Mohon tunggu...
Ridha Afzal
Ridha Afzal Mohon Tunggu... Perawat - Occupational Health Nurse

If I can't change the world, I'll change the way I see it

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Kita Dididik Jadi Pembeli dan Pengguna, Bukan Peneliti Vaksin

24 Agustus 2020   20:29 Diperbarui: 25 Agustus 2020   09:24 534
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
shutterstock via kompas.com

Saya masih ingat, waktu masih di bangku Sekolah Dasar (SD), ketika petugas kesehatan (Nakes) dari Puskesmas datang ke sekolah, kami, teman-teman ramai berlarian. Takut suntikan. Biasanya selalu ada program vaksinasi atau imunisasi setiap tahunnya.

Kami tidak tahu maksud dan tujuannya, kecuali sesudah mendapat penjelasan. Maklumlah anak desa pelosok. Jauh dari informasi dan komunikasi. Sesudah memberikan penjelasan, para Nakes yang jumlahnya dua atau tiga orang duduk di ruang UKS (Usaha Kesehatan Sekolah), memanggil kami satu per satu. 

Dibantu oleh para guru kelas, kami digiring. Ada yang berani, ada yang takut. Tidak sedikit yang nangis ingin pulang.
Umumnya orangtua sudah diberitahu lebih dahulu sehari sebelumnya tentang kegiatan ini. Para orangtua/wali inilah yang akan menemani anaknya yang takut divaksinasi.

Sesudah dewasa, saya tidak pernah sangka, ternyata saya kuiah dan jadi perawat, tenaga kesehatan yang kemudian banyak berkecimpung dengan vaksin ini.

Didikan Semasa SMA

Kalau kita lihat barang-barang yang ada di sekitar kita, dari Peniti hingga pesawat, kita lebih suka membeli. Selain murah, praktis, tidak repot dan njlimet. Kita sudah terbiasa membeli apa yang sudah ada.

Kita tidak dididik untuk membuat, berkreasi dan membuat produk sendiri sejak di bangku sekolah. Karena itu produk-produk lokal, Usaha Kredit Kecil dan Menengah tidak maksimal. Bahkan tidak sedikit yang mati, karena tidak ada pembeli.

Waktu SMA, laboratorium sangat terbatas. Itupun bersifat umum. Tidak berorientasi pada peminatan siswa. Siswa meskipun ada penjurusan Bahasa, IPS, IPA, namun hanya terbatas pada menghafal dan dapat nilai bagus agar bisa masuk perguruan tinggi negeri (PTN) terkenal. Teman-teman SMA bangga jika dapat beasiswa, kuliah tidak mahal.

Teman-teman saya yang pintar saat SMA hanya sebatas pintar belajar dan pintar menghafal. Kepintaran tidak tersalurkan dalam bentuk ide, inovasi dan kreativitas. 

Akhirnya, yang pintar pelajaran Biologi hanya sebatas nilai bagus. Praktik lapangan tidak pernah karena laboratoirum kecil dan hanya untuk praktik saat ada pelajaran praktik. Di luar itu, siswa tidak boleh masuk. Akses masuk ke laboratorium dibatasi.

Inilah kondisi yang membuat teman-teman yang punya potensi meneliti, akhirnya tidak berkembang. Tradisi seperti ini terbawa hingga masuk ke perguruan tinggi.  

Penelitian Masa Kuliah

Budaya yang ada di SMA, masih membekas saat kuliah. Mahasiswa tidak pernah menuntut bagaimana agar daya kreativitas dan inovasinya bisa berkembang. Tujuan kuliah hanya satu: yang penting lulus, wisuda dan dapat kerja dengan penghasilan layak. Kalau perlu jadi Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Kalau pintar, bisa dapat kesempatan untuk ikut program pertukaran mahasiswa ke luar negeri. Tujuannya bukan untuk mengembangkan penelitian. Rata-rata untuk 'melancong' atau paling banter dapat 'tiket' agar bisa jadi dosen atau bisa kerja di BUMN.

Jika sudah lolos, mahasiswa yang pintar atau berprestasi jangankan mikir Vaksin, paling-paling ujung-ujungnya jika ingin jadi dosen, jurusan bergensi. Teknik, Kimia, Fisika, Geologi, Kedokteran atau IT. Kalau ada yang mimpi kayak Habibie, bisa dihitung dengan jari. Lebih enak jadi politisi.

Sama seperti waktu SMA, kondisi di kampus mirip. Mau melakukan penelitian, tidak ada fasilitas atau tidak diperbolehkan. 

Laboratorium hanya untuk pajangan agar dapat Akreditasi Kampus atau peningkatan nilai sertifikasi. Fasilitas kampus hanya pajangan agar disebut kampus bagus, ternama dan terakreditasi A.

Saya kuliah di jurusan Ilmu Keperawatan. Meskipun demikian, saya tidak melihat ada laboratorium klinis di kampus kami. Kampus tidak punya satu pun mikroskop. Lucu. Mahasiswa keperawatan tidak pernah meliat bakteri, cacing, mikroba dan lain-lain di kampusnya. Saya yakin, kami tidak sendiri.

Jadi jangan heran, pembuatan Vaksin, hanya mimpi. Yang kuliah di luar negeri, pulang balik ke Indonesia, kembali seperti semula, kayak orang kita lagi. Oleh-oleh dari luar negeri tidak bisa diterapkan di negeri sendiri. Akhirnya frustasi.  

Dunia Nyata

Banjirnya lulusan S3 di negeri ini hanya ijazahnya yang banyak. Kualitasnya tanda tanya. Seperti yang saya sebut di atas. Kalau soal akreditasi, banyak kampus yang sudah memenuhi syarat dan bisa dilihat di website nya Dikti. Namun soal kualitas, nanti dulu.

Sekarang ini, orang mengejar pendidikan S3 untuk tujuan kenaikan pangkat, jabatan atau masuk saja partai politik agar bisa kaya mendadak. 

Bukan untuk tujuan peningkatan ilmu pengetahuan, penelitian atau kemanusiaan. Tidak jarang saya dengar, asal punya Rp 500 juta, kita bisa dapat ijazah S3.
Ijazah S3 gampang. Semua bisa dibeli. Dari judul tesis, proposal, hingga nilainya. 

Saya punya kenalan jebolan S3. Bikin Abstrak bahasa Inggris saja, kewalahan. Padahal simple banget. Kualitas bahasa Inggris jebolan S3 kita, sekalipun saat S2 menjadi syarat perolehan IELTS score nya 5 atau TOEFL nya 500 dan punya sertifikat, namun hanya polesan. Kapan menggunakan "Am, Is dan Are" saja, tidak paham.

Itulah dunia nyata kualitas pendidikan kita.

Makanya, tidak ada yang percaya ketika Vaksin Covid-19 akan dibuat di negeri ini. Dari level bawah hingga level atas 'ragu' akan kemampuan orang kita sendiri. Akibatnya, penggede kita yang duduk di atas sana lebih milih beli dari luar negeri saja, tidak repot-repot dan tidak ribet. Produk China sangat murah.    

Masyarakat Pembeli dan Pengguna

Apa yang tidak bisa dibuat China? Saya punya beberapa kenalan yang pernah jalan-jalan ke Pasar Yiwu, pusat grosir terbesar di China, salah satu pusat grosir terbesa juga di dunia. Terletak di provinsi Zhejiang. Kota pusat bisnis yang tidak pernah mati. 

Semua ada dan dijual sangat murah. Arloji yang di sini dijual Rp 300 ribu, di sana bisa hanya Rp 50 ribu. Mainan anak-anak dengan segala teknologinya, dari yang rendah hingga modern ada semua dengan harga sangat murah.

Makanya, kita suka ngiblat ke China untuk urusan beli barang-barang, karena di sana sangat murah. Terlebih Shanghai, sebagai pusat perdagangan terbesar se-Asia. Semua alat-alat kedokteran juga terjual di sana dengan harga miring.

Akibatnya, kita malas meneliti. Selain anggaran untuk penelitian yang makan birokrasi panjang, fasilitas minim, support tidak ada, pengakuan belum tentu didapat. Masyarakat pada akhirnya milih membeli daripada membuat. Milih sebagai pengguna daripada pemproduksi sebagai profesi peneliti.

Ringkasnya, pembuatan Vaksin Covid-19 di negeri ini saya sebagai pribadi pesimis berhasil. Bukan apa-apa sih. Mental kita tidak siap untuk menjadi generasi peneliti. Ingat mantan Menkes Siti Fadilah yag dipenjara karena soal Vaksin (?). 

Jangan-jangan bukan Vaksin Covid 19 yang didapat oleh penelitinya, tetapi berurusan dengan Hukum Pidana. Payah kan?  

Malang, 24 August 2020
Ridha Afzal

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun