Mohon tunggu...
Ridha SitiZahara
Ridha SitiZahara Mohon Tunggu... Akuntan - Amateur

Let's read, write, and be inspired!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pentingnya Hubungan Satu Frekuensi

21 Februari 2020   10:50 Diperbarui: 16 Juni 2021   07:09 11356
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mengawali perbincangan pagi ini dengan salah satu rekan kantor. Saya officially udah sampe kantor 7.42 pagi, melakukan rutinitas pagi potong buah dan buat ramuan kunyit sereh (membiasakan diri hidup sehat ceritanya). 

Setelah perbincangan dengan berbagai topik sebelumnya, lagi-lagi sampai ke topik soal pasangan. Sebagai jomblowati, saya cuma bisa cerita soal mantan (bukan mantan pacar juga sii, yaa mantan orang terdekat lah, karena dulu kami sama-sama berikhtiar ke arah serius). Kalau begitu sebut saja mantan calon suami.

Balik ke topik "Pentingnya Memiliki Hubungan Satu Frekuensi dengan Pasangan". Actually gw terinspirasi dari Pak Habibie (dalam film Habibie Ainun 1 kalau ga salah), di mana dikisahkan banyak orang yang berlomba menjadi pendamping Bu Ainun. Tapi Pak Habibie tidak terganggu sama sekali oleh pesaingnya. 

Baca juga: Satu Keluarga Satu Frekuensi

Ditanya kenapa? Jawabnya karena meskipun banyak yang memperebutkan, tapi yang penting adalah yang 1 frekuensi. Kurang lebih gitu. Simple sih jawabannya, tapi ngena banget. Iya, maksudnya meskipun ada banyak orang di luar sana sebagai pesaing, yang penting bagaimana 2 insan sama-sama punya visi misi yang searah dan berkomitmen.

1 frekuensi bisa juga diartikan "heart to heart". Kedekatan hati dengan hati. Well, I was dreaming about the truly love. Kalaupun di tengah realita cinta itu bisa terganggu segala jenis permasalahan. But it does exist! and I believe.

Baca juga: Satu Frekuensi Menunjukkan Eksistensi

Sejumput kisah gagalnya saya dengan calon yaa mungkin juga karena visi misi kami soal pernikahan, kehidupan berkeluarga, karir, dan cara hidup (the way of life) kami berbeda. Di luar sana, banyak pasangan yang berhasil mengatasi semua perbedaan ini. Saya yakin kami juga bisa. Tapi saya salah. Calon pasangan memutuskan untuk menyudahi hubungan kami.

Saya mencoba mengevaluasi kembali (aduh ini bahasanya berat amat) perkara-perkara gagalnya hubungan ini. Mulanya saya berpikir calon terlalu lemah dan tidak memiliki daya juang atau komitmen kuat untuk berumah tangga dengan saya. 

Baca juga: Senangnya Punya Teman "Satu Frekuensi"

Saya pun ikhlas menerima keputusannya. Kemudian saya berpikir kembali dan sampailah pada kesimpulan bahwa saya memang bukan wanita yang dia cari, atau dia inginkan sebagai pendamping, sejak awal. But I just did not realize it! atau tepatnya menolak menyadarinya. 

Meski aku bisa menerima dia "apa adanya" (bener-bener mencoba), tapi itu tidak cukup. Kenyataannya justru saya tidak memenuhi kualifikasinya. I feel rejected. I am not the right woman for him, and he's not the right man for me afterall. We're not in the same frequence.

Meskipun pada mulanya saya merasa dia salah karena membiarkan ini berlarut-larut (karena gw pikir why did it take so long for him to say this). Ini suatu hasil yang baik buat kita sih. Daripada pas nikah nanti nyesel, lebih ngeri lagi kan. 

Semoga ke depan nanti bisa dijodohkan dengan orang yang se-frekuensi. That's it. Wish me luck!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun