Mohon tunggu...
Ridha Afzal
Ridha Afzal Mohon Tunggu... Perawat - Occupational Health Nurse

If I can't change the world, I'll change the way I see it

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Membajak Potensi Negeri

16 Agustus 2020   06:20 Diperbarui: 16 Agustus 2020   06:54 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: thecrazytourist.com

Potensi Negeri

Ekonomi bukan segalanya dalam hidup. Sama seperti mendirikan rumah. Butuh minimal empat buah pilar. Selanjutnya, jumlah pilar bergantung pada seberapa besar ukuran rumah yang dibangun. Demikianlah Indonesia yang tidak sebesar Singapore. Jadi, kalau ada apa-apa dengan ekonomi kita, masih banyak hal lain yang harus dibenahi yang imbasnya pada ekonomi.

Sebagai negara terbesar keempat untuk kategori populasi di dunia sesudah USA, Indonesia ini memiliki banyak potensi yang jadi sorotan global. Makanya, sejak dari dulu, Singapore saja diperebutkan, karena posisi Indoesia sebagai negara besar yang strategis, perlu dipertimbangkan.

Selama 75 tahun merdeka, negeri ini jatuh bangun membenah diri, masyarakat, bangsa dan negara agar bisa maju bersama, sejajar dengan negara-negara lain di dunia. Kita harus bekerja keras mengejar ketertinggalan di berbagai bidang.

Tantangan besar yang dihadapi Indonesia ini bisa dimaklumi. Sama-sama negeri besar seperti China, India, Rusia dan USA, kondisi georafis Indonesia sangat beda. Dari sudut pandang pembangunan infrastruktur saja, tidak mudah. Jauh lebih mahal biayanya guna membangun Indonesia. 

Belum lagi upaya mempersatukan aneka masyarakat dengan latar belakang suku dan bahasa yang angkanya mencapai lebih dari 400 buah.

Kekayaan Indonesia sebagai sebuah negara, melimpah. Dari luasnya daratan, laut, udara, kekayaan alam, minyak, tambang, hutan, lautan dan seisinya, kita bisa kuwalahan mengolahnya. 

Dari Sabang hingga Merauke, di tengah keragaman yang terbungkus dalam persatuan, Indonesia menyimpan daya tarik yang luar biasa.

Wajar jika orang luar negeri heran, mengapa Indonesia bisa bersatu. Inilah nikmat terindah yang harus kita syukuri.

Di Bawah Belanda

Tahun 2020 ini, kita memasuki tahun ke 75. Usia yang sebenarnya cukup tua untuk disebut dewasa. Hanya saja, beda jauh dengan kedewasaan Amerika Serikat, Belanda, Inggris, Jepang atau China. Kita bukan apa-apanya jika dibandingkan dengan Amerika Serikat yang usianya yang hampir 300 tahun. Kalau mau membandingkan, bukan apple to apple dengan mereka.

Begitu pula jika mau bandingkan Indonesia dengan Korea Selatan misalnya. Meski usianya nyaris sama. Secara sosio-kultural, Indonesia dan Korea beda jauh. Pembinaan masyarakat Korea, jauh lebih 'mudah' daripada kita. Demikian pula masalah pengolahan sumber daya alamnya. Korea yang 'tidak punya' pulau, sangat diutungkan dalam banyak hal.

Apalagi jika dibandingkan dengan Qatar. Meski Qatar adalah negara 'kemarin sore', posisi Qatar sangat jauh beda. Negara petro dollar sebesar Pulau Madura yang kaya minyak tersebut sangat fokus pengelolaan sumber daya alamnya. Negeri kecil, penduduk sedikit, bahasa sama, regulasi jelas, diuntungkan dengan dukungan Inggris pula. Fokus Indonesia berjibun.

Indonesia di bawah Belanda, sangat beda dengan keberuntungan negara-negara di bawah Persekemakmuran Inggris. 

Di bawah Belanda, jangankan kurikulum pendidikan, bahasanya saja orang kita nyaris tidak ada yang mengenal Bahasa Belanda. Terlebih, Bahasa Belanda kalaupun kita kuasai, untuk apa? Karena bukan bahasa internasional yang tidak menguntngkan posisi kita dalam banyak bidang.

Sumber Daya Manusia Indonesia

Keterpurukan kondisi ekonomi bangsa kita di usia ke-75 ini cukup memprihatinkan, karena Covid-19. Ada semacam ketidak-siapan secara psikologis dalam 'menyambut' wabah ini. Terkesan kita belum 'dewasa' menghadapi tantangan besar. Buktinya adalah, ekonomi kita bisa anjlok hingga minus 5% lebih.  

Sumber: thecrazytourist.com
Sumber: thecrazytourist.com

Sebagai individu, anggota keluarga, masyarakat, profesi, bangsa dan negara, tentu saja saya tidak ingin menambah beban. Hemat saya, akar dari persoalan bangsa ini adalah pendidikan. Pendidikanlah yang mestinya dijadikan prioritas dalam pembangunan SDM negeri ini.

Melalui pendidikan, bukan hanya ilmu pengetahuan dan keterampilan masyarakat yang meningkat. Akan tetapi juga cara pandang, motivasi, semangat juang, hingga bagaimana bisa terpupuk rasa persatuan. Pendidikan SDM inilah yang mestinya menjadi prioritas dalam pembangunan bangsa. Selain tentu saja, masalah keamanan, politik, social ekonomi dan budaya.

Hanya saja, keterbatasan kemampuan Pemerintah dalam menyediakan fasilitas pendidikan yang terbatas membuat tidak meratanya tingkat pendidikan masyarakat. Akibatnya, terjadi ketimpangan di sana-sini antara masyarakat yang satu dan lainnya.

Guna mengatasinya, dibutuhkan kesadaran individu dan masyarakat dalam melibatkan diri guna pembangunan demi negeri ini. Negeri ini masih berat secara ekonomi jika harus membebaskan rakyatnya yang minat bacanya saja masih rendah, untuk bisa kuiah gratis hingga S2. Itulah salah satu faktor mendasar, mengapa SDM kita tertinggal.

Bekal Membangun Negeri

Ketertinggalan kita berdampak pada tingkat kesejahteraan. Peningkatan kesejahteraan inilah yang umumnya menjadi tujuan utama yang diincar, baik oleh negara dalam artian luas, serta individual dalam arti sempit.

Bulan-bulan belakangan ini, saya sibuk mencari pekerjaan. Fokus ke Penanaman Modal Asing (PMA). Mengapa? Karena dari orang asing saya akan bisa belajar banyak. Dari mereka saya akan belajar tentang bahasa, budaya, kerjasama, network dan tentu saja berbisnis.

Sambil bekerja bersama mereka, suatu saat nanti saya ingin mengembangkan usaha sendiri. Sambil bekerja bersama mereka, saya ingin lanjut kuliah lagi. Dengan demikian, nilai manfaatnya jelas.  

Jauh sebelum gabung dengan mereka, saya persiapkan diri dengan cara mempelajari syarat yang mereka butuhkan apabila bekerja di bawah bendera PMA. Di antaranya adalah penguasaan bahasa asing, mengikuti beberapa pelatihan yang terkait management, leadership, entrepreneurship, serta hal-hal lain yang terkait profesi kesehatan bidang industri.

Fokus pengembangan diri ini penting sebagai persyaratan jika ingin ikut serta berpartisipasi aktif dalam membangun negeri. Saya tidak ingi hanya asal kerja. Mimpi saya bermanfaat bagi orang banyak, juga bagi negara.

Bekal lain yang saya harus persiapkan adalah memiliki keterampilan ekstra, sehingga membuat saya 'beda' dengan orang lain. Kelebihan ini ke depan akan memiliki nilai jual. Dalam interview, nilai jual seperti inilah yang mereka cari.

Saat saya tulis artikel ini, saya sudah berada pada tahap kedua dari empat tahap yang harus saya lalui untuk bisa tembus ke sebuah perusahaan kondang milik Amerika Serikat. 

Ini bukan untuk gaya-gayaan, atau bangga-banggaan. Memang seperti inilah seharusnya sikap yang diambil bila kita  ingin mendapatkan dukungan dari banyak pihak. Bukan disembunyikan kemudian jadi bahan kejutan.

Inilah bentuk sumbangsih konkrit yang perlu kita rintis sebagai pemuda. Kita tidak perlu menyembunyikan diri jika memiliki potensi. Biarkan orang lain tahu. Siapa tahu rejeki datang dari mereka yang tahu akan potensi kita.

Intinya, saya isi kemerdekaan ini dengan berjuang. Memulai dari diri sendiri, tidak bergantung pada keluarga atau Pemerintah. Membajak potensi negeri menurut saya adalah memanfaatkan semua potensi yang dimiliki bangsa ini, kemudian kita ambil dan kita kembalikan demi pembangunan bangsa. Caranya banyak dan sangat beragam.

Guna mengisi HUT 75 RI dan memperbaiki kondisi ekonomi negeri ini,  saya lebih memilih jalur ingin bekerja dulu di PMA. Mungkin karena di sinilah passion saya. Di sinilah saya ingin terlibat dalam membangun Indonesia agar tetap jaya.

Mohon do'a dan dukungan teman-teman. Nanti jika berhasil, insyaallah pasti akan saya share di Kompasiana. Sebaliknya, jika tidak lolos, barangkali belum rejeki. Saya tetap berprasangka baik.

Yang pasti, Tuhan memiliki rencana dan memberikan yang terbaik buat saya.

Merdeka!

Malang, 16 August 2020
Ridha Afzal

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun