Mohon tunggu...
Ridha Afzal
Ridha Afzal Mohon Tunggu... Perawat - Occupational Health Nurse

If I can't change the world, I'll change the way I see it

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menelusuri Jejak Praktik Manipulasi di Kampus

15 November 2021   16:45 Diperbarui: 15 November 2021   19:06 565
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Source: deccanherald.com

Saya tidak perlu sebutkan nama perguruan tingginya. Tetapi ini ada dan nyata karena yang cerita kepada saya adalah yang bersangkutan, pelakunya sendiri. Jumlahnya bukannya satu dua orang.  Masuknya tidak perlu test. Kalau pun test hanya syarat formalitas. Yang penting syaratnya dipenuhi, dijamin lolos.

Rekrutmen mahasiswa berbondong-bondong di luar Jawa. Hingga di Malang misalna, sampai ada kampung yang diisi oleh mahasiswa dari provinsi tertentu. Mereka direkrut oleh mahasiswanya sendiri sebelum masuk kuliah.  

Sewaktu kuliah pun, nilai IPK tidak terlalu bermasalah. Saat ini, mahasiswa memang takut dosen. Tetapi jangan lupa, dosen takut dekan, dan dekan takut rektor. Rektor takut Asesor, akreditasi dan sertifikasi kampus. Makanya jangan heran, nilai Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) di atas 3.5 itu, diobral.

Zaman dulu, nilai IPK 3.00 itu susah banget dapatnya. Sekarang ini, minimal dapat 3.30 itu tergolong rendah, dan tidak perlu susah payah mendapatkannya. IPK 3.00 itu kebangetan. Predikat Cum laude itu jadi produk pasaran. IPK 4, yang sempurna saja, ternyata kualitasnya jauh dari harapan.

Mengapa seperti ini?

Syarat untuk bisa masuk test CPNS minimal IPK 3.00.  Lulusan PT swasta, jika IPK nya rendah, kasihan mereka tidak bisa ikut PNS. Saya pribadi tidak bisa menyalahkan mahasiswa, dosen serta kampus.  Zamannya memang sudah begini.

Kalau IPK lulusannya kurang dari 3.00, bagaimana mereka bisa terjaring sebagai PNS? Bahkan tidak sedikit perusahaan swasta yang meminta IPK nya minimal 3.00. Jika kurang, harus mundur teratur.

Pada akhirnya, dosen harus bermurah hati. Nilai hasil ujian tidak ada yang rendah. Semuanya tinggi-tinggi. Mahasiswa senang, dekan senang, rektor bangga. Orangtua mahasiswa tidak kalah gembiranya. "Anak saya pintar. Tidak percuma saya kuliahkan jauh-jauh ke Jawa." Kata mereka.

Bagaimana dengan hasil ujiannya?

Gampang, sekarang ini, jika tidak lulus, ada peluang  ngulang ujian lagi. Biasanya pasti lulus. Barangkali memang ada dosen yang Killer. Berapa sih jumlah mereka? Rata-rata tidak ambil pusing.

Yang Retaker atau peserta ujian ulang, bisa dapat minimal nilai B bahkan bisa A. Saya tidak tahu bagaimana manipulasinya. Namun ini sudah menjadi rahasia umum. Mahasiswa sekarang tidak ada yag takut dengan nilai-nilai ujian.

Dalam rapat dosen, jika banyak mahasiswa memperoleh nilai rendah, sang dosen mata kuliah akan ditanya Dekan atau Rektor, mengapa. Pilih amannya, dosen akan memberikan 'hadiah' nilai 'tinggi' kepada mahasiswa. Tidak jarang dosen dapat 'oleh-oleh' dari mahasiswa. 

Skripsi, Tesis hingga Disertasi, jadi bahan 'mainan'. Ada yang, maaf saya bilang, 'diperdagangkan'. Mulai dari proposal, ujian proposal, hasil penelitian hingga nilai ujian akhir Skripsi, Tesis atau Disertasi, bisa 'diatur'. Asalkan ada uang, semua tugas, jurnal, buku, hingga ujiannya, bisa berjalan lancar.

Saya punya teman, saat ini kerja di luar negeri, jebolan kampus negeri ternama di negara +62. Dia biasa bantu bikin skripsi mahasiswa. Sudah jadi semacam langganan. Sekarang pun, ada yang masih memberikan layanan seperti ini.

Bagaimana bisa?

Sistem pendidikan kita tidak seperti Australia misalnya yang tidak mewajibkan skripsi atau tesis, kecuali bagi yang minat. Untuk apa dipaksakan jika akhirnya seperti ini? Semuanya terasa seolah bisa diakalin .

Bayangkan, kuliah dari A sampai Z, tidak perlu belajar. Bisa lulus dengan predikat memuaskan tanpa susah payah. Ada yang sangat memuaskan.

Bagaimana dengan lapangan kerja?

Tidak perlu kuatir. Orangtua mereka punya saudara, kenalan, atau apapun namanya yang bisa menjamin. Asal ada Rp 150 -Rp 500 juta, tergantung posisinya, bisa diatur. Pekerjaan tidak masalah.

Seberat apapun syaratnya, tidak perlu pusing. Saat ini, untuk profesi seperti perawat misalnya, yang mengharuskan memiliki Surat Tanda Registrasi (STR) agar bisa bekerja. Nyatanya ada lolos, tanpa STR pun, bisa mendapatkan pekerjaan.  Test penerimaan pegawai hanya formalitas saja.

Praktik seperti ini masih banyak terjadi. Sulit dibuktikan karena secara administrasi sudah ditata rapi. Manusia di belakang meja jauh lebih pintar di balik regulasi yang dibuat. Seketat apapun, nyatanya masih ada cela untuk berbuat kolusi, nepotisme , korupsi atau apapun namanya, kombinasi dari ketiga-tiganya.

Sepertinya dari zamannya Orba hingga sekarang, masih sulit diberantas praktiknya. Masih meluas, menggurita, walaupun sulit dilacak di atas kertas. Permainannya bisa tingkat tinggi, computer based, sehingga susah dibuktikan.

Yang kasihan adalah mereka yang jujur, berusaha giat belajar dan bekerja, tetapi harus minggir karena adanya 'predator' di bangku kuliah, lapangan kerja, mungkin pula pada level 'perebutan' pangkat dan jabatan.

Apakah masih ada yang jujur dan baik?

Ada banyak. Namun yang bermain KKN juga tidak surut jumlahnya. Politik acapkali jadi alat semua ini. Jika suara bisa dibeli, pastilah, angka atau nilai ujian, skripsi, tesis dan disertasi, tidak perlu dipertanyakan.

Kini, kita tidak perlu kuatir, karena yang namanya gagal ujian itu tidak ada. Yang ada adalah dijamin lulus dengan predikat 'memuaskan'.  

Ada orang-orang yang pandai meyesuaikan diri dengan keadaan ini. Ada yang tidak sanggup menerima semua ini. Ada yang mengikuti arusnya, apapun yang terjadi yang penting dia tidak melakukannya. Ada yang ikut-ikutan lantaran tidak punya pilihan. Ada yang milih jadi pebisnis atau kerja wiraswasta. Ada lagi yang kerja di perusahaan saja. Ada pula yang tidak tahan, kemudian kerja di luar negeri.

Saya tahu tidak semua kampus seperti ini. Saya tidak memiliki statistiknya. Yang jelas, masih ada di mana-mana. Kampus negeri atau swasta tidak beda. 

Anda boleh tidak setuju dengan saya.

Agaknya tidak mudah mengeliminasi pratik KKN di kampus hingga perolehan peluang kerja di lapangan yang menggunakan segala cara. Semuanya berangkat dari individu, baik pelaku maupun penerima, sama saja. Kedua-duanya memegang peran besar. Keduanya penentu praktik kotor ini. Keduanya selalu memiliki alasan mengapa harus melakukannya. 

Kecuali jika ada ancaman hukuman berat bagi pelakunya, manipulasi nilai dan IPK, kasarnya KKN di kampus, tidak akan pernah musnah.

Makassar, 15 November 2021

Ridha Afzal

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun