Mohon tunggu...
Ridha Afzal
Ridha Afzal Mohon Tunggu... Perawat - Occupational Health Nurse

If I can't change the world, I'll change the way I see it

Selanjutnya

Tutup

Humor Pilihan

Politisi Sekarang Tidak Harus Cerdas dan Pintar Omong (Satire)

26 Agustus 2020   21:06 Diperbarui: 26 Agustus 2020   21:02 693
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Teman saya hari ini telepon, ngasih tahu kalau dia dapat tawaran dari daerah asalnya untuk pulang kampung. Saat ini di Jakarta, katanya ada tawaran jadi Politisi di daerahnya di Nusa Tenggara Barat (NTB) untuk gabung di PAN (Partai Amanat Nasional). Saya jawab, ambil sajalah. Indonesia untuk saat ini butuh banyak politisi 'pintar'. 

Sementara orang yang benar-benar pintar jarang mau masuk jadi Politisi, peluang untuk jadi Politisi lebih longgar dari pada jadi Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Lantas apa saja modalnya jika ingin jadi politisi di zaman sekarang?

Pendidikan

Saya dulu rencananya masuk Fakultas Kedokteran. Pilihan pertama di kampus negeri gagal. Sebetulnya bisa masuk asal ada uang sebesar Rp 150 juta waktu itu. Ibu saya bilang, andai ada sepetak sawah yang bisa dijual, saya disuruh masuk kedokteran saja. Tapi saya tidak setuju.

Saya lihat perkembangan masa depan dan karir dewasa ini di Indonesia, beda dengan di negara-negara maju. Di negara maju, orang sudah berpikir soal bagaimana kemungkinan manusia hidup di Planet Mars dan minum satu pil supaya bisa kenyang. Di negeri ini, kita masih sibuk berkutat bagaimana bisa hidup dengan otak-atik kehidupan orang lain (Baca: Politik).

Makanya, teman-teman saya banyak yang ingin juga terjun ke politik, tidak harus ambil kuliah jurusan Sosial Politik. Ada yang teknik, ekonomi, dan ada pula yang seperti saya: ilmu keperawatan.

Bagi banyak orangtua, memimpikan anaknya kuliah kedokteran saat ini sepertinya sudah tidak relevan lagi. Pokoknya, kalau mau kaya, tidak usah ambil kedokteran atau ilmu computer yang susah.

Ikut terjun aktif di organisasi mahasiswa saja, sering ikut demo, sesekali kenakan dengan anggota dewan di DPRD sana, lama-lama juga akan ketularan jadi politikus.  

Uang

Ini yang sangat pegang peranan. Kata teman-teman, kalau mau ikut politik, 'beli' aja dulu 'kursinya'. Caranya: membeli suara rakyat. Demokrasi ala Abraham Lincoln (Bapak Demokrasi Sedunia) itu hanya teori yang berlaku di kampus. Di dunia nyata tidak ada. Suara rakyat zaman kini bisa dibeli dengan Rupiah.

Tanpa uang, jangan harap jadi politisi. Tidak ada yang nggubris. 

Makanya, para calon politisi pada sibuk, jauh sebelumnya 4-5 tahun sebelum Pemilu, bukan ngurusin bagaimana negeri ini akan lebih baik. Tetapi bagaimana rencana bisa lolos dapat kursi di dewan. Payah memang. Namun itulah kenyataan yang kita tidak bisa menolaknya.

Politik memang kotor. Kalau kita tidak ikut main, kita akan dipermainkan. Contohnya sudah banyak. Tahun lalu di Malang, hampir 100% anggota dewan DPRD, berbondong-bondong mengenakan baju Orange, digiring oleh KPK. Satu peleton anggota dewan akan masuk bui.

Anehnya, mereka jalan-jalan santai sambil tersenyum, seolah tidak terjadi apa-apa. Mereka tidak risau. Pasalnya, mereka sudah punya tabungan. Paling banter nanti hanya dihukum selama dua tahun penjara. Tidak masalah.

Kenal Kepala Daerah

Rumus ketiga untuk jadi politisi itu kenal dengan kepala daerah. Pelan-pelan saja kenalannya, jangan terburu. Ini sangat penting. Kenal dengan kepala daerah, jalan panjang akan menjadi pendek untuk menuju 'istana'.

Seorang kerabat saya, kerja di Real Estate Indonesia, mengatakan, jalur Pantai Utara, dari Surabaya hingga Jakarta, akan dipesan oleh banyak politisi dan cukong-cukong, entah apa namanya. Mereka sudah antri bangun rumah gratisan dari para Developer di sepajang pantai. Enak banget.

Harga rumah bisa mencapai Rp 40 miliar. Rumah super eksotis, menghadap pantai, for free. Bisa langsung menginjakkan kaki ke pasir putih, terpaan ombak. Jenis mobil tinggal pilih. Lantai porselen buatan Itali. Dinding dari beton berlapis kayu jati dari Jawa Timur. Pokoknya, bangunan seperti ini akan selesai dalam 3 tahun sebelum masa jabatan mereka rampung.

Saya tidak omong kosong atau asal nulis kalau tidak dapatkan info seperti ini. Pokoknya, kalau kenal kepala daerah, bisa bantu mempermulus jalan masuk ke Tol Politisi.

Jadi Public Figure

Tahap terakhir rumusan menjadi seorang politisi adalah, tidak perlu pandai bicara. Tidak perlu banyak omong. Kalaupun salah omong, nanti sudah ada teman-teman kita yang dulu pintar saat kuliah, kini jadi kritikus yang akan mengoreksi. Di situlah kita sebagai politisi belajar sambil kerja. Gampang sekali.

Jadi Public Figure itu sangat gampang. Yang penting ada duit, tidak perlu ikut kerja bhakti. Sesekali ikut nimbrung di pengajian, belajar sedikit ilmu agama, terlihat seperti orang kaya, otomatis rakyat akan milih. 

Apalagi jika sering bantu beli sajadah, bangun jalan di gang masuk kompleks perumahan atau besarnya iuran RT RW sedikit ditambah. Itu yang namanya Kepala Desa atau Lurah, akan segan sama kita tanpa diminta.

Jadi pubic figure juga tidak perlu pintar. Kalau hanya punya ijazah SMA tidak perlu kuatir. Saat ini banyak di jalanan depan rumah berjajar iklan kampus supaya bisa kuliah akhir pekan. Dua tahun sudah bisa gondol ijazah S1. Ijazah S2 juga selesai dalam satu setengah tahun tanpa pernah tatap muka.

Apalagi di era Corona ini. Yang penting ada duit Rp 500 juta, gelar doctor S3, sangat mudah. Mulai dari proposal disertasi hingga soal-soal yang akan ditanyakan saat Sidang nanti, bisa dipesan. Tinggal berani bayar berapa.

Saudara.....

Saya tidak membanyol. Humor di atas bukan khayalan atau cerita fiksi semata. Inilah kenyataan hidup di Indonesia. Berbahagialah anda yang tidak pernah mengetahui dunia yang pernah saya temui, saya lihat serta saya dengar hingga saat ini. Tidak ada maksud sama sekali untuk meninyinggung anda yang jujur dalam meraih karir sebagai politisi.

Yang pasti, untuk jadi politisi zaman sekarang ini sejauh pengetahuan saya memandang, tidak harus pintar dan atau banyak omong kayak zaman Bung Karno dulu. Boleh jadi saya salah.

Atau, saya kurang jauh rekreasinya?

Malang, 26 August 2020
Ridha Afzal

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun