TV yang semua merupakan media hiburan (film/drama) juga kemudian mengemas program berita. Lahirlah jurnalistik televisi. jurnalistik yang dilakukan di media radio dan TV disebut jurnalisme penyiaran (broadcast journalism) dengan ciri khas audio, video, dan bahasa tutur (conversational language).
Radio adalah media dengar atau bersifat auditory (untuk didengar). Karena itu, menyampaikan informasi melalui radio relatif lebih sulit dibandingkan dengan televisi.
Ketika pembaca berita menyajikan informasi, ia harus bisa menggambarkan peristiwa tersebut secara jelas, sehingga bisa ditangkap oleh imajinasi pendengar. Inilah yang membuat radio disebut sebagai theatre of mind. Menulis naskah radio disebut “menulis untuk telinga”.
Penulisan teks berita radio (untuk dibaca oleh news reader) harus menggunakan bahasa yang mudah dibaca oleh news reader dan mudah pula didengar oleh audiens. Untuk mencapai tujuan tersebut, jurnalis radio menggunakan teori ELF (Easy Listening Formula), yaitu penulisan yang jika diucapkan, mudah didengar dan mudah dimengerti pada pendengaran pertama. Karena dalam radio tidak ada pengulangan. Tidak seperti media cetak yang bisa dibaca beberapa kali oleh penerima informasi.
Televisi adalah media pandang dan dengar karena bersifat audio visual serta kemampuan memainkan gambar sehingga mampu menstimulasi pendengaran dan pengelihatan. Namun, prinsip dasar televisi lebih rumit, karena suara dan gambar diatur sedemikian rupa agar tersaji dan diterima oleh khalayak secara sikron. Karena melibatkan telinga dan mata (media pandang dan dengar), informasi dari televisi diingat lebih lama dibanding dengan yang diperoleh melalui membaca (media cetak). Sekalipun informasi yang disuguhkan persis sama.
Hal itu karena terdapatnya visualisasi berbentuk gambar bergerak dalam televisi. Visualisasi tersebut berfungsi sebagai penambah dan pendukung narasi yang dibaca reporter atau newsreader. Jadi, dalam menerima informasi, khalayak tidak hanya menggunakan satu indera, melainkan dua indera sekaligus, yaitu mata dan telinga. Kelebihan jurnalistik radio dan TV antara lain cepat dan bisa live reporting atau siaran pandangan mata, laporan pandangan mata merupakan program siaran langsung dari tempat kejadian. Sering juga disebut on the spot reporting.
C.) Jurnalistik Generasi Ketiga: Jurnalisme Online
Kehadiran dan perkembangan internet melahirkan jurnalisme online sebaga jurnalistik generasi ketiga. jurnalisme daring ini menggunakan situs web (website) sebagai saluran pemberitaan yang dikenal dengan media siber (cyber media), media online, atau situs berita (news site).
Jurnalisme online lahir tanggal 19 Januari 1998, ketika Mark Drugde membeberkan cerita perselingkuhan Presiden Amerika Serikat Bill Clinton dengan Monica Lewinsky atau yang sering disebut “monicagate” di website Druge Report, setelah majalah Newsweek dikabarkan menolak memuat kisah skandal hasil investigasi Michael Isikoff itu. Ketika itu, Drugde berbekal sebuah laptop dan modem, menyiarkan berita tentang “Monicagate” melalui internet. Semua orang yang mengakses internet segera mengetahui rincian cerita skandal Monica itu.
Di Indonesia Pada 17 Januari 1998 disebut-sebut sebagai tonggak sejarah kelahiran jurnalistik online, dan dua tahun kemudian, sekitar awal 2000, muncullah situs-situs pribadi yang menampilkan laporan jurnalistik pemiliknya yang kini dikenal dengan website blog, weblog, atau blog saja.
Sedangkan kemunculan di Indonesia ketika akhir kepemimpinan Orde Baru saat Presiden Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998. Berita tersebut tersebar luas melalui daftar atau grup email (milist) yang dikenal dikalangan aktivis demokrasi dan mahasiswa. Setelah itu, beragam media online pun hadir seperti detik.com dan lainnya. Format penyajian informasi di media online mirip dengan di media cetak, namun media online menyajikan format lainnya selain teks (tulisan), yakni audio, video, animasi, dan infografis. Multimedia menjadi salah satu keunggulan jurnalisme online.