Mohon tunggu...
Ridha Afzal
Ridha Afzal Mohon Tunggu... Perawat - Occupational Health Nurse

If I can't change the world, I'll change the way I see it

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Dominasi Kedokteran dalam Sistem Kesehatan Nasional

28 Agustus 2020   07:21 Diperbarui: 28 Agustus 2020   15:38 1289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Photo by Online Marketing on Unsplash (unsplash.com/@impulsq)

Di seluruh dunia, profesi yang dianggap paling menguasai dunia kesehatan adalah kedokteran. Tidak di Indonesia, tidak di Etiopia, tidak pula di Jepang, Jerman dan Amerika Serikat. Semua sepakat. Dokter dianggap paling mengerti kesehatan. Walaupun dalam praktiknya, dokter tidak bekerja sendirian.

Untuk menentukan adanya infeksi, dokter butuh hasil pemeriksaan laboratorium yang dikerjakan oleh teknisi laborat. Guna mengetahui adanya tumor di dalam rongga perut, dibutuhkan sinar Rontgen yang dilakukan oleh teknisi X-Ray. 

Mengobati pun, butuh farmasi. Bahkan saat menerima pasien, merawat ketika sakit hingga pulang, perawat yang mengerjakan. Bidang administrasi kesehatan ada petugas admin tersendiri. Ironisnya, peran semua tenaga kesehatan ini tidak pernah terlihat hitam atas putih. Karena yang tanda tangan, bukan mereka. Melainkan dokter.

So, jangankan yang kerja di dalam rumah sakit (RS). Dalam ilmu kesehatan masyarakat pun (kesehatan lingkungan, pembuatan rumah sehat, WC, tempat pembuangan sampah, hingga masalah Gizi), pengaruh kedokteran sangat terasa dominasinya. 

Sekalipun semua sadar, mereka yang terlibat dalam rangkaian layanan kesehatan ini, merupakan bagian dari profesi kesehatan. Bukan profesi kedokteran. Kedokteran adalah bagian dari ilmu kesehatan. Bukan sebaliknya.

Hanya saja realitanya, Surat Keterangan Sehat, yang menanda-tangani adalah dokter. Dokter lah yang dianggap paling berhak sebagai pihak yang bertanggungjawab atas konsep sehat-sakit. Padahal di atas kertas, tidak tertulis 'Surat Keterangan Dokter'. Ini dikarenakan penanggungjawabnya adalah dokter.

Oleh sebab itu, diakui atau tidak, persepsi bahwa hanya dokter yang mengetahui semua hal terkait sehat sakitnya manusia, tidak ada profesi kesehatan lain, tidak dapat dihindari.

Namun demikian, seiring dengan perjalanan waktu, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, perlahan mulai terjadi pergeseran nilai. Peran dokter dalam banyak bidang kesehatan di negeri ini mulai berubah dan menghadapi tantangan. Dominasinya, meski masih terasa, sudah tidak lagi relevan dengan era 70-80-an.

Pendidikan Kesehatan di Indonesia
Tahun 1970-1980-an, nyaris semua bentuk pendidikan kesehatan, mulai dari pendidikan keperawatan, kebidanan, kesehatan lingkungan, fisioterapi, farmasi hingga pendidikan gizi, dikendalikan oleh profesi kedokteran. Hal ini dimaklumi, karena selain kelangkaannya, persyaratan jenjang pendidikan, gelar dan kepangkatan masih menjadi persoalan.

Di sinilah letak besarnya jasa profesi kedokteran dalam membangun Sistem Kesehatan Nasional (SKN) di Indonesia pada awal-awalnya. Harus diakui pula, kualitas pendidikan keperawatan misalnya, di bawah asuhan kedokteran dulu sangat jauh berbeda dengan kualitas pendidikan keperawatan saat ini.

Salah satu yang membedakan adalah, kualitas tenaga dosen, di mana dokter pengajar rata-rata merangkap sebagai praktisi bahkan seorang spesialis. Sedangkan saat ini, dosen keperawatan rata-rata murni mengajar, bukan praktisi. Ada ketimpangan antara teori dan praktik yang sudah tentu berpengaruh terhadap kualitas hasil pembelajaran.

Perkembangan dunia kedokteran sangat pesat dibandingkan perkembangan profesi kesehatan lainnya. Pendidikan profesi kedokteran sudah ada di awal tahun 1900, sejak zaman Hindia Belanda. 

Pendidikan sarjana keperawatan baru lahir tahun 1985. Itupun tertatih-tatih dan masih di bawah 'asuhan' Fakultas Kedokteran, karena belum mampu berdiri sendiri sebagai Fakultas Ilmu Keperawatan (FIK). Waktu itu hanya ada satu kampus di Universitas Indonesia.

Sepuluh tahun kemudian, 1995, baru berdiri program pasca sarjana. Sementara, tahun 70-an sudah banyak professor di dunia kedokteran. Program doktoral bidang ilmu keperawatan belum lama berdiri. Jumlah lulusannya masih bisa dihitung. Padahal doktor untuk kedokteran sudah berjimbun. 

Dari sini saja terlihat, majunya profesi kedokteran tidak bisa dibandingkan dengan keperawatan. Tidak terkecuali profesi kesehatan lainnya yang kurang lebih sama dengan perjalanan karir pendidikan keperawatan.

Jenjang Kepangkatan Profesi
Pangkat atau golongan menjadi syarat utama dalam kepemimpinan di berbagai sektor pendidikan dan layanan public sector pemerintahan di negeri ini.

Sangat bisa dimengerti apabila karena latarbelakang pangkat dan golongan ini, yang membuat dokter bisa secara otomatis menjadi kepala/pimpinan di berbagai lembaga. 

Sesudah lulus saja, langsung berpangkat golongan III/b. Sementara, perawat atau profesi kesehatan lainnya, Pangkat/Golongannya III/a. Kecuali profesi Farmasi yang saat ini bisa III/b.

Karena itu tidak heran jika mulai dari Puskesmas, RS, Kepala Dinas Kesehatan Daerah, Provinsi, hingga Menteri Kesehatan, banyak dijabat oleh profesi kedokteran. Dari sini kita paham akan sistemnya. Jadi, tidak perlu protes.  

Mitra Profesi
Semakin berkembangnya profesi kesehatan non-kedokteran di Indonesia dua puluh tahun terakhir, membuat cara pandang dan cara berfikir profesionalnya berubah. Seiring dengan meningkatnya kualitas dan kuantitas professional kesehatan non-kedokteran, otomatis diikuti pula dengan peningkatan pangkat, golongan dan jabatan mereka.

Kepala Puskesmas misalnya, sejak tahun 1990 sudah ada yang diduduki oleh perawat atau profesi kesehatan lingkungan. Kepala Dinas Kesehatan juga demikian. Beberapa jabatan struktural tidak lagi dipegang oleh dokter, dari tingkat daerah hingga tingkat pusat.

Era pasca tahun 2000 mulai marak kesadaran dan tuntutan perlakuan yang setara sebagai mitra profesi mulai muncul di mana-mana. Tuntutan ini wajar karena jenjang pendidikan, pangkat dan golongan mereka sama. 

Meski demikian, dominasi kedokteran masih terasa, terutama di pos-pos 'terdepan', RS besar, pejabat eselon I dan II, hingga posisi Menteri Kesehatan. Dominasinya begitu kuat, sampai-sampai nama RS besar di Indonesia ini diganti dengan nama dokter.

Dominasi inilah yang menyebabkan lahirnya 'kecemburuan sosial'. Itu wajar, sebagaimana yang saya uraikan di atas, karena dokter tidak kerja sendiri. 

Profesi lain bagian dari tim, juga penting serta memiliki peran besar dalam SKN di negeri ini. Jadi, mengapa hanya dokter yang berhak menjabat seolah yang lain tidak mampu melakukannya?

Demokrasi
Kesetaraan profesi mulai terasa disuarakan di mana-mana. Memang tidak dalam bentuk protes atau demo. Saat ini sudah terjadi banyak perubahan tingkat kesadaran masyarakat dan professional kesehatan terkait hak-hak dan kewajiban mereka. Bahkan dari kalangan kedokteran itu sendiri sudah menyadari. 

Oleh karena itu sekarang ada Konsil Tenaga Kesehatan, sebagai kumpulan konsil-konsil tenaga kesehatan lain yang jumlahnya lebih dari 20. Anehnya, Konsil Kedokteran diperlakukan beda, berdiri sendiri. 

Padahal, kalau hitungan jumlah, perawat misalnya, jauh lebih banyak dari pada dokter. Mengapa Konsil Keperawatan tidak independen? Di sinilah letak tantangan makna demokrasi dalam tatanan SKN.

Terlebih dengan adanya undang-undang Tenaga Kesehatan yang mengatur kompetensi dan system registrasinya. Otomatis ini berpengaruh pada independensi profesi kesehatan secara menyeluruh.

Tuntutan persamaan hak adalah bagian dari demokrasi yang mulai disuarakan. Pemegang jabatan tertentu sektor kesehatan, tidak hanya di bidang pendidikan kesehatan saja, tetapi mulai dari pimpinan tingkat Puskesmas, RS, kepala dinas hingga Menkes, profesi lain, juga sudah mulai 'berani' bersuara.

Isu yang dilontarkan antara lain adalah, dokter adalah bagian dari profesi kesehatan, sama seperti profesi kesehatan lainnya. Bukan sebaliknya. 

Dokter memiliki keterbatasan sebagaimana profesi lainnya yang tidak bisa berdiri sendiri. Tugas dokter mengobati, itu semua orang tahu. Di luar itu, harusnya ada kesetaraan, termasuk manajemen lembaga, semua yang mampu mestinya diberikan kesempatan yang sama.

Jabatan atau pangkat structural membutuhkan keterampilan manajemen, bukan keterampilan kedokteran. Menyamaratakan kemampuan kedokteran dengan manajemen lembaga adalah kenistaan.

Untuk bisa memenej Puskesmas, RS, dinas kesehatan bahkan setingkat kementrian kesehatan, dibutuhkan kemampuan manajemen, bukan kemampuan bagaimana bisa mengobati orang sakit.

Oleh sebab itu, tantangan terbesar pelayanan kesehatan di negeri ini adalah sistemnya. Sepanjang belum adanya keterbukaan dalam sistemnya, tidak akan terjadi perubahan. Dominasi kedokteran di berbagai lini sector kesehatan menghadapi tantangan besar di era digital ini. Jika tidak, jangan heran jika profesi kesehatan lain menyuarakan bahwa 'Kementrian Kesehatan kita mirip Kementrian Kedokteran.'

Wabah Pandemi ini merupakan salah satu tantangan besar kita. Bahwa bukan profesinya yang penting, namun kemampuannya yang diandalkan dalam mengatasi masalahnya. Kalau hanya gelar yang dicari, semua professional kesehatan memilikinya. Bahkan di tingkat professor pun, semua profesi kesehatan di negeri ini punya.

Pertanyaannya adalah, siapkah Pak Menkes menerima usulan ini sebagai bagian dari aspirasi demokrasi sistem kesehatan di Indonesia, agar layanan kesehatan kita menjadi lebih baik?

Malang, 28 August 2020
Ridha Afzal

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun