Mohon tunggu...
Ridha Afzal
Ridha Afzal Mohon Tunggu... Perawat - Occupational Health Nurse

If I can't change the world, I'll change the way I see it

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Dua Sisi Kehidupan Orang-orang Jawa di Aceh

21 September 2020   06:51 Diperbarui: 22 September 2020   02:06 3837
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sisi lain Gampong Jawa di Kutaraja. Sumber: beritagar.id

  Di Banda Aceh, Kutaraja tepatnya, terdapat Gampong Jawa orang Aceh menyebutnya, atau Kampung Jawa. Kampung ini dihuni oleh orang-orang Jawa yang ada di Aceh. Sejarahnya panjang. Daerah yang dulu indah ini, kini kumuh. Daerah di pesisir pantai yang mestinya bisa dijadikan tempat wisata ini menjadi salah satu daerah paling miskin di Aceh.

Kampung Jawa ini boleh dikata saat ini sebagai Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah. Sekitar 180 ton sampah dibuang ke sana per hari. Dampaknya tentu saja menimbulkan polusi udara, bau dan estetika atau keindahan.

Entah kapan mulainya Kampung Jawa ini, yang saya dengar bermula sejak adanya Kerajaan Demak di pesisir Pantai Utara Laut Jawa. 

Pada abad ke-15 pasukan dari Jawa yang mengusir tentara Portugis waktu itu, meminta bantuan dari Kerajaan Aceh Darussalam. Dari sana kemudian cikal bakal orang-orang Jawa tinggal dan menetap di Aceh.

Gampong Jawa ini merupakan potret kelam orang Jawa di Aceh karena terkesan kumuh dan miskin. Bahkan sangat miskin. Aceh termasuk provinsi termiskin di Sumatera dan memperoleh Bantuan Dana Desa terbesar sesudah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sekitar Rp 686 juta per tahun setiap desa. Sejak tahun 2015 hingga 2018, sebanyak Rp 14.8 triliun dana yang dikucurkan untuk Provinsi Aceh (Beritagar, 9/9/2019).

Di Gampong Jawa ini, sulit mendapatkan banguan infrastruktur yang layak pakai. Sumur saja, tidak sehat. Saat Musim Kemarau, kering. Rumah-rumah di pinggir laut terbuat dari papan. Anak-anak tidak mendapatkan pendidikan yang layak.

Sejak tahun 2012, seorang lulusan UIN Ar-raniry Banda Aceh menginisiasi Sekolah Sore untuk anak-anak di Gampong Jawa ini, bagi mereka yang tidak mengenyam bangku sekolah.

Melihat Kampung Jawa ini, seolah menjadikan bukti bahwa orang-orang Jawa yang berada di perantauan khususnya di Aceh, gagal. Padahal kawasan ini dulu masyhur dan terkenal di kalangan para pengenal laut.

Sekolah Sore Gampong Jawa. Sumber: beritagar.id
Sekolah Sore Gampong Jawa. Sumber: beritagar.id

*****
Namun begitu, di sisi lain, di dataran tinggi Gayo, Aceh Tengah, tepatnya di Kecamatan Jagong Jeget, kawasan yang dulunya rimba raya ini, kini berubah menjadi sentra Kopi yang maju di Aceh. Di kawasan ini, transmigram asal Jawa sudah bermukim selama 38 tahun, sejak tahun 1982, berubah total hidupnya.

Orang-orang asal Jawa ini gigih membuka lahan baru, menyulap hutan menjadi lahan kopi yang subur. Dari jumlah penduduk yang hanya 50 orang pada gelombang pertama datang bertransmigrasi, disusul gelombang kedua 48 orang dan gelombang ketiga 50 orang, kini jumlah mereka mencapai lebih dari 10.000 jiwa.

Tiga dasa warsa silam, kehidupan masarakat di Gayo, yang kini terdiri dari 11 kampung, sangat sulit. Perlahan namun pasti, para pendatang asal Jawa ini kemudian membaur, kerja bahu-membahu dengan masayarakat setempat. 

Kini banyak yang berhasil. Bukan hanya Kopi terkenal yang mereka hasilkan, tetapi juga menebar benih Ikan Nila dan Lele di Telaga Lut Kucak Jagong.

*****

Di kota Banda Aceh, pendatang asal Jawa tergolong rajin, gigih dan tidak kenal gengsi. Ini yang membedakan dengan orang Aceh. Di Jawa, saya melihat apapun diakukan oleh orang-orang dalam berbisnis. Mereka tidak malu untuk berdagang sayur atau alat-alat dapur keliling dari satu kampung ke kampung lainnya dengan mengayuh sepeda atau motor.

Saya lihat banyak sekali di Malang orang-orang yang memodifikasi motornya untuk tujuan ini, yakni menjajakan dagangan sembako keliling dari pagi hingga malam. Bahkan ada orang-orang yang jualan perangkat rumah tangga yang jarang dilakukan oleh orang Aceh.

Penjual Bakso asal Jawa di Aceh misalnya umumnya berhasil. Pedagang yang nampaknya sepele dan kecil omset nya ini ternyata sukses di Aceh.

Menurut saya, mental pendatang memang beda. Bukan hanya orang Jawa saja. Tetapi juga pendatang dari daerah lain, termasuk warga kerturunan China, Arab atau India. Mereka memiliki motivasi yang berbeda. Para pendatang ini tidak pilih-pilih kalau berbisnis.

Kaum pendatang ini sadar, jika tidak bekerja keras, tidak ada orang lain yang bakal membantunya. Oleh sebab itu mereka giat, rajin dan ingin cepat menyesuaikan diri dengan penduduk lokal.

*****

Dulu, saat terjadi konflik, memang banyak orang yang takut bahkan ngeri kalau dengar kata Aceh atau GAM. Maklumlah, dulu juga orang Aceh tidak suka dengan orang Jawa yang dianggap 'mengkhianati' Aceh. Sejak zaman Presiden Soekarno yang menjanjikan Aceh sebagai daerah otonomi penuh, tetapi janji tersebut tidak dipenuhinya, malah Aceh dijadikan satu dengan Provinsi Sumatera Utara.

Demikian pula pada zaman Soeharto, Aceh juga diperlakukan beda. Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh, sempat membuat rakyat Aceh trauma. Tetapi itu dulu.

Kini, Aceh, damai, tenteram, meskipun barangkali tidak kaya (walaupun mestinya bisa jadi provinsi yang kaya karena tambang dan hasil buminya).

Orang-orang Jawa di Aceh banyak yang sukses meski hanya berjualan Bakso. Sebaliknya, orang-orang Aceh yang merantau di Jawa juga bekerja giat. Tidak sedikit orang Aceh yang saya lihat sukses dengan hanya berjualan Mie Aceh di Jakarta, atau di Malang.

Sisi lain Gampong Jawa di Kutaraja. Sumber: beritagar.id
Sisi lain Gampong Jawa di Kutaraja. Sumber: beritagar.id

*****

Melihat sejarah orang-orang Jawa yang tinggal dan menetap di Aceh, tidak mudah. Rakyat Aceh memang pernah mengalami masa-masa suram dengan perlakuan orang Jawa, misalnya pada saat Pasukan Siliwangi di era 70-an yang membunuh ribuan warga sipil Aceh. Namun orang Aceh bukan tipe masyarakat pendendam sesuai ajaran Islam.

Masyarakat Aceh menyadari tidak semua orang Jawa sama. Walaupun ada orang-orang Jawa yang dulu merasakan perlakukan diskriminasi saat ada GAM, kini tidak lagi. 

Bahkan puluhan tempat wisata dibuka di mana kini banyak orang-orang Jawa yang mendominasi jual beli, memiliki kios-kios kecil yang orang asli Aceh malah tidak memilikinya karena gengsi dan lain-lain faktor yang sebetulnya tidak perlu.

Intinya, kedatangan orang Jawa meskipun ada yang nasibnya kurang beruntung seperti yang terjadi di Gampong Jawa, rata-rata nasib orang Jawa, sebagaimana yang kami dapati di Dataran Tinggi Gayo, taraf sosial ekonomi mereka jauh lebih baik, dari pada mayoritas orang Aceh sendiri.

Malang, 21 September 2020
Ridha Afzal 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun