ada aturan yang melarang, agen tetap melakukan korupsi. Motivasinya adalah untuk mengejar keuntungan bagi dirinya sendiri. Salah satu varian dari pendekatan agen adalah teori pilihan rasional yang dalam kebijakan publik muncul dalam bentuk kebijakan neo-liberal. Pendekatan agen melihat, untuk memberantas korupsi harus diiakukan strategi komprehensif yang dengan memberikan insentif seperti menaikkan gaji dan sekaligus disinsentif, yakni dengan penegakan hukum. Sebaliknya, pendekatan struktural melihat korupsi dilakukan oleh agen karena struktur sosialnya sudah korup. Agen tidak berdaya mengubah struktur sehingga ia turut melakukan korupsi. Pendekatan ini bisa menjelaskan mengapa ada orang baik dan jujur. ketika kemudian menjadi politisi ternyata kemudian sama korupnya dengan politisi lain. ltu karena tindakan dia ditentukan oleh struktur sosial yang korup. Salah satu varian dari pendekatan struktur adalah pemikiran Marxis strukturalis yang melihat struktur terbentuk karena dialektika materialisme. Struktur ditentukan oleh basis ekonomi, yakni akumulasi kapital oleh kelas borjuis. Dalam konteks indonesia, Robison dan Vedi Hadiz merevitalisasi dengan menyebut kelas borjuis sebagai oligarki, yakni aliansi cair berbagai kepentingan yang dibesarkan oleh Orde Baru Soeharto.' Karena korupsi adalah eksploitas oleh kelas borjuis atau oligarki, maka untuk memberantasnya tidak bisa dengan reformasi teknis. Korupsi hanya bisa diberantas melalui gerakan sosial yang menyatukan perlawanan kelas proietar atau korban korupsi yang ditindas oleh oligarki.

Salah satu ide yang berupaya mengatasi perdebatan structure-to-agency adalah teori structuring yang dikembangkan oleh Anthony Giddens. Giddens membangun teori penataan dengan mendobrak ketegangan dikotomi antara struktur dan agensi, dan antara objektivitas dan subjektivitas. Teori struktural juga bertujuan untuk menjembatani kesenjangan antara analisis tingkat makro dan tingkat mikro. Pendekatan objektivitas struktural berfokus pada analisis tingkat makro, sedangkan pendekatan subjektivitas agen berfokus pada objek mikro.  Giddens melihat dikotomi ini sebagai dualisme dalam ilmu-ilmu sosial. Aspek subjektif menganggap aktor mandiri dalam melakukan tindakan, dan aspek objektif mengakui struktur yang menentukan aktor. Subjektivisme melihat aktor secara sukarela mengambil tindakan sosial  dan menganggap pengalaman individu lebih penting daripada fenomena keseluruhan. Objektivisme, di sisi lain, menganggap agen melakukan tindakan sosial karena mereka diatur dan dikendalikan oleh struktur, dan fenomena keseluruhan lebih penting daripada pengalaman individu.  Menurut Giddens, akar dari dualisme ini terletak pada kebingungan tentang tujuan penelitian dalam ilmu ilmu sosial. Menurut Giddens, subjek utama penelitian ilmu sosial justru merupakan titik temu antara objektivitas dan subjektivitas. Tempat pertemuan merupakan praktik sosial yang berulang dan terpola dalam ruang dan waktu.

Aparat penegak hukum dalam beberapa kasus  politik Indonesia belum mampu membongkar struktur korupsi, sehingga struktur tersebut dinilai masih  memadai untuk memberikan pedoman dalam aksi sosial organisasi korupsi di Indonesia. Tantangan utama ke depan adalah bagaimana membongkar jalinan korupsi dengan mencegah terulangnya praktik-praktik sosial yang korup. Penegakan hukum saja tidak cukup karena reproduksi korupsi terjadi selama rekrutmen, promosi dan mutasi. Oleh karena itu, pemberantasan korupsi harus dikoordinasikan antara penegakan hukum dan pencegahan untuk mencegah terulangnya praktik korupsi.

Citasi 

Giddens, Anthony, 2001, Runaway World: How Globalisation is Reshaping Our Lives. London: Profile Books Ltd, 1999, yang kemudian diterjemakan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Andry Kristiawan S. dan Yustina Koen S. dengan judul "Dunia yang Lepas Kendali: Bagaimana Globalisasi Merampok Kehidupan Kita", diterbitkan di Jakarta: PTGramedia Pustaka Utama.

Giddens, Anthony, 1979, Central Problems in Social Theory. Action. Structure and Contradiction in Social Analisys, Berkeley, Los Angeles: University California Press.

Herry-Priyono B, 2002, Anthony Giddens. Suatu Pengantar, Jakarta: KPG.

Mukartono, A., & Rustamaji, M. (2019, October). The Development of Corruption in Indonesia (is Corruption a Culture of Indonesia?). In 3rd International Conference on Globalization of Law and Local Wisdom (ICGLOW 2019) (pp. 139-141). Atlantis Press.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun