Mohon tunggu...
Ridha Afzal
Ridha Afzal Mohon Tunggu... Perawat - Occupational Health Nurse

If I can't change the world, I'll change the way I see it

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jakob Oetama: Menulis Itu Tidak Hanya Mikir

9 September 2020   17:30 Diperbarui: 9 September 2020   17:29 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

  Saya pernah dengar namanya, Jakob Oetama. Waktu itu saya masih duduk di bangku SMP. Sesekali pernah lihat namanya tertulis di Koran Kompas. Meski tidak kenal dengan beliau, dalam hati saya berkata, orang-orang yang namanya tertulis dalam jajaran direksi ini pasti dulunya pernah nulis. 

Betapa senang jadi seorang penulis. Nama harumnya sudah otomatis dikenal karena kepiawaiannya dalam merangkai kata.

Sering saya baca di buku-buku tentang bagaimana kiat menulis. Sesering itu pula saya ketahui bahwa nulis itu "gampang". Sebetulnya, istilah "gampang" itu hanya sebagai penghibur, guna memotivasi agar orang rajin menulis.

Di Indonesia ini susah mencari penulis professional. Yang saya maksud adalah seorang penulis yang mempunyai landasan sebagai profesi tertentu sambil aktif nulis, kecuali hanya sedikit jumlahnya.

Dari ini saya sadar, ternyata, menulis itu pasti tidak gampang.
Salah satu bukti terkuat bahwa menulis itu tidak gampang adalah hari ini. Hari ketika kita kehilangan seorang Wartawan Senior, Legendaris, Bapak Jakob Oetama, yang telah puluhan tahun mengabdikan dirinya dalam dunia tulis menulis. Lulusan dari Universitas Gajahmada Jurusan Ilmu Sosial Politik tahun 1961.

Membaca perjalanan karirnya, Pak Jakob salah satu pendiri beberapa media cetak ternama di Indonesia, selain Kompas, Reader's Digest, the Jakarta Post serta pendiri beberapa anak perusahaan di bawahnya, pasti bukan perkara muda. Selain menulis, beliau pasti banyak mikir.

Nah, kata "mikir" inilah yang menjadi inspirasi saya yang membuat kalau menulis juga harus mikir. Bukan hanya mikir untuk menentukan tujuan menulis. Tetapi juga mikir, siapa targetnya, relevansinya dengan kekinian, isi atau muatannya, jenis dan gaya tulisan, serta butuh tidaknya analisa.

Menulis Tidak hanya Mikir

Benar juga. Menulis itu lebih dari mikir. Kalau hanya nulis tidak perlu mikir bisa sih. Tetapi hasilnya bisa jadi tidak menarik, tidak ada yang baca, komodistasnya tidak jelas, tujuan tidak ngarah dan lain-lain yang perlu mendapat pertimbangan saat menulis.
Jika demikian hasilnya, mengapa harus capek-capek menulis?

Pak Jakob pasti mengajarkan itu semua. Mendapatkan nama "Kompas" dari Bung Karno pun, Bapak Proklamasi kita, pasti bukan persoalan mudah. Karena kualitas karyanya lah, sehingga bisa dekat dengan orang-orang besar semacam Pak Karno.

Tulisan-tulisan Pak Jakob yang termuat, baik selama sebagai Editor, Ketua Editor, Redaksi, Pemimin Redaksi, hingga Presiden Komisaris beberapa media kondang, tentu melalui perjalanan panjang. Beliau pasti sudah mengalami manis getirnya, jatuh bangun dalam memperjuangkan karya-karyanya agar bisa bermanfaat bagi masyarakat luas.

Buku-buku yang Pak Jakob tulis terkait dengan Pers Indonesia, Demokrasi, Bisnis, Etika dan Reformasi di Indonesia, juga mengajarkan pada kita, bahwa menulis itu tidak hanya butuh berfikir. Lebih dari sekedar mikir. Berfikir di sini sangat luas maknanya.

Mikir tentang diri sendiri saat nulis, mikir tujuan menulis, mikir dampak dari tulisan. Bahkan mikir apakah tulisan ini akan menyinggung perasaan orang lain atau tidak. Hingga yang lebih luas lagi mikir tentang manfaat bagi negara dan bangsa.  Semuanya perlu dipikir hanya hanya dalam satu tulisan.

Aplikasi

Saya bukan penulis professional. Tetapi saya mencoba mengaplikasikan apa yang diajarkan oleh Pak Jakob dalam bentuk nyata ke dalam tulisan. Setidaknya di Kompasiana ini. Saya ingin tahu apakah memang benar bahwa menulis itu tidak hanya mikir.

Sejak akhir bulan Maret 2020 lalu, saya mulai aktif menulis di Kompasiana. Mulanya, saya mencoba mempraktikkan apa yang disarankan oleh para penulis buku bahwa menulis itu mudah. Tulis apa yang ada dalam pikiraanmu, jangan memikirkan apa yang ingin kamu tulis.

Saya coba melakukannya. Setiap hari saya menulis dengan semangat. Namun jujur saja, tanpa 'mikir'. Karena sebagaimana yang disarankan para penulis tentang kiat menulis tadi, bahwa nulis tidak perlu mikir.

Akan tetapi yang saya rasakan kemudian adalah 'ketidak-puasan'. Nulis tanpa mikir itu nanggung.

Ukuran ketidak-puasan saya ini, karena Kompasiana punya standard, maka harus saya sesuaikan dengan standard Kompasiana. Dari sini awalnya saya berprinsip kalau nulis jangan nanggung. Capek. Bahwa ternyata, saya harus "mikir" sebelum, selama dan sesudah menulis.

Saya coba mengaplikasikan menulis hanya menulis di Kompasiana ini selama kurang lebih 3 bulan, tidak lebih dari itu. Dari bulan April, Mei dan Juni 2020 saya menulis apa saja yang ada dalam pikiran.

Namun sejak bulan Juli lalu, saya menulis dengan mikir. Mikir untuk apa, tujuan nulis, pencapain target, mendapat Headlines, memperoleh prestasi Biru, mendapatkan K-Reward dan berprestasi, setidaknya masuk perhitungan. Jangan asal dapat K-Reward.

Beda Jauh, Sekedar Nulis dan Nulis Sambil Mikir

Meski tidak mengenal siapa itu Pak Jakob. Minimal saya mencoba ikut merasakan bagaimana saat beliau meraih tujuannya. Baik terkait penerbitan karya-karyanya sebagai pemula saat itu, hingga perjuangannya mendirikan Kompas yang waktu itu hanya bermodal duit sebesar Rp 150.000, satu mesin ketik dengan 5000 oplah.

Yang menjadi sumber inspirasi saya adalah, ternyata tidak 'gampang' jika nulisnya bertujuan jelas dan sesuai standard pada siapa kita menulis. Saya memposisikan diri sebagai penulis di Kompasiana. Maka dari itu, saya mikir untuk nulis dengan pasang standard nya.

Bulan Juni lalu, sebenarnya saya mulai belajar pasang target. Bisa menulis lebih baik dan mendapatkan Headline. Syukur jika memperoleh K-Reward. Itulah yang saya pikirkan.

Saya benar-benar fokus ke Headline. Alhamdulillah tercapai. Saya bisa cetak prestasi sebanyak 8 artikel di bulan Juni, masuk Headline. Diumumkan pada bulan Juli 2020. Alhamdulillah pula dapat K-Reward, Rp 449.000. Bonus. Bagus!. Saya berikan penghargai pada diri sendiri, sebagai penyemangat. Dalam daftar enerima K-Reward saya berada pada urutan ke-9.

Bulan berikutnya, Juli 2020, saya kerja sedikit lebih 'keras' untuk tingkatkan lagi. Juli saya harus lebih baik. Kali ini saya peroleh Headline yang sama, 8 artikel. Bukan hanya itu, kali ini status saya juga ganti dari Debutan menjadi Junior.

Pada bulan Juli saya juga dapat K-Reward yang saya terima di bulan Agustus sebesar Rp 250.000. Alhamdulillah. Bonus. Minimal target terpenuhi walaupunn kali ini urutan K-Reward saya menurun di urutan ke-22.  

Saya mikir lagi, berusaha untuk menjadi lebih baik pada bulan Agustus.  Pada bulan Agustus status saya berubah, yang semula Hijau, jadi Biru. Bagis saya ini prestasi besar. Headline Bulan Agustus 10 buah artikel.

Pada bulan Juli-Agustus inilah saya mulai banyak mikir dan mikir. Ternyata begini kiat menulis di Kompasiana, begini cara mendapatakan K-Reward, begini cara menarik minat baca dan mengeruk jumlah Viewers yang banyak, serta begini ini selera mayoritas pembaca Kompasiana.
Done! Berhasil.

Artikel saya bertajuk "Prabowo Bawa Pulang Habib Rizieq, Ibarat Gajah di Tengah Jembatan" memperoleh jumlah viewers terbanyak yang sempat bikin saya kaget: 63.167 view dalam waktu sekitar 3-4 hari tayang.

Dari sana kemudian saya mikir, ternyata rumusan saya berhasil. Kompansianer ternyata suka politik, orang-orang terkenal serta berita terkini tentang mereka. Gaya tulisan sedikit saya ubah sesuai selera mereka.

Kemarin, saya lihat pada Daftar Peraih K-Reward, bulan Agustus. Ahamdulilah target saya masuk dalam 5 besar tercapai. Kali ini saya menduduki peringkat 2, di bawah Pak Elang, maestro K-Reward Kompasiana. Jumlah View bulan Juli 12.000, bulan Austus 174.000. Naik 1400%

Sejak Juli 2020 itulah, saya memasuki hampir semua kategori tulisan, yakni Gaya Hidup, Kesehatan, Ekonomi, Bahasa, Humor, Hiburan, Teknologi dan Wisata.

Hikmah yang bisa saya share adalah, kalau untuk perolehan banyak View, jujur saja, saya akan pilih Politik padahal semula saya 'alergi'. Yang nyaris tidak pernah saya tulis dan saya sangat lemah di sana adalah: Puisi (pernah nulis dua kali), Fiksiana (saya pernah tulis sekali), dan yang sama sekali tidak pernah adalah: Sepak Bola. Kapok, dulu waktu kecil main Bola saya, dua kuku di jari kaki lepas. Jadi trauma.

Kesimpulan saya sementara, menulis itu gampang kalau gak pakai mikir.

screenshot-20200909-135940-chrome-5f58ac8d838cc6652448afe2.jpg
screenshot-20200909-135940-chrome-5f58ac8d838cc6652448afe2.jpg
Sumber: Kompasiana
Jakob Oetama

Andai saya kenal beliau, sekiranya masih hidup saya akan layangkan tulisan panjang ini kepada beliau untuk mendapatkan tanggapan. Kalaupun tidak dapat, saya tetap senang. 

Minimal cacatan saya sudah bisa nyampai ke meja beliau, di depan tangan orang-orang yang pernah merenda sejarah tulis-menulis di dunia media massa Indonesia.
Selamat Jalan Bapak Jakob Oetama.......

Malang, 9 September 2020
Ridha Afzal

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun