Mohon tunggu...
Muhamad Baqir Al Ridhawi
Muhamad Baqir Al Ridhawi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Lagi belajar nulis setiap hari.

Blogku sepi sekali, kayaknya cuma jadi arsip untuk dibaca sendiri. Hohohoho. www.pesanglongan.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Perdebatan Mau Vaksin atau Tidak

28 Januari 2021   22:53 Diperbarui: 29 Januari 2021   01:33 919
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semua orang tentu mendamba-dambakan pandemi corona segera berlalu. Tetapi nyatanya tidak semudah itu, kawan-kawan. Ketika kegegeran vaksin bayar telah sudah, kini muncul kegegeran selanjutnya: ada golongan yang menolak divaksin.

Sontak saja, si setuju naik pitam, naik meja dan, "siapa kau! berani-beraninya". Eh, nggak-nggak. Bercanda. Mungkin si setuju beranggapan kalau semua sudah divaksin bakal beres cepat. Dan si menolak inilah jadi penghambatnya. Penghambat kembalinya kehidupan normal sebagaimana dahulu kala.

Tidak ada yang tahu siapa yang benar dan siapa yang salah. Semuanya mungkin-mungkin saja. Nanti waktu yang akan menjawab, kawan-kawan (ya, semua tahu itulaaaaah). Tetapi yang mau aku uraikan di sini adalah kenapa mereka tidak setuju divaksin?

Seandainya alasannya adalah lantaran tidak sesuai dengan syarat dan ketentuan yang diberlakukan oleh pihak yang berwenang, alias dokter yang menangani vaksin, tentu tidak perlu ada geger-gegeran.

Karena vaksin ini---hanya sangat dianjurkan---buat yang berumur 18-59 tahun. Dan orang sehat alias tidak punya penyakit hipertensi, diabetes, dan sebagainya.

Tetapi bagaimana kalau alasannya tidak bersedia vaksin adalah karena yo pak ora ooo.. sakarepku ooo.. bebas ooo...(bahasa Pekalongan yang artinya: ya biarinlah, terserahkulah, bebaslah) atau pokoknya nggak mau saja?

Sebentar-sebentar, tentu tidak mau itu juga tidak ujug-ujug tidak mau. Ada lapisan alasan lainnya.

Mungkin karena tidak percaya dengan vaksinnya, kalau vaksin itu bisa menyembuhkan. Soalnya mungkin dia tidak percaya pembuat vaksinnya. Wong nggak kenal kok. Atau soalnya mungkin dia tidak percaya iktikad baiknya pemerintah.

Ya, mungkin saja mereka telah banyak dikecewakan. Mungkin. Atau soalnya mungkin dalam sepanjang hidupnya dia hanya punya segelintir orang yang dapat dia percayai, sehingga yang di luar itu, rasanya amat mustahil dipercayai.

Dan kemungkinan lainnya lagi, karena dia percaya atau optimis bahwa dirinya bakal sehat-sehat saja. Soalnya dirinya masih muda, atau punya ketahanan tubuh yang prima.

Dan buktinya juga ada tuh yang kena corona, tetapi bisa sembuh hanya dengan isolasi mandiri di rumah. Dia merasa dirinya seperti itu. "Dan lagipula urusan mati itu kan ada di tangan Tuhan." Dan seterusnya, dan seterusnya.

Sebetulnya persoalannya adalah percaya atau tidak. Dan percaya itu berasal dari pengalaman dan ikhtiar. Maksudnya berdasarkan pengalaman kita sebelumnya gimana soal ke-percaya-an? Sudah ikhtiar bener-bener belum? Kadang kan ada yang ikhtiar sedikit saja, bisa percaya akan baik-baik saja. Tetapi ada juga yang tidak begitu, harus ikhtiar sebanyak mungkin.

Tetapi jangan lupa libatkanlah satu-satunya sebab-musabab yang katanya kamu percayai (bagi yang berTuhan lho), telah membikinmu bisa bernapas sampai sekarang.

Ya, libatkanlah Tuhan. Sebetulnya apapun saja, selain corona juga, kita harus libatkan Tuhan terus. Waktu makan kita libatkan Tuhan. 

Waktu rebahan sendirian di kamar sambil HP kita libatkan Tuhan. Waktu pergi naik pesawat kita libatkan Tuhan. Soalnya tidak ada yang tahu beberapa detik kemudian apa yang akan terjadi. Semoga yang "tidak-tidak" tidak terjadi. Dan apabila terjadi semoga itu yang terbaik karena kita menghadirkan Tuhan di saat itu.

Kalau kata Mbah Nun, kita tidak ikut atau ikut vaksin tetap bergantung ke Allah. Karena hanya Allah yang bisa memutuskan kita terpapar virus atau tidak, baik yang divaksin maupun yang tidak.

Sebagaimana kisahnya Nabi Musa, yang memakan daun tertentu yang disuruh Allah untuk menyembuhkan sakit perut. Dan betul sembuh. Namun di saat Nabi Musa makan daun lagi di sakit perut berikutnya, sakitnya tidak sembuh-sembuh. Lalu, Allah pun berfirman, bahwa diri-Nya-lah yang memberi izin agar daun itu bisa menyembuhkannya. Allah-lah faktor utamanya.

Namun ya alangkah baiknya kita menghargai ikhtiar keras pemerintah dalam menangani corona ini. Bukankah Allah menyuruh kita berikhtiar sebaik mungkin sebelum pasrah?

Kalau kata Cak Nun (dalam channel YouTube Caknun.com) itu ibarat dirinya minum obat yang diberikan oleh dokter Eddot. Beliau tidak mengetahui apa saja kandungan obatnya, efeknya gimana. Tapi dia hargai tangannya dr. Eddot yang ikhlas, memperhatikan dirinya, cinta pada dirinya. Dan juga, "apalagi Presiden memberi contoh. Itu harus kita hargai," kata Cak Nun.

Tetapi bukan berarti aku menganjurkan vaksin lho. Juga bukan berarti aku tidak menganjurkan vaksin lho. Tulisan ini hanya tulisan. Mungkin saja bisa buat pertimbangan. Kan jatuhnya terserah-serah diri kita masing-masing mau divaksin atau tidak. Bebas. Ini kan negara demokrasi. Dan ini juga tubuh-tubuh kita sendiri, terserah kita dong.

Tapi jangan lupa tetap patuh protokol kesehatan (jaga jarak, pakai masker, sering cuci tangan), kalau pun kita menganggap diri kita sehat-sehat saja tetap lakukan itu. Jangan nggaya.

Sekali lagi, itu dengan maksud menghargai atau menghormati orang lain, yang khawatir dirinya kenapa-kenapa ketika bersama orang lain.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun