Akhirnya pada Agustus 2017, Pemprov Jabar meminta pemberhentian proyek. Meikarta awalnya mengatakan proyek ini telah mendapatkan izin seluas 350 hektar, termasuk proyek Orange County. Kemudian izin diperpanjang menjadi 500 ha.
Namun proyek ini memiliki kendala lain dengan Pemerintah Provinsi Jawa Barat (Pempprov). Wakil Gubernur Jawa Barat (Jabar) kala itu, Deddy Mizwar, sempat meminta Lippo Group menghentikan sementara proyek tersebut pada Agustus 2017 karena belum mendapat rekomendasi dari pemerintah provinsi. Dimana provinsi Jawa Barat hanya merekomendasikan izin seluas 84,6 hektar untuk lahan proyek dari Meikarta. Perizinan yang jelas dan tata kelola yang baik merupakan prasyarat untuk menjaga kepercayaan publik dan memastikan proyek pembangunan memberikan kontribusi positif bagi masyarakat dan lingkungan.
2. Adanya gugatan pailit.
Proyek Meikarta telah terlibat dalam proses litigasi dan kepailitan oleh beberapa pemasok yang terlibat dalam proyek tersebut. Proses pailit ini terjadi ketika mereka menghadapi tunggakan pembayaran yang signifikan dari PT Lippo Cikarang Tbk (LPCK), pengembang proyek Meikarta. PT Mahkota Sentosa Utama (MSU), pengembang mega proyek Meikarta dan anak usaha PT Lippo Cikarang Tbk, dinyatakan pailit oleh dua pemasoknya, yakni PT Relys Trans Logistic dan PT Imperia Cipta Kreasi.
Perkara pailit diajukan ke Pengadilan Niaga Pusat Jakarta pada tanggal 24 Mei 2018 dengan nomor 68/Pdt.Sus-PKPU/2018/PN Jkt.Pst. Penjual ini mengklaim bahwa mereka belum menerima pembayaran untuk barang atau jasa yang mereka berikan di bawah proyek Meikarta. Penundaan pembayaran yang besar ini dianggap sebagai pelanggaran kontrak oleh pengembang. Mereka merasa dirugikan karena belum mendapatkan ganti rugi yang seharusnya diterima sesuai kesepakatan yang telah disepakati.
Proses kepailitan adalah tindakan hukum yang diambil oleh penjual ini untuk menagih klaim mereka dan mencari keadilan atas pembayaran yang belum dibayar. Tindakan ini juga mencerminkan kesulitan keuangan yang dialami para pedagang ini karena mereka belum menerima pembayaran yang seharusnya mereka terima. Keterlibatan Meikarta dalam proses kepailitan semakin memperumit proyek tersebut. Hal ini tidak hanya menimbulkan ketidakpastian bagi pemasok yang terkena dampak, tetapi juga dapat merusak reputasi proyek Meikarta secara keseluruhan. Proses kepailitan dapat menyebabkan ketidakpercayaan terhadap pihak lain yang terlibat dalam proyek dan dapat mempengaruhi kelancaran proyek.
Proses kebangkrutan pemasok Meikarta juga menunjukkan masalah dengan manajemen dan pengawasan proyek. Adalah penting bahwa pengembang proyek memiliki manajemen keuangan yang baik dan sistem pembayaran pemasok. Transparansi dalam hal ini sangat penting untuk membangun kepercayaan dan kerja sama yang langgeng antara pengembang dan pemasok. Selain itu, pengawasan yang efektif juga diperlukan untuk memastikan bahwa pembayaran dilakukan sesuai dengan perjanjian kontrak. Selain berdampak langsung pada pemasok yang terlibat, kasus kepailitan ini juga memberikan pelajaran penting bagaimana mengelola proyek-proyek besar dengan transparansi dan integritas yang tinggi. Proyek seperti Meikarta membutuhkan kolaborasi yang kuat antara pengembang, pemasok, dan pihak terkait lainnya untuk mencapai kesuksesan. Ketika masalah dan konflik keuangan muncul, mereka dapat mengganggu kemajuan proyek dan mengancam keberlanjutannya.
Selain itu, penggugat juga meminta majelis hakim untuk menetapkan sebanyak-banyaknya 6 orang wali dan wali dalam persidangan PKPU MSU. Direktur komunikasi Grup Lippo Danang Kemayan Jati mengakui kedua perusahaan tersebut merupakan pemasok ke Meikarta, meski membantah klaim yang dilontarkan keduanya. "MSU menolak gugatan dan rekening dua pemasok yakni perusahaan EO (event orginizer) PT Relys Trans Logistic dan PT Imperia Cipta Kreasi di Pengadilan Niaga Pusat Jakarta," katanya dalam siaran pers beberapa waktu lalu.
Sekali lagi, Lippo berhasil mengalahkan para penuduh. Pengadilan menolak kewajiban pembayaran utang (PKPU) pemasok mega proyek Meikarta. Penolakan tersebut terjadi karena tidak adanya akad antara kedua belah pihak yang mengakibatkan adanya hubungan hukum (debet dan kredit) antara kedua belah pihak.
3. Mangkrak dan mogok pengerjaan pembangunan.
Proyek Meikarta telah menimbulkan keluhan serius dari konsumen yang telah membeli apartemen atau properti di dalam kompleks tersebut. Keluhan ini terkait dengan progres konstruksi yang belum selesai, kurangnya fasilitas yang dijanjikan dan ketidakpastian keamanan kepemilikan. Keluhan ini mencerminkan kesulitan yang signifikan dalam pelaksanaan proyek Meikarta. Salah satu keluhan konsumen yang paling banyak adalah keterlambatan penyelesaian pekerjaan. Mereka kecewa dengan lambatnya kemajuan proyek dan ketidakpastian tentang waktu penyelesaian yang sebenarnya. Konsumen yang telah menghabiskan banyak uang untuk membeli apartemen atau real estate harus segera menikmati tempat tinggal atau mengembangkan usahanya di Meikarta. Namun, penundaan yang terus berlangsung membuat konsumen merasa frustrasi dan tidak puas dengan situasi kondisi ini.