Mohon tunggu...
Ridha Afzal
Ridha Afzal Mohon Tunggu... Perawat - Occupational Health Nurse

If I can't change the world, I'll change the way I see it

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Relevansi Istilah Sansekerta dengan Nilai Persatuan dan Kebutuhan Zaman

11 Agustus 2020   18:48 Diperbarui: 11 Agustus 2020   18:39 1524
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: linguistikid.com

Saya mau jujur, banyak istilah-istilah dalam Bahasa Sansekerta yang saya tidak paham. Jangankan kami orang Aceh, yang dari luar Jawa. Orang Jawa sendiri saja, banyak yang tidak paham makna: "Ghraha, nugraha, prasetya, karsa, dharma" dan lain-lain.

Saya ungkap masalah yang kelihatan sepele ini, karena dampaknya 'sangat besar' terhadap masa depan profesionalitas dan tuntutan kebutuhan zaman.

Bayangkan. Sementaran negara-negara lain sibuk dengan Ilmu Pengetahuan dan menguasai Bahasa Internasional, kita menerepkan istilah yang bahkan bukan milik kita. Orang lain sudah familiar menggunakan kata "Center", kita gunakan kata "Ghraha".

Padahal, kalau gunakan "Center" semua orang Indonesia dan dunia paham. Akan tetapi, begitu diganti "Ghraha", orang yang sehari-hari nempati gedung itu saja tidak mengerti.
Jadi di mana urgensi menggunakan istilah Sansekerta dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ini?

Belajar Sejarah

Selama di sekolah dari SD hingga masuk perguruan tinggi, saya menyesal karena tidak ada satu guru Bahasa Indonesia pun yang pernah cerita tentang asal usul dan arti kata "Indonesia". Guru sejarah pun, tidak pernah cerita siapa penemu kata ini.

Guru Bahasa Indonesia tidak juga menjelaskan apa yang dimaksud dengan "Bahasa" dan syaratnya. Apa bedanya Bahasa Indonesia dengan Bahasa China, Bahasa Jawa, India, Urdu, Arab, Benggal, Thai, termasuk Sansekerta ini. Sementara mereka punya 'huruf', bahasa Indonesia tidak punya. Kita 'pinjam' huruf Latin alias import. Apakah bahasa kita bisa disebut 'bahasa' atau  "Dialek".

Kalau menggunakan murni huruf Latin, bagaimana sebenarnya pengucapan huruf Latin yang benar? Ini juga tidak dijelaskan oleh guru-guru Bahasa Indonesia. Sama-sama menggunakan huruf Latin, mengapa Bahasa Inggris misalnya, melafalkannya beda huruf-huruf: a (ei), b (bi), c (si), d (di), e (i), f (ef) dan seterusnya?

Ini semua mestinya diajarkan di sekolah-sekolah sehingga murid-murid kita paham. Jangan seperti saya yang paham sesudah mencari sendiri informasinya. Barangkali sangat terlambat. Namun tetap lebih baik, dari pada tidak tahu sama sekali.

Ini salah satu kekurangan dalam sistem pembelajaran kita. Akibatnya, bukannya kita makin maju dalam belajar, tetapi mengalami kemunduran. Bahkan Bahasa daerah kita terancam punah.

Demikian pula pentingnya sejarah bahasa di negeri ini. Kita tidak diajarkan tuntas tentang sejarah masuknya Sansekerta. Sehingga kita klaim seolah-olah milik kita. Padahal, Sansekerta milik orang India kan?

Orang India tentu akan 'marah' sebagaimana kita 'marah' ketita 'Reog Pnorogo' diklaim milik Malaysia. Makanya harus proporsional dan gentle mengakui. Mari kita akui bahwa Sansekerta bukan milik Bangas Indonesia. Sansekerta tidak sama dengan Jawa Kuno. Jawa Kuno (Bahasa Kawi) milik kita, meskipun terdapat pengaruh besar Bahasa Sansekerta.

Cinta Budaya

Saya sudah hampir dua tahun tinggal di Pulau Jawa. Di banyak tempat saya perhatikan orang-orang Jawa di pedesaan sudah banyak yang menggunakan Bahasa Indonesia, daripada Bahasa Jawa. Dari satu sisi saya suka karena saya mengerti sebagai pendatang dari Aceh. Di sisi lain, sebenarnya saya 'prihatin'. Mengapa anak-anak ini menggunakan Bahasa Indonesia bukannya Bahasa Ibu mereka? Padahal komunikasi dengan sesama orang Jawa.

Kecuali pembicaraan terjadi di kantor atau pertemuan-pertemuan resmi. Ini merupakan adab, bahwa menggunakan bahasa yang dapat dimengerti oleh orang lain itu merupakan kehormatan sekaligus kewajiban kita. Tetapi kalau sesama orang Padang, Aceh, Batak, Sunda, mengapa harus gunakan Bahasa Indonesia?

Tolong cinta budaya di sini dibedakan dengan cinta Bahasa Indonesia. Ini merupakan dua hal yang berbeda. Cinta budaya adalah mempertahankan adat istiadat tanpa mengesampingkan kepentingan nasional, berbangsa dan bernegara.

Inilah penyebab mengapa Huruf sekaligus Bahasa Jawa Kuno dalam Bahasa Jawa punah. Tinggal sejarah. Bahkan Bahasa Jawa yang Halus juga mulai banyak ditinggalkan oleh orang Jawa sendiri.

Dalam keluarga orang Jawa saya lihat mereka banyak yang gunakan bahasa Indonesia bukan Bahasa Jawa. Kalau gunakan Bahasa Inggris mungkin bisa saya pahami sebagai bahasa internasional dan ilmu pengetahuan yang memberikan nilai tambah pada masa depan anak. Lha praktik Bahasa Indonesia di dalam rumah bagi orang-orang Aceh, Padang, Batak, Sunda, mereka dapat apa?

Makanya tidak heran, jika ke depan, generasi muda Aceh, Batak, Padang, Riau, Sulawesi, terancam tidak paham dengan budaya mereka. Bahasa Daerah mereka bakal terkikis oleh pergaulan keseharian di sekolah, rumah dan masyarakat yang besar pengaruhnya.

Nilai Kesatuan

Bahasa Sansekerta kalau kita lihat dalam sejarahnya,berasal dari India. Berarti milik orang India. Bahasa Sansekerta mengalami asimilasi, sebagian diserap dalam Bahasa Jawa. Sedikit sekali yang diserap dalam Bahasa Indonesia. Kalaupun saat ini ada Kamus Sansekerta-Indonesia, anggaplah itu sebuah ilmu pengetahuan harus diapresiasi. Bagus sekali! Sama pentingnya dengan Bahasa Rusia, Papua New Guinea, Thai, Nepal dan lainnya jika diindonesiakan.

Hanya saja, jangan lupa sejarahnya. Bahwa kedatangan Sansekerta ke Indonesia karena migrasi orang-orang India Selatan yang berasimilasi dengan orang-orang Melayu dan Jawa, sejak abad ke 11. Bahkan dalam beberapa referensi menunjukkan Agama Hindu masuk ke Bali sejak 15 abad sebelum Masehi. Berarti ada zaman itu, India Kuno sudah memasuki 'Indonesia'.

Artinya, sejak dari situ mulai ada 'pengaruh' Bahasa Sansekerta ke dalam bahasa daerah kita. Makanya jangan heran, kata-kata seperti "Apem, sampurna, cipta, dwi, panca, prasasti" dan lain-lain, hingga nama-nama penghargaan yang banyak orang tidak paham artinya, semuanya diambil dari Bahasa Sansekerta Bahasa Sansekerta nota bene bukan milik kita. "Kalpataru, Adipura, Adiwiyata, Satya Wacana Dharmanusa, Satya Lancana Karya Satya, Upakarti" dan sebagainya itu diambil dari Sansekerta.

Sekali lagi, tanpa bermaksud merendahkan nilai istilah Sansekerta, lebih elok dan bijak apabila menggunakan istilah Bahasa Jawa saja, Bahasa Indonesia, atau Bahasa Inggris sekalian yang sama-sama produk luar namun dimengerti. Daripada selama ini kita gunakan Sansekerta, tetapi terkesan 'too Javanese', terlalu men-Jawa bagi orang-orang Indonesia secara nasional.

Terlalu fanatik kalau saya sebut 'diskriminasi'. Tetapi mendewakan 'Sansekerta' sepertinya kurang relevan untuk saat ini, bagi mayoritas warga Indonesia yang bukan orang Jawa. Jangankan orang Sumatera, Kalimantan, Sulawesi Bali, Nusa Tenggara dan Papua sana. Orang Jawa saja saat ini tidak mengerti artinya. 

Daripada 'Ghraha' mending gunakan kata "Omah, Rumah, atau Gedung" yang semua orang paham kan? Untuk apa maunya keren, tapi malah membuat banyak orang tidak paham.  

Jadi di mana nilai manfaat Sansekerta serta kontribusinya dalam kemajuan bangsa kita?
     
Malang, 11 August 2020
Ridha Afzal

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun