Mohon tunggu...
Ridha Afzal
Ridha Afzal Mohon Tunggu... Perawat - Occupational Health Nurse

If I can't change the world, I'll change the way I see it

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Pers, Regulasi, dan Bisnis di Tengah Stigma Covid-19

15 Agustus 2020   09:24 Diperbarui: 15 Agustus 2020   18:31 367
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pengalaman di Lapangan

Pagi tadi, saya ketemu seorang senior yang bekerja di Instalasi gawat Darurat (IGD) di RS terbesar rujukan di Kota Malang. Kolega tersebut mengemukakan bahwa hingga hari ini, tidak tampak tanda-tanda penurunan kasus. Ini fakta. Kenyataan ini didukung pula oleh data nasional.  

Dalam 24 jam terakhir atau dari Kamis 13 Agustus hingga kemarin, Jumat 14 Agustus 2020 pukul 12.00 WIB, kasus positif Covid-19 di Indonesia bertambah sebanyak 2.307 kasus (Pikiran Rakyat, 14 Agustus 2020).

Selanjutnya dikemukakan oleh rekan saya, jumlah pasien yang datang ke IGD setiap hari rata-rata sebanyak 15 orang untuk kasus Covid-19. Dari jumlah tersebut, sebanyak 10 orang (66.6%), disarankan masuk rumah sakit (MRS), untuk menjalani rawat inap. Advis ini didasarkan pada hasil pemeriksaan Rapid Test, darah dan Rontgen paru-paru.

Sementara itu, bangsal tempat merawat pasien Covid-19 di RS yang sama, tidak pernah sepi. Selalu penuh. Ini menunjukkan bahwa kasus ini di Malang Raya, juga daerah sekitar di mana harus merujuk pasien ke sana, belum menunjukkan tanda-tanda yang menggembirakan. Justru masih 'mengkhawatirkan'.

Ironisnya, kegiatan masyarakat sepertinya 'normal', seolah tidak terjadi apa-apa. Walaupun to some extent, mayoritas masih tetap menggunakan masker, jaga jarak, pemeriksaan suhu sebelum masuk ke tempat-tempat umum dan kantor, serta cuci tangan.

Regulasi

Diputuskannya pasien MRS itu sesuai regulasi. RS tidak membuat aturan sendiri. Namun harus sesuai prosedur. Misalnya, setiap pasien yang datang dengan gejala-gejala flu, berlendir, sedikit sesak, demam, pemeriksaan darah dan paru positif serta Rapid Test positif, harus MRS. Aturan ini baku dan tidak bisa ditawar. Sekalipun, belum tentu positif Swab Test nya.

Akibatnya RS penuh, bangsal bisa kewalahan, karena tidak mampu menampung. Belum lagi kebijakan lainnya, misalnya, lama perawatan selama 2 minggu. Kemudian diperiksa lagi. Sesudah itu dilakukan swab test lagi. Jika negatif, boleh pulang. Isolasi mandiri.

Ini dilakukan karena RS harus menerima pasien lain yang antri, yang tidak mendapat tempat tidur. Lamanya antrian sementara pasien ini ada sisi negatifnya, yakni potensi pasien positif bisa menjadi faktor penular terbesar di masyarakat karena mereka tidak segera diobati, terkendali atau terkontrol.

Demikian pula pasien-pasien yang sudah boleh pulang tadi. Mereka masih besar kemungkinannya memiliki potensi menular. Kedisiplinan pasien di rumah dan lingkungan sangat berperan. Ketidakpatuhan mereka bisa menyebabkan kasus penyakit ini makin meluas.  

Inilah sejumlah faktor penyebab tidak menurunnya angka kasus. Justru malah makin luas dan meningkat.

Regulasi Pemerintah terhadap instansi tidak kalah berpengaruh. Misalnya, menutup lembaga untuk sementara dan tidak tahu kapan harus buka lagi. Dari kaca mata bisnis, ini sangat merugikan pengusaha juga pekerja serta produktivitasnya. Padahal, mereka sehat.

Demikian halnya aturan untuk memeriksa semua karyawan yang apabila didapatkan satu atau dua orang yang diduga terjagkit Covid-19, harus diperiksa seluruhnya. Kebijakan 'gebyah uyah' (menyamaratakan) ini dinilai sangat merugikan perusahaan dan pemborosan. 

Bayangkan, berapa dana yang dikeluarkan oleh perusahaan hanya untuk Rapid Test yang tidak murah. Belum lagi jika tuntutannya Swab Test, akan jauh lebih mahal lagi.

Ke depan, produktivitas akan menurun, karyawan dan pengusaha tidak mendapatkan untung, dan negara secara nasional bisa bangkrut. Akibat terparah adalah negara mungkin akan cari jalan keluar, dengan cara Hutang yang berdampak ada Inflasi.

Menolak Terapi

Anda boleh tidak percaya. Teman saya, seorang perawat yang bekerja di Unit Covid-19, milik Pemerintah di sebuah lembaga BUMN kondang di Jakarta, didiagnosa Positif. Dia harus opname, MRS. Anehnya, dia menolak tegas. Dia tidak mau makan/minum obat yang diberikan pihak RS, selama dua minggu dirawat.

Selama itu pula dia hanya tidur atau istrahat, tanpa makan obat, kecuali Panadol jika dia merasa panas. Ajaibnya, ternyata dia sembuh. Saat di test sesudah dua pekan, hasilnya negative. Kemudian dia bekerja normal hingga saat ini.

Ini berarti, tidak semua kasus harus diperlakukan penanganan yang sama. Sayangnya, mayoritas penderita Covid-19 adalah orang awam yang tidak tahu seluk beluk Covid-19. Sedangkan rekan saya sangat beda.

Dia memiliki nilai tawar (bargaining power), sehingga tidak minum obat pun, tidak ada pihak yang 'memaksa'. Toh pada akhirnya dia sembuh. Otomatis pihak yang mengobati termasuk RS 'heran'.

Oke oke.com
Oke oke.com

Pers

Peranan Pers dalam mengangkat isu Covid-19 ini sangat penting. Kekuatan Pers sedemikian besar sehingga takut tidaknya, kacau-tidaknya serta aman tidaknya kehidupan di masyarakat seolah-olah 'bergantung' pada berita di Koran, TV, medsos dan sejenisnya yang ada di berbagai media massa termasuk medsos.

Pers lah yang menciptakan 'stigma' di tengah masyarakat. Isu menyebar cepat karena peran Pers. Belum lagi, masyarakat kita kecenderugannya menambah hal-hal yang negatif dan mengurangi yang positif. Jika ini berlangsung dalam waktu lama, sulit mengubahnya. Karena penilaian terhadap kasus ini selalu dari dilihat dari sisi negatif.

Di tangan Pers grafik jumlah kasusnya. Selain metode pengobatan, alat-alat yang banyak digunakan guna mencegahnya, orang-orang yang terlibat, perubahan regulasi, wilayah dan statusnya, serta dampak terhadap berbagai sektor kehidupan, dari kesehatan hingga sosial ekonomi, semua datanya dimiliki Pers.

Pers lah mestinya sebagai pihak yang 'paling' bertanggungjawab saat masyarakat mendapatkan berita yang simpang siur tentang kasus ini. Pers juga yang membuat persaingan bisnis terkait Covid-19 tidak sehat. Harus diakui, Pers punya peran krusial terkait surut tidaknya kasus ini ke depan.  

Bisnis dan Perang Harga Pasar

Beberapa bisnis yang sangat diuntungkan di masa Covid-19 ini adalah: RS, klinik, balai kesehatan, yang menyediakan layanan Rapid Test, Swab Test dan perusahaan Alat Pelindung Diri (APD). Tetapi bukan perusahaan farmasi obat-obatan, karena kita belum menemukan choice of drugs (obat yang cocok) untuk kasus ini.

Penjualan layanan test dan APD ini begitu gencar di masyarakat, sehingga terkesan ada 'Perang Harga' di pasar. Sebuah perang yang tidak pernah terjadi sebelumnya. 

Bayangkan, permintaan layanan ini bisa bersifat masif dan besar-besaran. Perusahaan, lembaga, hingga yayasan kecil, semuanya karena harus 'patuh' terhadap regulasi Pemerintah, mereka mengirimkan karyawannya puluhan hingga ribuan, hanya untuk ditest.

Business is business. Begitulah prinsipnya. Atas nama apapun, tidak bisa ditolak kenyataan bahwa yang dikejar oleh perusahaan yang bergerak di bidang jasa Test Corona ini adalah memproduksi sebanyak-banyaknya dengan keuntungan yang sebenar-sebesarnya.

Masyarakat dan pengusaha serta karyawan tidak bisa berbuat apa-apa karena aturan yang sudah ditetapkan oleh Pemerintah. Siapa yang bermain di balik semua bisnis ini? God knows!

Makanya jangan heran jika berita yang menyebar di masyarakat adalah, Corona-19 ini, bagian dari Konspirasi. Betapapun black on white, hitam atas putih jelas membutkikan bahwa Virus Corona itu ada. Harus diakui pula, bawa kerugian karena menyebar-luasnya perang bisnis yang luar biasa ini juga terbukti nyata.  

Harus Bagaimana?

Penyedia layanan kesehatan (RS, balai kesehatan, Puskesmas, dll) harus berani bersuara lantang untuk mengambil keputusan siapa yang sebenarnya wajib MRS. Bukannya main politik 'gebyah uyah'.  Ini penting. Bukan hanya karena MRS ini ada kaitannya dengan pengeluaran dana yang tidak kecil, akan tetapi juga pemborosan tenaga, fikiran serta waktu tenaga kesehatan.

Tim kesehatan perlu melakukan penelitian lebih detail, guna membedakan mana yang berpotensi menular dan mana yang tidak. Termasuk bagaimana mungkin mereka yang terdiagosa positif, tanpa minum obat, bisa sembuh?

Pemerintah seharusnya berlaku bijak, agar tidak merugikan ribuan korporasi. Perlu dibenahi system bayar pajak Online. 

Contoh kecil, bayar pajak motor saja saat ini harus ke Kantor Samsat di satu tempat dalam wilayah kabupaten, karena kantor di semua cabang tingkat kecamatan ditutup, sampai waktu yang tidak ditentukan. 

Padahal, di Malang misalnya, terdapat 30 kecamatan. Hanya untuk bayar pajak tahunan motor, orang harus menempuh jarak 160 km pulang-pergi. 

Itu masih tentang bayar pajak motor. Belum lagi tentang aturan Rapid dan Swab Test yang menyedot miliaran Rupiah dari parusahaan yang bisa jadi terancam kolaps saat ini.

Bagi masyarakat, sebaiknya tidak terburu termakan isyu oleh media massa. Media massa juga harus obeyektif, tidak asal pasang berita, hanya untuk mengejar target rating. Covid-19 ini bukan masalah biasa seperti Pemilu atau Pilkada. 

Ketidakhati-hatian Pers dalam menyajikan berita obyektif membuat hubungan masyarakat, Pemerintah dan swasta risau. Inilah yang paling dikuatirkan.

So, do'a saja tidak cukup. Karena dengan ikhtiarpun saat menghadapi Stigma Covid-19 ini, perlu mikir, jeli dan hati-hati.    

Malang, 15 August 2020
Ridha Afzal

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun