Sepertinya dari zamannya Orba hingga sekarang, masih sulit diberantas praktiknya. Masih meluas, menggurita, walaupun sulit dilacak di atas kertas. Permainannya bisa tingkat tinggi, computer based, sehingga susah dibuktikan.
Yang kasihan adalah mereka yang jujur, berusaha giat belajar dan bekerja, tetapi harus minggir karena adanya 'predator' di bangku kuliah, lapangan kerja, mungkin pula pada level 'perebutan' pangkat dan jabatan.
Apakah masih ada yang jujur dan baik?
Ada banyak. Namun yang bermain KKN juga tidak surut jumlahnya. Politik acapkali jadi alat semua ini. Jika suara bisa dibeli, pastilah, angka atau nilai ujian, skripsi, tesis dan disertasi, tidak perlu dipertanyakan.
Kini, kita tidak perlu kuatir, karena yang namanya gagal ujian itu tidak ada. Yang ada adalah dijamin lulus dengan predikat 'memuaskan'. Â
Ada orang-orang yang pandai meyesuaikan diri dengan keadaan ini. Ada yang tidak sanggup menerima semua ini. Ada yang mengikuti arusnya, apapun yang terjadi yang penting dia tidak melakukannya. Ada yang ikut-ikutan lantaran tidak punya pilihan. Ada yang milih jadi pebisnis atau kerja wiraswasta. Ada lagi yang kerja di perusahaan saja. Ada pula yang tidak tahan, kemudian kerja di luar negeri.
Saya tahu tidak semua kampus seperti ini. Saya tidak memiliki statistiknya. Yang jelas, masih ada di mana-mana. Kampus negeri atau swasta tidak beda.Â
Anda boleh tidak setuju dengan saya.
Agaknya tidak mudah mengeliminasi pratik KKN di kampus hingga perolehan peluang kerja di lapangan yang menggunakan segala cara. Semuanya berangkat dari individu, baik pelaku maupun penerima, sama saja. Kedua-duanya memegang peran besar. Keduanya penentu praktik kotor ini. Keduanya selalu memiliki alasan mengapa harus melakukannya.Â
Kecuali jika ada ancaman hukuman berat bagi pelakunya, manipulasi nilai dan IPK, kasarnya KKN di kampus, tidak akan pernah musnah.
Makassar, 15 November 2021