Mohon tunggu...
Ridha Afzal
Ridha Afzal Mohon Tunggu... Perawat - Occupational Health Nurse

If I can't change the world, I'll change the way I see it

Selanjutnya

Tutup

Politik

Yang Diduga Berkhianat di Ragam Era Kepemimpinan Presiden

17 September 2020   18:16 Diperbarui: 17 September 2020   18:45 964
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: DetikNews.com

SAYA suka film action atau thriller. Biasanya, film-film Hollywood, bagus mengemasnya. Film Korea tidak sebagus Hollywood. Film Bollywood tidak sebaik Korea. Namun, pada intinya sama. 

Pengkhianatan itu selalu ada dan 'diminati' banyak penonton di film. Karena itu selalu eksis baik dalam dunia fiksi maupun nyata. Kedua-duanya umumnya terjadi karena haus, antara kekuasaan atau haus harta.

Film "The 2nd"
Dua hari lalu saya nonton sebuah film berjudul The 2nd. Film action yang dibintangi oleh Ryan Phillippe (sebagai Vic Davis) dan Casper Van Dien (sebagai Driver) ini, berkisah tentang Shawn (anak seorang Secret Service Agent, Vic Davis) yang naksir Erin (puteri Hakim Agung Walton).

Vic berencana menjemput anaknya di kampus, karena sekolah sudah berakhir. Ketika sampai di kampus, Vic curiga terhadap sopir baru Erin yang ditugaskan menjemputnya. 

Erin disuruh untuk menelpon ayahnya apakah ada pergantian sopir yang dijawab oleh ayahnya 'tidak'. Dari sini Vic paham, bahwa ada yang tidak beres. Dari sini konflik fisik dimulai.

Erin ternyata menjadi target penculikan yang diperakan oleh sopir misterius, utusan Direktur CIA, Phillips. Phillips merupakan dalang di balik kasus hukum besar di mana Walton merupakan Hakim yang turut andil dalam penanganan kasusnya.

Dengan menggunakan jasa Driver misterius tadi, diharapkan Walton bisa dimanfaatkan untuk memanipulasi kasus hokum tersebut agar menguntungkan Phillips. Tentu saja Driver tidak bisa bekerja sendirian. Dia gunakan orang dalam di kampus di mana Erin dan Shawn sekolah.

Orang dalam kampus, salah satu pembimbing Erin ini yang semula dikira menolong, ternyata justru yang menyerahkan Erin kepada Driver Misterius. Sesudah diserahkannya Erin, ternyata pembimbing kampus ini bukannya mendapatkan upah, malah dibunuh oleh Driver.  

Di penghujung film, Erin berhasil diselamatkan oleh Vic, dibantu oleh anaknya Shawn.  Shawn dan Vic setelah melewati berbagai tantangan akhirnya bisa mempertemukan Walton, Hakim Agung dan Erin dengan selamat. 

Akan halnya Phillips, pada akhirnya ditembak oleh si Driver di apartemennya di sebuah hotel mewah. Sebelum Phillips ditembak, dia sempat bilang bahwa dia pada dasarnya hanya 'ujung tombak'.

Pada film ini ditemuka pengkhianatan yang berlapis, semuanya melibatkan orang dalam. Dari dalam kampus, dinas rahasia, serta pemerintahan. Pengkhianat, sepertinya tidak hanya ada dalam film. Dalam kehidupan nyata juga ada. Tidak terkecuali dalam sebuah pemeritahan.

Soekarno Pengkhianat?
Jauh sebelum Soeharto lengser, kita sering mendengar atau membaca simpang siur artikel-artikel terkait pengkhianatan Soekarno.  Misalnya pengkhianatan Soekarno yang telah membuat generasi muda bingung.

Kebingungan generasi muda ini terjadi karena mereka hanya mengenal Soekarno dari berbagai sumber sejarah yang kurang bisa dipercaya atau tidak valid. Generasi muda in tidak menyadari sejarah yang mereka pelajari, terutama bab yang berkisah sekitar peran Soekarno yang banyak yang dibelokkan. 

Soekarno yang diakui bangsa-bangsa di Asia dan Afrika sebagai pemimpin besar, dalam literatur karya sejarawan Indonesia malah dikerdilkan (idntimes.com).

Akibat dari pembelokan dan pengerdilan itu berupa fakta yang tidak sesuai dengan logika. Salah satu kontroversi, misalnya terkait dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR) No.33 tahun 1967. 

Ketetapan MPR ini dipersoalkan keluarga Soekarno. Putri tertua Soekarno, Megawati misalnya seusai penganugerahan, kembali menegaskan keinginan keluarganya agar TAP MPR 1967 tersebut dicabut (Idntimes.com).

Menurut Mega, Ketetapan MPR yang dibuat 45 tahun lalu tersebut, telah menempatkan Soekarno sebagai seorang pendiri bangsa, yang secara hukum bermasalah. Keluarga Soekarno menghendaki nama Proklamator itu direhabilitasi.

Ketetapan ini menurut Mega adalah produk Orde Baru, rezim pimpinan Soeharto. Jenderal Soeharto inilah yang mengambil alih hak kepresidenan dari tangan Soekarno di awal 1966. Pengambil-alihan kekuasaan itu menjadi sah (legitimate), lantaran Soeharto berpegang pada apa yang disebutnya sebagai Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar).

Dokumen inilah yang diklaim Soeharto sebagai penugasan Presiden Soekarno kepadanya untuk menjalankan tugas sehari-sehari kepresidenan. Sementara semangat TAP 1967 menempatkan  Soekarno dalam radar tudingan. 

Soekarno dituduh sebagai salah seorang tokoh nasional yang berada di balik upaya penggulingan kekuasaan yang sah. Padahal, pihak yang berusaha menggulingkan kekuasaan adalah oleh Partai PKI (Idntimes.com).

Inilah contoh isu pengkhianatan terbesar, setelah PKI pada era Soekarno.

Pengkhianat Era Soeharto
Dalam buku yang berjudul  Menyibak Tabir Orde Baru, Memoar Politik Indonesia 1965-1998, yang ditulis oleh Jusuf Wanandi, dikatakan,: "Lebih dari itu, ia merasa dikhianati. Ia ditinggalkan oleh teman-teman dan mereka yang ia percaya selama ini. Itu melukai perasaannya,"

Menurut Wanandi, tank thinker CSIS (Center of Strategic and International Studies) menuturkan, empat orang di antaranya yang semula menjadi orang-orang kepercayaan Soeharto adalah: Akbar Tandjung, Ginandjar Kartasasmita, Harmoko dan Habibie. Mereka semua dianggap orang-orang terdekat Soeharto yang 'berkhianat'.

Ini terjadi karena menjelang kejatuhannya, Soeharto merasa tidak mendapatkan 'dukungan' mereka. Pada akhirnya Soeharto tidak ingin bahkan bertemu mereka hingga akhir hayatnya. Pada saat wafatpun, tidak ada orang-orang terdekat Soeharto yang diizinkan masuk ke ruangan di RSPP, di mana beliau dirawat hingga menghembuskan nafasnya yang terakhir.

Dalam buku Detik-Detik yang Menentukan: Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi yang ditulis BJ Habibie, disebutkan,: Kamis, 16 Mei 1998, Harmoko serta pimpinan DPR/MPR lainnya sempat bertemu Soeharto di Cendana. Mereka membicarakan kondisi Indonesia dan desakan rakyat agar Soeharto mundur. 

Harmoko menanyakan langsung kepada Soeharto, yang dijawabnya: "Ya, itu terserah DPR. Kalau pimpinan DPR/MPR menghendaki, ya saya mundur, namun memang tidak ringan mengatasi masalah ini," jawab Soeharto.

Sementara itu, pengamat militer, Salim Said mengatakan Soeharto sudah menganggap Habibie sebagai pengkhianat. Hal itu berdasarkan kesaksian AM Fatwa yang pernah berbicara langsung dengan putri Soeharto, Siti Hardiyanti Rukmana alias Mbak Tutut. 

Salim menyebut Soeharto berharap Habibie ikut mengundurkan diri saat ia menyatakan berhenti. "Sebab prinsip orang Jawa, tiji tibeh, mati siji mati kabeh," katanya sebagaimana tertulis dalam buku tersebut.

Salim menilai langkah Habibie yang tak ikut mundur ketika itu tepat. Menurut dia, Habibie, yang merupakan produk pendidikan Barat, sangat memahami dan berpatokan pada UUD '45 . (CNNIndonesia, 21/5/2018).

Pengkhianat di Era Jokowi
Sekali lagi, tidak ada sahabat sejati dalam politik. Munculnya KAMI yang dimotori oleh Gatot Nurmantyo, Din Syamsudin dan Rochmad Wahab merupakan tokoh-tokoh yang sebenarnya sudah jelas berada di luar pagar. Mereka ini bukan termasuk dalam golongan 'pengkhianat' betapapun berseberangan dengan pihak penguasa.

Menurut KBBI yang dimaksud 'pengkhianat' adalah: orang yang khianat; orang yang tidak setia pada negara atau teman sendiri.  

Dari definisi ini jelas, bahwa meskipun KAMI misalnya, dianggap sebagai 'oposisi', tetapi visi misinya, sebagaimana yang diungkap oleh Din Syamsudin,: "Sebagai gerakan moral, mengandung arti kita bergerak berdasarkan nilai-nilai moral dan keberanan yang kita yakini, berdasarkan keadilan dan menegakkan kejujuran, menegakkan kemaslahatan itu namanya nilai-nilai moral," kata Din dalam acara deklarasi KAMI yang dikutip dari akun Youtube Realita TV, Selasa (18/8/2020), tidak mencerminkan mengkhianati negara (Kompas, 18/8/2020).

Dengan demikian, KAMI bukanlah ancaman bagi Jokowi. KAMI bukan pula salah satu golongan yang masuk dalam kategori 'Pengkhianat' di era Jokowi, karena KAMI bukan teman dekat atau bawahannya.

Yang perlu 'dicermati' adalah seperti pada zaman  Soekarno dan Soeharto. 'Pengkhianat' ini bukan tidak mungkin berada di 'sekitar' atau bahkan yang 'terdekat' Jokowi sendiri, sebagaimana yang terjadi pada Soeharto. Ketika dia jaya, banyak yang mendekatinya, ketika jatuh, jangan harap ada yang membelanya.

Kita lihat nanti sesudah Jokowi tidak lagi menjabat sebagai Presiden, pasca 2024. Di sana akan terlihat, siapa sebenarnya teman sejatinya.

Malang, 17 September 2020
Ridha Afzal

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun