Malam hari di tengah hiruk pikuk pusat kota Bandung, melewati sebuah gang yang menuju perkampungan padat, sedang diselenggarakan Festival Kampung Kota 3 di Balai Warga Kampung Dago Elos. Festival yang lahir di Dago Elos pada 2017 silam, kini kembali digelar di tempat yang sama, masih dengan semangat perjuangan yang sama, bertahan dan melawan penggusuran Kampung Dago Elos.
Memasuki wilayah perkampungan Dago Elos disambut oleh sebuah portal dengan bendera kecil berwarna hitam bertuliskan “Dago Melawan”. Acara diselenggarakan di lapangan balai warga dengan beberapa lampu sorot dan tenda berkerangka bambu. Di bagian belakang, terdapat spanduk berukuran besar bertuliskan “TANAH UNTUK RAKYAT”, beserta spanduk Aliansi Rakyat Anti Penggusuran atau A.R.A.P pada sudut-sudut lapangan. Terdapat pula lukisan mural bertuliskan “Usir Setan Tanah” pada tembok besar bercat biru-oranye.
Festival Kampung Kota merupakan sebuah acara yang digagas secara kolektif oleh berbagai kelompok masyarakat secara solidaritas dengan memberdayakan titik konflik yang diaktivasi menjadi ruang publik. Acara yang diselenggarakan berupa diskusi publik, pameran, pertunjukan musik, bedah buku, workshop, hingga pemutaran film.
Dago Elos adalah tempat pertama kali diselenggarakannya Festival Kampung Kota. Diselenggarakan pada 2017, kala itu mengusung tema ‘Merebut Ruang Hidup’, yang menggambarkan kondisi ruang hidup dan rumah-rumah milik warga yang ingin dirampas dengan penggusuran.
Selanjutnya, Festival ini diselenggarakan pada tahun 2019 di reruntuhan rumah dari penggusuran Tamansari, dengan mengusung tema ‘Merayakan Solidaritas’. Setelah empat tahun la\amanya, Festival Kampung Kota akhirnya kembali digelar di Dago Elos pada tanggal 1 hingga 30 Juli 2023. FKK ketiga ini bertemakan “Demokrasi, Krisis Ruang, dan Solidaritas”.
Tujuan dari festival ini tentunya untuk menghidupkan titik konflik menjadi ruang publik dan menyuarakan isu penggusuran agar bisa mencapai lebih banyak lapisan masyarakat dan menggaet lebih banyak dukungan bagi warga Dago Elos maupun warga kampung kota lain yang berjuang atas hak yang sama.
Anto, salah satu tim penyelenggara, menyampaikan bahwa tahun ini FKK mulai mengangkat isu demokrasi, yang menyoroti minimnya peranan warga masyarakat dalam pengambilan kebijakan yang diambil oleh Pemkot Bandung. Salah satu contoh nyata nya ialah banyaknya penolakan masyarakat atas penggusuran permukiman secara sepihak, mulai dari Dago Elos, Anyer Dalam, hingga Tamansari.
“Ini adalah bentuk solidaritas dengan Forum Dago Melawan untuk menyuarakan isu penggusuran warga Dago Elos yang saat ini terancam oleh klaim tanah dari Keluarga Muller dan PT Dago Inti Graha,” ujarnya.
Bentuk festival yang diselenggarakan selama satu bulan penuh merupakan bentuk penghidupan ruang di Dago Elos, yang kini menjadi titik konflik sengketa tanah. Festival juga melibatkan banyak warga setempat, agar warga Dago Elos tak merasa sendirian dalam memperjuangkan haknya, tetapi juga merasakan dukungan nyata yang diberikan oleh masyarakat dan anak muda di Kota Bandung.
“Kita kan tujuannya untuk menemani warga Dago Elos. Banyak juga datang teman-teman yang datang dari Tamansari, Anyer Dalam, bahkan warga dari luar kota yang bernasib sama dan sedang berjuang juga atas tanahnya,” sambung Anto.
Malam-malam gelaran festival tak hanya menjadi ajang pertunjukkan musik dan kesenian, melainkan juga diisi oleh workshop dan diskusi yang menghadirkan akademisi yang ikut menyoroti isu kampung kota di Bandung. Diskusi ini diharapkan menjadi wadah keilmuan bagi warga masyarakat hingga mahasiswa, yang hadir untuk menyuarakan isu penggusuran dengan lebih lantang dan lebih cerdas.
Pentingnya Peran Akademisi
Selama ini, gambaran gerakan masyarakat pinggiran atas penggusuran kerap dikaitkan dengan gerak perlawanan kaum marjinal atas penindasan penguasa dan para pemilik modal. Melalui kegiatan diskusi dan workshop, Festival Kampung Kota menghadirkan akademisi dan pakar-pakar sosial, tata kota, hingga sejarah untuk mengkaji lebih dalam terkait permasalahan di kampung kota.
Salah satunya diskusi yang digelar pada Minggu (9/7) malam, yang bertemakan ‘Kampung Kota: Bertahan di Tengah Kerentanan’. Diskusi ini menghadirkan akademisi dan peneliti dari kampus dan institusi ternama di Indonesia. Dalam diskusi yang digelar selama kurang lebih dua jam, berbagai permasalahan dikaji secara lebih dalam sekaligus memberikan pencerdasan bagi para warga dan pengunjung yang datang.
Widya Suryadini, Dosen Departemen Perencanaan Wilayah dan Kota Institut Teknologi Nasional, mengungkapkan bahwa saat ini perlu ada pembaharuan perspektif dalam memandang kampung kota. Kampung kota perlu diberdayakan lebih jauh dengan memanfaatkan sumber daya warga kampung tersebut untuk mengembangkan ekonomi agar mampu bertahan di tengah kerentanan.
“Kampung kota berada di tengah secara fisik sebagai penyangga. Jangan selalu memandang diri sebagai victim atau korban, yang akan menutup kemungkinan berkembang dan terus membuka luka,” ucapnya dalam sesi pemaparan.
Dalam pengembangan kampung kota tersebutlah peran-peran akademisi dibutuhkan. Tak hanya melakukan perlawanan secara fisik, tapi juga memberikan pemahaman dan pengembangan bagi warga kampung kota yang terdampak, serta melakukan kajian secara ilmiah dan bersuara lebih lantang.
Pihak penyelenggara Festival Kampung Kota pun menyebutkan bahwa peran mahasiswa dan akademisi sangat penting bagi kelangsungan warga kampung kota dan perjuangannya melawan penggusuran. Hal ini diperlukan agar perjuangan tak hanya dilakukan oleh satu kelompok masyarakat saja, melainkan juga melibatkan berbagai elemen yang bisa berkolaborasi dalam menghidupkan ruang publik dan memperjuangkan hak milik warga kampung kota.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H