Mohon tunggu...
Ridha Afzal
Ridha Afzal Mohon Tunggu... Perawat - Occupational Health Nurse

If I can't change the world, I'll change the way I see it

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ahok dan Potret Cara Berkomunikasinya

18 September 2020   16:27 Diperbarui: 18 September 2020   16:53 321
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

  SEMASA kuliah, juga saat di pondok, kami selalu diajari bagaimana menjadi manusia yang baik dan benar. Di antaranya tentang cara atau etika berkomunikasi. Saya tidak mengatakan kita sempurna sebagai manusia dan tanpa dosa. Tidak!

Di bangu sekolah kami diajarkan, yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya adalah komunikasi, dalam hal ini omongan verbalnya. Kalau tulisan bisa dihapus, namun omongan yang sudah keluar dari mulut, tidak mungkin ditarik kembali.

Oleh karena itu, guru-guru dan ustadz-ustadz kami selalu wanti-wanti, untuk hati-hati kalau bicara. Sekali bicara, saat itu kita dinilai oleh orang. 

Kata ustadz, nilai manusia itu adalah dari sikap dan bicaranya. Betapapun sikapnya baik, kalau bicaranya gak bener, dia dianggap tidak konsisten. Sebaliknya, betapapun bicara baik kalau sikapnya gak bener, juga disebut tidak konsisten.

Makanya, kata guru-guru kami di desa dulu, kalau tidak bisa bicara baik, diam aja. Atau gunakan teks agar salah. Omongan baik atau tidak, bagaimanapun, akan kembali kepada yang punya omongan.  

****
Dari dulu, 5000 tahun lalu, sejak zaman Fir'aun pun, omongan 'kotor' terus eksis hingga sekarang. Kita yang mengaku hidup kita makin beradab dan mampu menciptakan ilmu komunikasi yang makin canggih, nyatanya kualitas omogan tidak berubah. Bahkan orang yang punya pangkat tinggi pun tidak bisa lepas.

Dua abad sebelum Masehi, kala Yulius Caesar berkuasa, omongan yang nuansannya kotor juga tidak sedikit. Kalau Anda nonton film Gladiator, bisa terlihat jelas contoh-contohnya.

Seabad kemudian, sekitar abad ke-12, kalau membaca kisah perjuangan Genghis Khan, yang menguasai daratan Mongolia hingga Asia Barat, bahkan Georgia, luar biasa kegigihannya dalam memperluas wilayah yang ditaklukannya, orangnya terkenal sangat bengis.

Kaisar Mongolia abad 12 ini sangat dikenal karena luasnya kekeuasaanya. Di satu sisi, konon, Genghis Khan sangat populer dengan kebengisannya. Di sisi lain, dia juga toleran dengan pemeluk agama lain.  

Orang yang bengis seperti Genghis Khan, biasaya omongannya kotor. Buktinya adalah, semua orang-orang yang tidak setuju denga prinsipnya, akan ditebas. Jadi, jangankan omongan, nyawa orang saja di mata Ganghis Khan tidak berharga.

Demikian pula di kala Hitler berkuasa. Diktator abad 21 yang memiliki 'Sarang Serigala'. Kisah-kisah orang terkenal yang kotor cara berkomunikasinya tidak pernah punah.

***
Kini memasuki abad ke 21, nyatanya tidak berubah sikap manusia. Saya hanya menyebut empat orang saja dari 11 toko dunia yang bermulut 'kotor'. Di antaranya adalah 1. Jendera Mustafa Tlas, Menteri Pertahanan Suriah yang pernah menyebut Yasser Arafat sebagai 'anak dari 60.000 sundal'. 

Ke-2. Huga Chaves, Presiden Venezuela yang pernah menyebut George W.Bush sebagai 'the devil' atau Iblis, dalam sebuah pidato dramatis di PBB tahun 2006.

Contoh ke-3. Saat terjadi bentrokan diplomatik di Uni Eropa, ketika Perdana Menteri Italia, Silvio Berlusconi menyebut anggota parlemen UE, Martin Schulz sebagai tentara Nazi. 

Dan yang ke-4. Boris Johnson, Menteri Luar Negeri Inggris pada tahun 2007 pernah mencela Hillary Clinton. "Hillary memiliki rambut pirang yang membosankan, bibir cemberut, dan pandangan yang dingin, seperti suster sadis di rumah sakit jiwa," kata Boris Johnson. Pada 2016, mantan Wali Kota London itu menarik ejekannya itu dan mengatakan kalimatnya di luar konteks (Liputan6.com.,7/9/2016).

***
Di Indonesia, ternyata kita juga punya. Padahal, mestinya kita malu. Kita selalu gembar-gemborkan sebagai bangsa yang menjaga adat ketimuran. Kita dari kecil sudah terbiasa dicekoki dengan etika dan pendidikan agama, supaya tahu bagaimana harus berbicara sopan.

Betapapun marah, omongan kotor tidak serta merta bisa digunakan sebagai pembenaran. Oleh sebab itu ada etikanya. Ada ilmunya. Di sinilah bedanya orang yang pernah sekolah dan orang yang berfikir.

Akhir-akhir ini marak lagi berita tentang omongan Ahok. Orang kita sudah tidak kaget lagi dengan gaya bicaranya. Mungkin saja yang disampaikan Ahok benar, tetapi tidak baik. Saya berikan link contoh gaya bicaranya yang tidak harus ditiru oleh seorang pejabat: https://www.youtube.com/watch?v=UlWAcoPClZw.

Isu terkait Pertamina adalah contoh lainnya, jauh di luar jangkauan saya sebagai rakyat kecil, rendahan. Orang biasa yang tidak tahu apa-apa. Tetapi kami tahu etika, mana yang baik dan mana yang benar.

Kami juga tahu yang baik dan yang benar. Bagi kami, perawat misalnya sebagai profesi yang mengedepankan etika, sebelum wisuda saja, kami disumpah. Itu menandakan bahwa yang namaya etika harus selalu dikedepankan.

Yang menjadi masalah adalah, ketika kami berada di dunia nyata sesudah selesi kuliah, orang-orang seperti Ahok misalnya, bebas 'berbicara'. Mungkin maksudnya baik, yakni memberikan pembelajaran bagi staff  Pertamina yang korup. 

Akan tetapi, hemat kami, ada batasan di mana dan kapan harus berbicara. Ahok, bukan contoh yang baik bagi kita.  

Ketika bicara kita menjadi konsumsi publik, ini yang akibatnya tidak baik. Bukan tidak mungkin, teknik yang serupa bakal ditiru oleh generasi kita ini. Generasi yang saat sekolah dididik untuk menjaga omongan, hati-hati dalam berbicara, namun hanya retorika.

Sesudah kuliah, ternyata yang ditemui di lapangan banyak orang-orang yang punya jabatan dan kedudukan malah tidak memberikan contoh bagaimana bicara dengan mengedepankan etika.

***
Anda boleh tidak setuju dengan pendapat saya. Tetapi omongan kotor, tetap omongan kotor, walaupun maksudnya baik. Hanya mereka yang berfikir yang bisa menata omongannya. Bukan orang yang hanya pernah sekolah atau punya jabatan atau yang merasa pintar.

Kalau hanya karena menghadapi koruptor lantas kita bisa seenaknya ngomong kotor, marah-marah sekenanya, hingga semua hewan yang ada di Kebun Binatang namanya kita sebut, lantas di mana sebetulnya perbedaan antara kita dengan para koruptor tadi?

Malang, 18 September 2020
Ridha Afzal

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun