Memang pendapatan perekonomian yang diperoleh dengan bekerja sebagai Relawan Covid-19 dirasa cukup menjanjikan. Jumlah permintaan melonjak. Rekrutmen perawat ada di mana-mana serentak, dari Sabang hingga Merauke.
Di Wisma Atlet khususnya dan Jakarta pada umumnya, tiba-tiba jumlah perawat asal Aceh membludak. Padahl, padahal sebelumnya bisa dihitung. Setidaknya sekitar 150 perawat asal Aceh bekerja sebagai Relawan Covid-19 pindah ke Jakarta.Â
Penghasilan yang diperoleh bisa mencapai di atas angka Rp 8 juta per bulan. Sebuah jumlah yang boleh dibilang mustahil dikantongi di Aceh. Alhamdulillah. Bagi kami perawat Aceh, ini merupakan sebuah keberkahan di tengah 'bencana'. Ironi memang.
Selama masa Covid-19, teman-teman perawat yang sedang memikul beban kerja berat, hidup cukup makmur. Kesejahteraan terjamin. Wajarlah. Bahkan di RS-RS, teman-teman yang ditugaskan di bangsal Covid-19 memperoleh tunjangan khusus yang setiap bulannya bisa melebihi gaji bulanannya.
Siapa yang tidak suka?
Namun beban tugas mereka jangan ditanya. Bayangkan seharian selama 8-10 jam harus berada di dalam bungkusan yang bernama PPE (Personal Protective Equipment) yang tebal, panas dan menyesakkan.Â
Risikonya bisa fatal jika tidak dikenakan secara sempurna. Selama bekerja kadang sedemikian sibuknya sehingga sulit mencari waktu untuk makan snack atau minum lantara haus.Â
Jam 5 pagi sudah harus siap, tidak jarang jam 8 malam baru sampai pondokan. Meski jam kerja tertulis 8 jam, kenyataannya tidaklah demikian. Itu semua pengurbanan yang tidak tertuang dalam kertas kontrak kerja.
Kini, situasinya sudah beda. Teman-teman saya yang berada di Malang mengaku, bangsal-bangsal Covid-19 sudah pada tutup. Perawat-perawat Covid-19 semua dikembalikan ke bangsal asal mereka semula.
Demikian juga rekan-rekan yang berada di Jakarta. Bangsal-bangsal Covid-19 di ibu kota sudah sepi, gelap dan tidak berpenghuni.Â