Mohon tunggu...
Ridha Afzal
Ridha Afzal Mohon Tunggu... Perawat - Occupational Health Nurse

If I can't change the world, I'll change the way I see it

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kebohongan Kronis Politisi yang Tetap "Dinikmati" Rakyat

1 September 2020   17:26 Diperbarui: 1 September 2020   17:30 257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kesalahan Terstruktur

Kalau mau berani terus terang, tidak ada politisi yang 'jujur'. Semua politisi punya kepentingan di balik setiap agenda dan alasan mengapa gabung dengan partai politik. Meski pada mulanya berniat 'membangun' negeri dalam kampanyenya, paling tidak harus punya modal yang tidak kecil. Artinya, niat baik saja, tidak cukup.

Saya dengar dari bisik-bisik senior yang 'magang' di gedung dewan sana, kalau mau jadi politisi, harus mengantongi dana minimal Rp 500 juta, agar bisa 'mulus' perjalanannya. Itupun belum tentu lolos. Dengan kata lain, partai yang diusung belum tentu bisa jadi partai penguasa.

Jika ini yang terjadi, impian untuk menjadi anggota dewan papan atas, pupus. Padahal, uang sudah sudah terlanjur digelontorkan dalam jumlah besar. Kalau gagal, bagaimana semua modal tadi bisa balik ke rekeningnya?  

Agenda politisi, baik senior maupun pendatang baru, sama saja. Mereka memiliki agenda terstruktur. Agenda yang biasa bagi mereka, siap dana besar, suap-menyuap dan saling serang dengan suara sumbang.

Kalau ada yang bilang bahwa jadi anggota dewan itu tidak butuh modal, bohong. Politisi bohong jika terjun ke politik itu tidak butuh uang.

Anehnya, rakyat kecil ini, banyak yang percaya begitu saja atas kebohongan ini. Itulah yang membuat agenda politisi bisa mulus, karena mampu membangun persepsi (perception building) lewat 'kebohongan'.

Tradisi Suap

Pemilu masih jauh. Masih empat tahun lagi. Namun kini, aromanya sudah mulai tercium. Tidak lain karena sudah bagian dari tradisi. Jauh sebelum Pemilu, harus siap-siap dana untuk kampanye. Minimal buat beli banner, uang makan dan transport untuk Tim Kampanye serta biaya publikasi di media. Kasarnya, main suap. Halusnya, uang administrasi atau uang lelah.

Adalah bohong belaka jika harus masuk media, lantas gratisan. Mana ada wartawan yang mau? Ada rekan saya yang melepas kerjanya sebagai wartawan, begitu mengetahui bahwa dunianya banyak yang 'abu-abu' perolehan penghasilannya. Dia bilang, kalau ingin sejahtera dan dapat penghasilan sampingan, wartawa harus pintar main 'kata-kata dalam berita' dengan politisi ini.

Jadi, bohong kalau saat menggalang suara di awal, sebelum kampanye, politisi itu jujur tanpa modal yang dikeluarkan, sebagai biaya operasional.

Ini kebohongan kedua.

Janji-Janji Kampanye

Bagaimanapun kini rakyat banyak yang sudah mulai cerdas. Sayangnya, tetap tidak mampu berbuat apa-apa, kecuali hanya mengiyakan isi kampanye yang didengungkan di mana-mana. Dari dulu  hingga kini, muatan kampanye rata-rata sama, yakni berjanji membuat rakyat sejahtera, adil dan makmur, serta memaksimalkan pelayanan masyarakat hingga ke daerah terpencil.

Saya punya kenalan, yang waktu itu mengajukan proposal untuk menjadi anggota dewan. Proposalnya sangat indah. Tetapi menurut saya, sebatas di atas kertas. Proposal yang dibuat oleh politisi, memang ringan saat diutarakan dalam rangkaian kata-kata, bukan dalam bentuk realita.

Inilah yang menurut saya kebohongan ketiga. Janji yang dituangkan di atas kertas, tidak gampang dipraktikkan. Hebatnya, dengan sejuta alasan, rakyat kecil dipastikan bisa menerima.  

Antara Menyesal atau Dendam

Kebohongan satu akan melahirkan kebohongan lain. "Dusta itu penghulu segala kesalahan" (Hadits). Ibaratnya, kalau tidak siap 'bohong' jangan jadi politisi. Mungkin tidak semua. Akan tetapi, bagaimana rakyat ini percaya?

Di Malang, tahun lalu, dari 45 orang anggota DPRD yang ada, 41 orang yang ditangkap KPK (91%). Dengan kata lain, untuk ukuran kota besar ke atas, segeda kota Malang, kurang lebih sama. 

Demikianlah barangkali persepsi rakyat kecil. Tidak ada anggota dewan yang jujur. Kurang dari 10% yang bisa dipercaya.
Meski demikian, kerja anggota dewan jalan terus. Seolah rakyat ini deprogram sudah terbiasa dengan 'tradisi' seperti ini. Rakyat wajib 'menikmati' budaya korupsi kalangan atas.

Mungkin ada politisi yang 'menyesal' karena ditangkap. Hanya saja, lebih banyak yang saat menjabat, mereka manfaatkan peluang untuk 'balas dendam' dengan dana yang dulu pernah dikeluarkan. 

Kalapun nanti akan ditangkap KPK, toh tabungannya masih banyak. Paling banter dipenjara hanya 2-3 tahun, tidak masalah. Sesudah keluar, bisa mencalonkan diri lagi.

Jadi, bohong bahwa politisi yang sudah dipenjarakan tidak bisa bermain di politik lagi. Inilah kebohongan keempat.  

Lupa jika Sudah Berkuasa

Kebohongan kelima, kalau sudah berkuasa biasanya lupa. Itu hal biasa. Kalau tetap ingat, namanya 'malaikat'. Kalau diingatkan, selalu bilang, maaf, mereka lupa. Maklumlah, manusia.

Anehnya, karakter rakyat kita sangat pemaaf. Jadi tidak pernah ada masalah sekalipun pihak yang berkuasa lupa, tidak menepati janji-janjinya. Politisi lupa, bahwa mereka pada dasarnya merupakan 'pelayan' rakyat. Mereka lupa, sehingga yang terjadi kebalik. Kini, rakyat yang jadi pelayan mereka.

Rakyat jadi susah untuk menemuinya. Rakyat jadi dibuat sulit hidupnya. Birokrasi diperketat, pajak makin banyak. Regulasi juga ribet. Hidup tidak lagi mudah. Mulai dari sekolah, hingga mencari kerja dengan gaji layak. Apalagi di tengah Corona.

Tapi, jangan sebut politisi jika tidak mampu menjawab mengapa semua ini terjadi. Ujung-ujungnya, rakyat disuruh kerja keras. Sementara politisinya hanya tinggal tanda tangan.

Sesudah selesai jabatannya, tinggal menikmati 'uang tabungan' yang dulu dia terima ketika berkuasa. Tidak terpilih lagi pun pada Pemilu mendatang, tidak masalah.

Politisi, mungkin saja ada yang baik. Kalaupun ada, bisa dihitung dengan jari. Itu pun, dipastikan akan banyak kalangan yang musuhnya. Bisa jadi nasibnya kayak Novel Baswedan.

Bahkan, masyarakat pun akan dibuat tidak percaya dengan segala ketulusan dan kejujurannya. Seolah kita semua sudah dibuat nikmat, dengan segala kebohongan politiknya.

Malang, 1 September 2020
Ridha Afzal

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun