Mohon tunggu...
Ridha Afzal
Ridha Afzal Mohon Tunggu... Perawat - Occupational Health Nurse

If I can't change the world, I'll change the way I see it

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Cuci Darah Lewat Perut, Minim Spesialisasi Minim Sosialisasi

13 Agustus 2021   19:30 Diperbarui: 13 Agustus 2021   19:38 705
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Source: RS Kasih Ibu

Kurang lebih sepuluh tahun lalu, masih terhitung kerabat meski agak jauh, menderita gagal ginjal kronis (GGK). Waktu itu saya belum tahu apa itu gagal ginjal. Yang saya tahu kata 'Ginjal' nya. Lagi pula waktu itu saya masih duduk di bangku SMA. Saya memanggilnya Paman Harto. Usianya kurang lebih 60-an tahun. Beliau perokok berat, berperawakan tinggi kurus. Ada tidaknya penyakit penyerta yang dideritanya, saya kurang tahu.

Seperti yang pernah saya baca, penderita GGK 90% jarang mengeluhkan. Saya mahfum ketika paman tiba-tiba mengeluh dan harus dilarikan ke rumah sakit. Ternyata didiagnosa GGK. Kami hanya pasrah mau diapakan. Dengan menggunakan layanan asuransi kesehatan untungnya sangat terbantukan.

Ringkasnya, dilakukan operasi pada bagian perut. Beberapa tahun kemudian, saat saya kuliah baru paham bahwa prosedur yang dilakukan pada paman Harto adalah bagian dari Dialisis. Tepatnya dinamakan Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) atau Perotoneal Dialysis (PD). Orang awam menyebutnya Cuci Darah Lewat Perut  (CDLP). Untuk selanjutnya saya akan menuliskannya sebagai PD saja ya?

Nah, setahun terakhir ini saya bekerja menekuni bidang PD ini. Sebagai perawat, saya sangat bersyukur mendapatkan ilmu pengetahuan, keterampilan, wawasan serta bergaul dengan orang-orang yang menderita GGK ini. Dari berkunjung ke satu Rumah Sakit (RS) ke RS lainnya yang temui perawat atau dokter PD, serta pasien-pasien GGK. Berbagai pertemuan ilmiah sempat saya ikuti terkait PD ini. Saya sangat bersyukur karenanya.

Saat ini menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO) sekitar 10% penduduk dunia menderita GGK. Berarti ada sekitar 27.500.000 penduduk Indonesia yang menderitanya. Hanya saja dari 10% tersebut, yang 9% tidak melaporkan (Kompas.com, 13-3-2020). Artinya hanya ada 2.750.000 pasien GGK yang lapor di negeri ini.

Dua tiga tahun terakhir saya mengenal bahwa penanganan GGK itu ada tiga: tranplantasi ginjal, Hemodalisa dan PD. Transplantasi ginjal menurut pakarnya, Dr. Atma Sp.KGH di RS dr. Saiful Anwar Malang (BTW, saya kenal beliau dan beberapa kali ketemu), merupakan cara yang terbaik dalam penanganan GGK. Hanya saja, lewat operasi, ganti ginjal, butuh donor, dan tentu saja sangat mahal. Diperkirakan bisa membantu hingga 60% pasien GGK.

Hemodialisa (HD) sistemnya menggunakan alat, dua tiga kali pasien harus bolak balik ke RS. Sayangnya tidak semua RS memiliki fasilitasnya. Terutama hanya tersedia di kota besar dan terbatas jumlah mesinnya. HD ini pas untuk mereka yang tidak memiliki mobilitas tinggi. Biayanya tentu saja lebih besar, butuh transportasi sering pulang-balik.

PD lain lagi. Lebih praktis, khususnya bagi pasien yang punya mobilitas tinggi. Tidak perlu bergantung pada orang lain, bisa dikerjakan sendiri di rumah, dalam kendaraan, saat travel, ataupun di hotel. Pokoknya praktis. Hanya saja butuh dilatih oleh perawat terampil, pasien perlu memiliki disiplin tinggi, rajin jaga kebersihan agar tidak terjadi infeksi di perut (Peritonitis). PD dilakukan 3-4 kali sehari tinggal menyambungkan kateter untuk memasukkan cairan (Dialisat) dalam kemasan sekitar 2 liter ke dalam perut. Cairan ini menetap di perut butuh waktu sekitar 6 jam. Ada juga PD yang menggunakan mesin yang namanya Cycler yang biasanya dilakukan malam hari saat tidur. Nama kerennya Automated Peritoneal Dialysis (APD).

Paman saya dulu menggunakan PD. Saat itu Gojek belum populer, sehingga cairan harus mengambil di RS setiap sebulan sekali. Saat ini enak, diantar ke rumah oleh Gojek. Enaknya lagi, tidak repot-repot antrian di klinik seperti pasien HD, khususnya jika pasien HD banyak tapi jumlah mesinnya minim.

Paman saya dilatih oleh perawat PD sebelum pulang. Kemudian mengerjakan sendiri di rumah. Pemberian PD ini yang saya ketahui bagus untuk orang-orang yang tidak memiliki penyakit penyerta, bisa mandiri, sering bepergian dan memang harus disiplin. Lagian, jauh lebih murah dari pada HD. Apalagi jika harus cangkok ginjal, sungguh berat. Biayanya saja konon bisa mencapai Rp. 300-400 juta. Meskipun sebagian bisa dibantu BPJS, tetapi jumlahnya tetap saja besar. Berat bagi mereka yang tidak mampu ekonominya.

Banyak referensi yang menyebutkan bahwa penggunaan PD bisa bertahan hingga 15-16 tahun. Luar biasa memang. Sangat membantu. Sayangnya pasien GGK jarang mengeuhkan apa yang dirasakan sehingga sudah parah baru ke RS untuk mendapatkan penanganan medis. Termasuk yang terjadi pada Paman Harto. Beliau sempat menggunakan PD selama dua tahun. Maklumlah selain kondisinya sudah tua, secara fisik juga lemah. Di samping tentu saja keadaan ginjalnya yang sudah gagal kronis.

Yang jadi masalah saat ini adalah, menurut Indonesian Renal Registry (IRR, 2018), jumlah dokter spesialis untuk CAPD (KGH) hanya 144 orang, jumlah perawatnya yang bersertifikat 5336 orang (70% dari seluruh perawat yang bekerja di unit Dialisis). Yang terbanyak ada di Jakarta, Jabar, Jateng, Jatim dan Bali. Terdapat sekitar 80 unit CAPD diseluruh Indonesia. Jika mengacu kepada WHO, dengan total pasien GGK yang melapor 2.750.000 di Indonesia (1% dari angka kesakitan GGK), tentu saja jumlah professional dokter dan perawat yang menangani kasus PD ini jauh dari cukup. Oleh sebab itu dibutuhkan langkah-langkah konkrit.

Yang 'murah' adalah dengan promosi menggunakan media masa elektronik seperti WA, FB, Twitter dll. Bisa juga dengan menyelenggarakan seminar atau workshop online ke masyarakat umum. Yang ini sangat jarang terjadi karena minimnya penyelenggara seminar/webinar yang tertarik atau tidak tahu tentang PD ini. Padahal sangat bermanfaat bagi masyarakat luas.

Perlu juga adanya kerjasama lintas kementrian, khususnya Kementrian Kesehatan dan Pendidikan dan Kebudayaan. Perlu diadakan program pelatihan yang intensif, kontinyu dan berkelanjutan. Peran sertifikasi juga sangat penting. Lebih bagus lagi jika dicetak perawat-perawat spesialis tingkat Pascasarjana sehingga bukan hanya dokter spesialis KGH saja yang memperoleh gelar spesialisasinya. Memang butuh duit, tetapi ini investasi!  

Ke depan, kasus GGK kronis terus bertambah. Jumlah tenaga spesialisnya minim, baik dokter maupun perawat. Fasilitas RS juga kurang memadai jumlahnya. Jika ini tidak difikirkan, kita, orang-orang kecil ini hanya bisa mengelus dada. Mau cangkok ginjal tidak mampu, mau HD antrian panjang dan harus di kota besar, mau PD minim informasi. Ditambah Covid-19 yang berkepanjangan. Sungguh mengenaskan!

Makassar, 13 August 2021

Ridha Afzal

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun