Mohon tunggu...
Ridha Afzal
Ridha Afzal Mohon Tunggu... Perawat - Occupational Health Nurse

If I can't change the world, I'll change the way I see it

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Pak Fachrul, Inilah Daftar Artis Good Looking Aceh yang "Radikal"

5 September 2020   20:21 Diperbarui: 5 September 2020   20:28 2195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Aceh Herald

Sebagai warga negara, sekaligus orang Aceh, saya sebetulnya 'malu', membaca pernyataan Pak Menteri Agama, Fachrul Razi, sebagaimana yang dilansir CNN Indonesia. "Caranya masuk mereka gamang; pertama dikirimkan seorang anak yang good looking, penguasaan Bahasa Arabnya bagus, hafiz (hafal AlQuran), mereka mulai masuk." Kata Pak Manteri Fachrul.  

Kontan, Fahri Hamzah (FH) ikutan comment,: "Lapor pak Menteri Agama, Subuh ini di Masjid saya banyak orang #GoodLooking. Laporan selesai." Tulis FH di Twitter.

Muhammad Said Didu juga tidak ketinggalan,: "Ayo laki-laki ganteng dan perempuan2 cantik, mari kita ramaikan masjid. Dulu pake jenggot dan celana cingkrag dituduh radikat-srkng orang klimis pun dituduh radikal." Demikian yang saya kutip dari Repelita (5/9/2020).

Pernyataan Pak Fachrul tendensius. Tidak didukung data. Kami orang Aceh, tersinggung. Karena di Aceh banyak juga orang-orang yang cakep, good looking, hafiz yang bahasa Arabnya bagus. Dan itu sudah berlangsung berbad-abad.

Kalau yang bicara orang lain, barangkali saya pribadi tidak merasa 'sakit hati' lah. Lha ini yang bicara orang Aceh.

Malu Jadi Orang Aceh

Saya tahu Pak Manteri asli Aceh. Kelahiran Banda Aceh, Pak Fachrul yang umurnya 73 tahun, seperti kakek saya, pasti tahu bagaimana watak dan karakter rakyat Aceh. Karena karakteristik Aceh inilah sehingga Aceh diperlakukan khusus di negeri ini. Aceh masuk dalam kategori Daerah Istimewa sejak 1959.

Aceh diberikan kewenangan khusus untuk mengurus sendii urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakatnyaterutama terkait agama, peradatan dan pendidikan. Hal ini sesuai dengan Keputusan Pendaa Menteri Republik Indonesia nomor 1/Missi/1959.

Saya besar di pondok pesantren. Di Aceh saat ini terdapat 1.207 pondok pesantren, dengan jumlah santri 243.890 orang, Madrasah Diniyah Taklimiyah 404 lembaga, jumlah santri 24.172 orang dan TPQ 5.027 lembaga dengan jumlah santri 275.562  (AcehTribunnews.com, 28/7/2020).  

Selain saya, adik-adik juga belajar di pondok. Kami yang di Aceh barangkali lebih tahu kondisi kami di lapangan, ketimbang Pak Menteri Agama yang di Jakarta.

Dari sisi pendidikan ini, orang Aceh yang pintar-pintar termasuk Pak Menag, pasti tahu mengapa bisa pandai dan terpilih jadi Manteri. Tidak lain karena peran sekolah atau pendidikan Islam di Madarasah. Pintarnya orang Aceh di Madarasah, bukan berarti lantas 'ngawur'.

Orang Aceh dalam sejarahnya sangat gigih menentang penjajah. Lihat saja Teuku Umar, Teuku Cik Di Tiro, Cut Nya' Dien, dan lain-lain. Kami yang rajin belajar A Quran, bukan lantas jadi orang-orang seperti yang Pak Menteri sebutkan. Radikal dalam artian negatif, mengkhianati NKRI.  

Daftar Artis Aceh yang Good Looking

Menyebut bahwa kaum radikal yang masuk masjid itu adalah mereka yang good looking, radikal konotasinya 'negatif', itu sekali lagi, tendensius.  

Orang Aceh juga cakep-cakep. Yang saya tahu ada 10 artis cantik dan menawan berdarah Aceh. Bisa dipastikan mereka bisa baca Al Quran, walaupun mungkin tidak Hafiz. Asha Shara, Cut Beby Tsabina, Cut Syifa,Cut Meyriska, Risty Tagor, Enzy Storia, Cut Memey, Cut Mini, Cut Keke dan Nova Eliza (IDNTimes, 28/3/2020). 

Artis cowoknya juga ada yang cakep: Teuko Wisnu, Tengku Firmansyah, Teuko Rassya, Syakir Daulay, Teuky Zacky, Tompi, Teuku Ryan, Zikri Daulay dan Teuku Reza Pahlevi (IDN Times, 16/6/2020).    

Kalau mereka masuk masjid, apa mesti dicurigai, karena good looking? Dulu, mereka yang celana cingkrang dicurigai. Kemudian yang berjenggot. Sekarang yang klimis, cakep, pintar Bahasa Arab.

Yang benar lha pak Menteri.....

Sertifikasi Ulama Bersertifikat

Saya tidak menolak kemungkinan diterapkannya syarat Ulama Bersertifikat. Kalau tujuannya bagus, untuk peningkatan kualitas pembinaan umat, OK lah, tetapi bukan untuk mencurigai. Saya lihat tidak ada negara-negara di Timur Tengah yang melabel ulama melalui sertifikat, padahal di sana gudangnya ulama.

Saya setuju, ulama memang harus cerdas, pandai, baik budi pekertinya, serta sejumah predikat mulia lainnya sebagaimana yang disandang oleh ulama-ulama Islam terdahulu. Standar ini, mungkin tidak tertulis, tetapi sudah disepakati. Mereka yang tidak baik, otomatis ditolak oleh masyarakat, khususnya di Aceh yang secara budaya tergolong 'eksklusif'.

Saya kuatir, penentuan syarat ulama bersertifikat ini terkesan mengada-ada. Ujungnya adalah, bisa jadi Boomerang buat pak Menteri sendiri. Jangan sampai nanti para ulama 'menyerang' reputasi Kemenag yang kurang pandai 'menaungi' Ulama yang mestinya sebagai partner dalam bekerja dalam pembinaan masyarakat.

Bagaimana dengan agama lain Pak Menteri? Apa juga diperlakukan hal yang sama? Jangan terkesan aturan ini hanya berlaku bagi umat Islam. Tebang pilih. Ini tidak bagus di mata umat Islam.

Korupsi di Menag

Membaca laporan Indonesian Corruption Watch (ICW), sebagaimana yang dimuat dalam Bisnis.com (20/2/2019), Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang diduga paling banyak terlibat dalam tindakan korupsi adalah Kemenhub disusul oleh Kementerian Agama (Kemenag). 

Dari 98 orang yang terlibat, 16 orang dari Kemenhub (16.3%) dan 14 dari Kemenag (14.3%). Setiap tahun, dalam catatan ICW, terdapat 350 orang PNS yang diduga terlibat korupsi.  

Dari catatan ini, saya berkesimpulan, setidaknya untuk sementara, alangkah eloknya kalau Pak Menteri mengurusi kasus-kasus yang terjadi internal dalam Kemenag sebelum memberikan pernyataan yang tidak berdasar pada data. Belum lagi kasus jual beli jabatan, korusi Al Quran dan dana Haji (BBC, 20/3/2019).

Jujur saja, kami yang dari Aceh ini malu, memiliki perwakilan orang 'besar' tetapi pernyataannya membuat ulama dan umat Islam merasa 'dicurigai'. 

Tuduhan tidak berdasar ini seolah-olah menganggap kami ini masih harus banyak belajar atau diajar, bagaimana hidup ber-Pancasila, toleran dan sejenisnya yang di Aceh sebagai contoh, yang sudah ratusan tahun umurnya. Bahkan sebelum istilah 'Pancasila' itu lahir.

Malang, 5 September 2020
Ridha Afzal

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun