Meski demikian, dominasi kedokteran masih terasa, terutama di pos-pos 'terdepan', RS besar, pejabat eselon I dan II, hingga posisi Menteri Kesehatan. Dominasinya begitu kuat, sampai-sampai nama RS besar di Indonesia ini diganti dengan nama dokter.
Dominasi inilah yang menyebabkan lahirnya 'kecemburuan sosial'. Itu wajar, sebagaimana yang saya uraikan di atas, karena dokter tidak kerja sendiri.Â
Profesi lain bagian dari tim, juga penting serta memiliki peran besar dalam SKN di negeri ini. Jadi, mengapa hanya dokter yang berhak menjabat seolah yang lain tidak mampu melakukannya?
Demokrasi
Kesetaraan profesi mulai terasa disuarakan di mana-mana. Memang tidak dalam bentuk protes atau demo. Saat ini sudah terjadi banyak perubahan tingkat kesadaran masyarakat dan professional kesehatan terkait hak-hak dan kewajiban mereka. Bahkan dari kalangan kedokteran itu sendiri sudah menyadari.Â
Oleh karena itu sekarang ada Konsil Tenaga Kesehatan, sebagai kumpulan konsil-konsil tenaga kesehatan lain yang jumlahnya lebih dari 20. Anehnya, Konsil Kedokteran diperlakukan beda, berdiri sendiri.Â
Padahal, kalau hitungan jumlah, perawat misalnya, jauh lebih banyak dari pada dokter. Mengapa Konsil Keperawatan tidak independen? Di sinilah letak tantangan makna demokrasi dalam tatanan SKN.
Terlebih dengan adanya undang-undang Tenaga Kesehatan yang mengatur kompetensi dan system registrasinya. Otomatis ini berpengaruh pada independensi profesi kesehatan secara menyeluruh.
Tuntutan persamaan hak adalah bagian dari demokrasi yang mulai disuarakan. Pemegang jabatan tertentu sektor kesehatan, tidak hanya di bidang pendidikan kesehatan saja, tetapi mulai dari pimpinan tingkat Puskesmas, RS, kepala dinas hingga Menkes, profesi lain, juga sudah mulai 'berani' bersuara.
Isu yang dilontarkan antara lain adalah, dokter adalah bagian dari profesi kesehatan, sama seperti profesi kesehatan lainnya. Bukan sebaliknya.Â
Dokter memiliki keterbatasan sebagaimana profesi lainnya yang tidak bisa berdiri sendiri. Tugas dokter mengobati, itu semua orang tahu. Di luar itu, harusnya ada kesetaraan, termasuk manajemen lembaga, semua yang mampu mestinya diberikan kesempatan yang sama.
Jabatan atau pangkat structural membutuhkan keterampilan manajemen, bukan keterampilan kedokteran. Menyamaratakan kemampuan kedokteran dengan manajemen lembaga adalah kenistaan.