Jauh sebelum merebaknya Covid-19, saya pernah berkunjung ke sebuah kecamatan kecil, Munjungan namanya, di bagian pesisir laut selatan, Kabupaten Trenggalek. Di Munjungan, yang memiliki 11 desa tersebut, kami bertamu ke seorang senior, karyawan BKKBN. Pak Saeroji namanya. Beliau bekerja di lembaga Keluarga Berencana, milik Pemerintah, sudah lebih dari 35 tahun menggeluti profesinya sebagai PKB (Penyuluh Keluarga Berencana).
Berlatar belakang pendidikan Sekolah Perawat Kesehatan (SPK) Pak Saeroji, menekuni profesi PKB dari bawah, di tempat yang sama. Saya bayangkan betapa menjenuhkan. Lebih dari 35 di kantor yang sama, dengan orang-orang yang sama, kecamatan yang menurut saya terpencil, 40 km dari kota, di wilayah pegunungan, rawan longsor, tentu tidak mudah bekerja sebagai PKB.
Makanya saya salut dengan beliau. Di tengah kesulitan menghadapi tantangan kerjanya, beliau sangat tegar. Akhir tahun 1980-an belum ada motor, belum ada HP di instansinya , naik turun bukit, dengan sepeda buluk yang digunakan bergantian dengan 2 orang rekan kerja lainnya. Pak Sae menyadari dari awal, bahwa tantangan kerjanya makin besar nantinya.
Oleh sebab itu beliau kuliah lagi. Ambil pendidikan sarjana, kemudian lanjut dengan pascasarjanya. Beliau selesaikan pendidikan di kota Trenggalek. Mondar-mandir sejauh 40 km perjalanan, liku-liku dan berkelok, tidak kurang dari 6 bukit yang harus dilaluinya guna menuju kota.
Saat ini Pak Sae yang asli kecamatan Tegal Dlimo, menjabat sebagai Kepala PKB di Kecamatan Munjungan. Di usianya yang senja, beliau tidak lagi mampu ngantor sebagaimana semula. Penyakit Stroke yang dideritanya mengakibatkan Pak Sae tidak lagi bisa naik motor karena separuh dari organ ekstremitasnya mengalami gangguan fungsi. Mengetikpun hanya bisa menggunakan tangan kanan.
Meski demikian, dari pancaran wajahnya, saya masih bisa melihat pancaran semangat kerjanya yang luar biasa. Beliau pimpin kantor dengan 5 anak buah.
Kini, BKKBN Munjungan tidak lagi seperti dulu di tahun 80-an. Setiap staf PKB dilengkapi dengan gadget, masing-masing punya motor selain ada motor dinas. Absen kerja harian wajib menggunakan aplikasi, bekerja dengan target. Bukti kerja harus dilampirkan dalam setiap laporan kegiatan. Ada target spesifik yang harus diraih. Perolehan insentif dan kenaikan pangkat akan dievaluasi sesuai perolehan hasil kerja.
Kata Pak Sae, system yang baru ini baik. Beliau sangat mendukung. Dengan system baru ini akan bisa dilihat mana yang kerja dan mana yang tidak. System yang mirip dengan SMART Objectives (Specific, Measurable, Achievable, Relevant, Time-bound) ini membantu karyawan lebih fokus, memiliki kegiatan yang jelas dan memotivasi. Dengan SMART goals ini akan terhindar dari iri-dengki sesama karyawan. Karena perolehan penghasilan akan didasarkan pada aktivitas dan perolehan capaian kegiatan. Buka sama rasa sama rata. "Dulu..." Kata Pak Sae, "....kita semua dibayar sama. Kerja atau tidak, sama saja gajinya. Itu tidak bagus." Lanjutnya.
*****
Beberapa pekan belakangan kini sepertinya terlihat tanda-tanda akan berakhirnya pandemi Covid-19 (semoga). Beberapa kantor, instansi mulai memberlakukan kebijakan WFO (Work From Office). Kembali lagi kerja di kantor sebagaimana semula, sesudah hampir dua tahun Work From Home (WFH) tidak mudah. Konon WFH bagi sementara orang dirasakan membosankan dan banyak yang malas kerja serta tidak produktif.
Asumsi tersebut mungkin keliru dan terkesan subyektif. Akan tetapi bisa dimengerti karena tidak semua orang paham akan arti inovasi, inisiatif dan produktivitas kerja. Ada orang --orang yang suka dengan pembaruan serta kaya akan ide. Namun tidak sedikit yang susah mendapatkan ide. Mereka butuh rekan kerja guna merangsang lahirnya ide-ide baru dalam kerjanya.
Juga upaya untuk menimbulkan inisiatif dalam kerja tidak gampang. Inisiatif itu sangat mahal. Pada kasus yang dialami Pak Sae misalnya, beliau kerja sambil kuliah lagi itu contoh inisiatif yang mahal nilainya. Terlebih di daerah terpencil. Apalagi produktivitas. Pak Sae yang kondisnya tidak lagi seperti dulu, dengan bagian tubuh yang hanya 50% aktif, nyatanya beliau masih mampu memanfaatkannya. Ini contoh konkrit produktivitas kerja yang ditunjukkan pada reka-rekan kerjanya agar tetap semangat.
Akhir Juli lalu, beliau satu-satunya staf di BKKBN Trenggalek yang menerbitkan jurnal hasil karyanya terkait BKKBN di sebuah perguruan tinggi di Bandung. Sungguh luar biasa.
Oleh sebab itu saya setuju dengan apa yang disampaikan oleh mendiang tokoh nasional pemuka agama Islam asal Sumatera Barat, Buya Hamka. Beliau mengemukakan 'kalau kerja hanya sekedar kerja, Kera juga bekerja'.
Sarkasme atau sindiran tajam dari Buya Hamka ini seolah mengingatkan kita pentingnya bekerja dengan sungguh-sungguh. Tidak asal bangun pagi, mengenakan seragam, pakaian rapi, bersepatu, pakai mobil atau motor, duduk di kantor hingga sore baru pulang, tetapi tidak menghasilkan apa-apa kecuali rutinitas. Demikian pesan Bob Sadino. Â
Memang tidak mudah untuk menjadi karyawan yang benar-benar karyawan. Komitmen dan dedikasi tinggi itu butuh proses. Saya sendiri sedang belajar dan melakoninya. Bukan bermaksud menggurui atau mendikte. Sebaliknya, sambil mengingatkan diri sendiri, saya tulis artikel ini sebagai pengingat. Bahwa manusia memang tidak ada yang sempurna.
Bagaimanapun, pencapain kerja tetaplah pencapaian kerja yang harus diutamakan sebagai bentuk tanggungjawab seorang karyawan. Seperti yang dikemukakan oleh Buya Hamka. Agar kita beda dengan Kera. Â Â
Makassar, 10 November 2021
Ridha Afzal
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H