Mohon tunggu...
Ridha Afzal
Ridha Afzal Mohon Tunggu... Perawat - Occupational Health Nurse

If I can't change the world, I'll change the way I see it

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Buzzers Vs Influencers, Mengkritik Pengkritik, Siapa Dalangnya?

19 Agustus 2020   20:26 Diperbarui: 19 Agustus 2020   20:29 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Indonesiantodays.com

 

"Buzzer adalah orang yang memiliki pengaruh tertentu untuk menyuarakan sebuah kepentingan. Mereka tergerak dengan sendirinya, atau ada timbal baliknya. Cara menyuarakannya bisa secara langsung atau anonym." (Drian Bintang)

Realitanya, dalam hidup ini selalu ada orang-orang yang pro lembaga atau pro pemerintah. Ada juga yang netral atau tidak peduli. Tetapi ada pula yang kerjanya hanya mengkritik. Uniknya, masih ada satu lagi golongan, yakni mengkritik orang yang mengkritik.

Untuk yang suka mengkritik Pemerintah, memang kerja pemerintah itu melayani dan perlu atau harus dikritik. Pemerintah butuh masukan (baca: kritik), jika ingin lebih baik kualitas kerja dan pelayanannya.

Masalahnya, yang mengkritikpun tidak jarang malah dianggap salah. Padahal, dia bermaksud baik, ingin memberi masukan. Pemerintah, tidak bisa benar terus. Bisa saja salah. Yang memberi kritik, meski baik belum tentu benar. Dari pihak pemerintah, meskpun benar pun, belum tentu dianggap baik.

Apapun kondisinya, di sisi lain, ada kelompok yang ingin membela pemerintah. Mereka ini 'bertugas' mengkritik para pengriktik. Kelompok ini ada yang gratisan, ada yang dibayar. Tugasnya 'men-counter attack' para pengkritik pemerintah, kampus, lembaga yayasan dan lain-lain. Meskipun yang dibela belum tentu benar dan yang membela pun belum tentu diuntungkan.  

Kelompok kedua yang saya sebut inilah yang disebut Buzzer. Buzzer ini tidak serta merta lahir begitu saja. Ada riwayatnya.

Enggan Bertanya

Kapan itu kami menyelenggarakan pelatihan gratis, terkait Writing Skills. Dari sekitar 100 orang yang daftar, 20 orang yang gabung dalam acara tersebut. Dua hari sebelum penyelenggaraan acara, kami sudah mengirimkan materi untuk dipelajari.  

Yang terjadi adalah, ketika acara dimulai, tidak ada yang bertanya. Hanya ada 3 orang. Itupun sesudah kami minta, : "Please....please....please....ada yang ingin ditanyakan......????"

Pada akhirnya kami berfikir. Ada 3 kemungkinan mengapa ini terjadi.

Pertama, materinya sudah jelas. Kalau materi sudah jelas, 100% tidak mungkin. Pasti banyak hal yang mereka ingin tahu yang perlu penjelasan. Kemungkinan kedua, mereka tidak bertanya karena malas. 

Rasanya kalau malas juga tidak. Kalau malas, dari awal mereka mestinya tidak  akan ikut. Karena yang ikut kali ini merupakan saringan lebih dari 100 peserta. Mereka yang ingin ikut pada dasarnya rajin, bukan pemalas. Oleh sebab itu alternatifnya adalah nomer tiga, mereka tidak mengajukan pertanyaan karena takut atau salah ngomong.

Takut Salah

Takut salah atau salah ngomong ini sangat banyak menghantui peserta didik/mahasiswa/staf, buruh, masyarakat dan lain-lain. Bukan karena omongannya yang salah yang ditakutkan. Mereka takut diketawakan atau jadi bahan tertawa orang lain atau teman-temannya. Hal ini sangat umum terjadi di bangku sekolah, kampus juga di masyarakat.

Lihat saja misalnya mengapa orang kita tidak sukses dalam belajar Bahasa Inggris. Kalah ucap, takut ditertawakan oleh orang lain. Padahal, yang menertawakan belum tentu bisa. Budaya menertawakan kesalahan orang lain ini, sangat kuat mengakar dalam masyarakat kita.

Dalam jangka panjang, kebiasaan ini membekas. Mereka yang suka menertawakan atau membela pihak yang 'berkuasa' ini berpotensi jadi Buzzer. Bisa juga jadi orang bayaran untuk jadi Buzzer.

Takut Pemerintah

Orang kita sangat patuh. Mau bukti? Lihat jalan-jalan di kampung. Kita sangat guyub, bersedia bayar  iuran bergotong royog demi kepentingan bersama, walaupun tidak punya uang. Mana ada di luar negeri suasana seperti ini? Ini membutktikan bahwa orang kita sangat manut. Oleh sebab itu Belanda betah. Jepang juga sukses menjajah.

Orang kita cepat sekali percaya sama orang lain, dari sejak zaman dulu. Agama memang mengajarkan untuk tidak menaruh prasangka negatif pada orang. Karena itulah, ketika Jepang datang betujuan untuk membantu kita mengusir Belanda, kita langsung percaya, tidak pernah menaruh curiga. Akibatnya, Jepang justru yang menipu dan menjajah kita. Malah jauh lebih kejam dari pada Belanda.  

Budaya orang kita secara umum 'takut', tidak mau neko-neko. Walaupun esensi pejabat, PNS, pegawai MPR/DPR atau Pemerintah dan Presiden sebenarnya adalah melayani rakyat, teryata kemudian terbaik, masyarakat kita ok-ok saja. Justru rakyat yang melayani mereka. Masyarakat kita tidak pernah protes.

Orang kita memang sangat mulia budinya. Meski sudah disakiti, mudah memaafkan. Lihatlah bagaimana koruptor bebas jalan terus. KKN tidak surut.Kita sangat pemaaf. Kita tidak mau repot dan tidak ingin neko-neko.

Kalau ada orang salah, tidak jarang kita biarkan, meskipun itu pemimpin kita. "Ya sudah, didoakan saja..." Demikianlah. Pikir kita, dengan doa semuanya bisa beres. Padahal aslinya tidak demikian. Masyarakat kita ini aslinya 'penakut'.

Buzzer dan Influencer

Kondisi di atas, secara politis, banyak dimanfaatkan oleh oran-orang yang mempunyai potensi menggunakan peluang.

Kita seringkali tidak mau terbuka meskipun disakiti. Kita selalu bilang, :"Tidak apa-apa." Budaya ini, sudah tertanam sejak kecil. Anak-anak kita ajarkan untuk tutup mulut, dengan iming-iming atau 'ancaman'.

Cara-cara pendidikan seperti ini berimbas secara psikologis, sehingga dalam jangka panjang mencetak generasi 'tertutup'. Kepribadiannya cenderung Introvert.

Dalam rapat sering kita temui tipe orang seperti ini. Hanya diam di dalam ruangan, selama rapat berlangsung. Namun menggerutu di luar rapat. Mereka bisa koar-koar, tetapi tidak resmi.

Kelompok orang seperti ini berpotensi bukannya sebagai Influencer, tetapi menjadi Buzzer. Tidak ingin namanya tercoreng hanya karena berterus terang. Tetapi menentang orang-orang yang terbuka jalan fikirannya.  

Intinya, dalam hidup ini, di dunia nyata, dunia maya ataupun dunia abu-abu, selalu ada Influencer dan Buzzer. Influencer in sukanya terbuka, identitasnya jelas. Sedangkan Buzzer suka main di belakang, dengan identitas meraba-raba, karena kalau dibayar, pasti ada dalangnya. Kalaupun murni Buzzer, jumlahnya sedikit tetapi bisa seperti Bakteri.  

Dalam dunia politik, Influencer ini didominasi oleh orang-orang kuat ideologinya dan berpengaruh. Sementara Buzzer ini didukung orang-orang yang bisa mempengaruhi, karena kuat dananya.

Malang, 19 August 2020
Ridha Afzal

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun