Mohon tunggu...
Ridho Antaber
Ridho Antaber Mohon Tunggu... Freelancer - Spearfisher, Furniture Assembler

Memiliki minat pada konten-konten sosial budaya, pendidikan, psikologi, self improvement dan humor.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Buah Simalakama di Suaka Margasatwa Rimbang Baling

3 Februari 2022   12:37 Diperbarui: 3 Februari 2022   12:55 342
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
foto petani karet di Kampar Kiri Hulu (dok. kacamata Gober)

Hidup di kecamatan Kampar Kiri Hulu bagaikan mendapat buah simalakama, jika dimakan mati bapak, kalau tak dimakan mati emak. Masyarakat dihadapkan pada pilihan yang serba malang dalam memilih pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya meskipun mereka berada dalam salah satu provinsi terkaya di Indonesia.

Hampir seluruh masyarakat di kecamatan ini bermata pencaharian utama sebagai petani karet. mereka kesulitan menopang perekonomian keluarga disebabkan harga karet yang anjlok sejak akhir tahun 2012 lalu. Hasil dari penjualan karet tidak lagi bisa diandalkan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. 

Maka untuk menyelamatkan perekonomian keluarga, tidak sedikit keluarga yang memutuskan pindah dari desa untuk mencari pekerjaan ke daerah lain seperti ke kabupaten Kuantan Singingi, kecamatan Kampar Kiri atau ke ibu kota Pekanbaru.

Ketika bekerja sebagai petani karet di desa tidak bisa memenuhi kebutuhan keluarga, malah hutang di induk semang yang semakin bertambah, maka pada tahun 2014 ayah memutuskan pindah ke Lipatkain. Saya rasa keluarga yang lain juga beralasan hampir sama dengan ayah saya ketika mereka memutuskan pindah meninggalkan desa. 

Jadi, kalau sekarang kita pulang kampung kemudian jalan mengelilingi desa, maka di sana akan banyak kita temukan rumah kosong yang ditinggal oleh pemiliknya. Kemudian bagaimana dengan masyarakat yang tetap bertahan tinggal di kampung ? merekalah yang mendapat buah simalakama.

Mereka yang bertahan di kampung tetap bekerja sebagai petani karet dengan pendapatan ala kadarnya atau mencoba pekerjaan alternatif lain seperti mencari buah-buahan hutan (seperti idan, tampui, tughiang dan jernang) ataupun hasil hutan lainnya seperti bigar bambu. namun sayangnya hasil hutan seperti ini terbatas karena hanya bersifat musiman, sehingga tak bisa dijadikan tumpuan perekonomian. 

Kemudian jalan lainnya untuk menopang keuangan keluarga adalah dengan mengambil dan memanfaatkan pokok pohon-pohon layak olah yang ada di dalam kebun karet mereka ataupun hingga ke tengah hutan lebat. 

Namun pekerjaan ini dilabeli sebagai perbuatan yang melanggar hukum, melanggar undang-undang negara sebab perbuatan yang demikian akan merusak lingkungan dan mengganggu kelangsungan hidup hewan serimba raya. Apalagi wilayah kecamatan Kampar Kiri Hulu termasuk dalam kawasan Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Bukit Baling yang dikenal sebagai kawasan konservasi harimau sumatera dan beberapa hewan dilindungi lainnya.

Hasil panen karet tidak mencukupi, cari buahan hasil hutan terbatas karena bersifat musiman, menebang pohon berisiko menjadi tahanan, sementara di rumah ada keluarga yang harus dinafkahi saban hari, tak hanya nafkah makan, juga nafkah pendidikan bagi anak-anak. inilah simalakamanya.

Ketika pulang kampung sewaktu hari raya Idul Fitri, saya sempat mendengar ucapan bapak-bapak di sebuah warung "jankan kayu di imbo, kondiak nan haram buliah dimakan demi mampatahan iduik de. Kasagh-kasagh cakap, pemerintah condo lobiah paduli ka binatang podo ka awak" (jangankan kayu di hutan, babi yang haram boleh dimakan demi mempertahankan kelangsungan hidup. Kasar-kasar cakap, pemerintah seperti lebih peduli  ke hewan daripada ke manusia).

Saya menafsirkan perkataan itu sebagai bentuk ungkapan kecemburuan. Kecemburuan manusia terhadap manusia lainnya disebut kecemburuan sosial. Lalu ini, ada kecemburuan manusia terhadap hewan, disebut apa ini namanya ?

Ketika mata pencarian utama mereka tidak bisa menjamin kesejahteraan, lantas apa kira-kira solusi yang bisa kita tawarkan sebagai angin segar? apa kita bangun saja pabrik atau tambang di sana ? untung-untung mereka bisa numpang bekerja. konon, katanya di sana ada sumber daya berupa batu bara yang bisa diolah. Atau kita bangun 'Rimbang Baling Park' untuk menarik wisatawan datang seperti 'Jurrasic Park' yang akan dibangun di pulau Komodo, Nusa Tenggara Timur. 

Kita punya harimau sumatera, tapir, biawak, rangkong dan babi hutan. Apa mereka kalah menarik untuk diperbadut dan disirkuskan? atau kita tumbangkan saja semua pohon di hutan lebat "si paru-paru dunia dari Riau" itu ? kita ganti dengan tanaman industri seperti kelapa sawit yang lebih bernilai ekonomis. Ya, walaupun miskin akan fungsi ekologi, tapi fungsi fulusnya cukup mulus.

 Bagaimana dengan ekosistem dan bala yang akan mengancam kehidupan di kemudian hari ? sudahlah, mereka perlu makan hari ini, orang lapar tidak akan bisa dinasehati.

Atau ada solusi lainnya yang menjamin kesejahteraan ? mari secepatnya. Jangan biarkan mereka hidup se-ala kadarnya.

*artikel juga dimuat pada blog pribadi dengan judul dan isi yang hampir sama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun