Tiga hari lalu, saat ke Kantor Pos, tepatnya ke bagian Western Union, saya diminta fotokopi KTP. Saya tidak punya. Kerepotan juga. Saya harus ke luar, berjalan sekitar 100 meter hanya untuk mencari toko yang menyediakan fasilitas fotokopi. Untungnya, di pusat kota kecamatan. Sehingga tidak sulit mencarinya. Saya perhatikan bukan saya saja yang diminta KTP.
Sebenarnya masalahnya bukan karena harus berjalan sepanjang 200 meter pulang pergi. Tetapi ini contoh aktivitas yang sia-sia. Saya harus buang waktu dan tenaga percuma hanya untuk sesuatu yang sangat sederhana.
Saya lihat untuk ambil duit kiriman pun, juga diminta KTP. Kirim barang pula tidak ketinggalan. Belum lagi urusan bayar pajak, memperpanjang STNK, SIM, dan urusan lain di hamper semua kantor pemerintah. tidak terkecuali kalau ditilang. Ternyata, fotokopi KTP sangat penting. Lembaran kertas kecil berukuran 7x9 cm ini sepertinya harus selalu ada ke manapun kita pergi.
Masalahnya, tidak ada tempat yang paling praktis bagi seorang pria di man menyimpannya, kecuali di dompet. Tidak mungkin KTP dan fotokopinya ditaruh di saku baju atau celana.
Asesori Wajib Pria
Zaman Fashion sekarang ini (maaf saya lebih suka menulis sesuai aslinya, "Fashion" daripada "Fesyen" diindonesiakan yang terkesan 'membajak'), asesori pakaian, bukan hanya monopoli kaum wanita. Kaum pria pun bisa kedodoran jika tidak memilikinya.
Penampilan zaman kini berpakaian 'modis' menjadi bagian dari kebutuhan. Maklumlah, terlalu banyak etika yang dituntut oleh masyarakat, seiring dengan perkembagan zaman. Etika email, berkomunikasi, etika duduk, telepon, bertamu, berpakaian, hingga cara berjalanpun, saat ini sudah ada kursus dan pelajarannya.
Takut akan sebutan kurang gaul, para designer tidak kalah ide. Sebetulnya, bukan hanya ada pada zaman sekarang saja. Sejak era Majapahit dulu pun, kaum pria sudah memilikinya. Kalau kita lihat Patung-patung Gajahmada misalnya, di mana-mana dia selalu mengenakan ikat pinggang, dompet dan sepatu. Hanya saja, bentuk dan modelnya yang berbeda.
Ikat pinggang nya sebagai contoh dilengkapi sedikit bagian terbuka untuk menyisipkan asesori lain seperti Belati, Pisau atau Pedang.
Di pelosok Kabupaten Ponorogo, desa-desa di perkampungan Madura, hingga Aceh, kaum pria usia tua, selalu mengenakan sabuk (ikat pinggang) berukuran besar karena dompet juga ada di sana. Built in Dompet barangkali istilah kerennya.Â
Sepatu pun Gajahmana punya model yang tidak kalah keren. Seperti sepatu-sepatu pada zaman Mesir Kuno atau Romawi. Modelnya terbuka. Selain alas kaki, dilengkapi dengan dua pasang tali yang mengikat antara jari-jari kaki dengan tungkai.
Bahan dasar ikat pinggang, dompet dan sepatu orang-orang kuno ini, umumnya kulit. Mereka bangga mengenakannya. Ini bisa kita lihat pada foto-foto pada zaman dulu atau buku-buku sejarah. Ternyata, kaum pria kuno juga mengenal fashion. Â
Dompet
Dompet merupakan bagian penting dari kebutuhan sehari-hari. Dompet menjadi bagian dari penampilan dan harga diri. Dompet juga menjadi bagian dari gengsi. Karena itu ada kaum pria yang sangat peduli dengan dompet ini. Memang tidak seperti kaum wanita terkait model, bentuk dan warnanya, tetapi dompet bisa menjadi perhatian utama saat kaum bapak-bapak ini shopping.
Bedanya dengan kaum wanita, dompet kaum pria berukuran lebih kecil dan tidak diperlihatkan. Meskipun tidak terlihat, bukan berarti murahan. Ada yang berjuta-juta Rupiah harganya. Warna favoritnya hitam dan cokelat. Hanya dua itu. Selebihnya, kalau ada warna lain, pada umumnya tidak populer.Â
Bahan dasar yang paling dicari adalah dari bahan kulit. Ada kulit sapi, kerbau, lapisan kulit ular, hingga buaya. Saya kurang tahu kalau ada dari kulit tumbuhan (?).
Lantaran ukuranya yang kecil inilah yang membuat kapasitas dompet sangat terbatas. Uang pun tidak bisa banyak. Yang dalam bentuk kertas, jika diisi dua puluh lembar, itu sudah penuh. Coin boleh juga, tapi hanya satu dua keeping. Sebaiknya dikurangi.
Punya dompet harus hati-hati. Tidak asal naruh. Tidak lucu kalau ada di saku baju bagian kiri atas, kecuali berjaket. Di celana pun, jangan sampai tereskpose, bisa gampang dicopet.Â
Selain itu, harus disisihkan untuk kepentingan dokumen lain, seperti KTP asli dan fotokopinya, ATM, Kartu Kredit, Kartu Tanda Anggota, Kartu Langganan buku, supermarket, service motor, SIM, STNK, pas foto 4x6, 3x4, Materei Rp 6000, dua tiga kartu nama serta Kartu NPWP.
Dokumen-dokumen tersebut  boleh dikata 'wajib' sifatnya jika anda tidak ingin keteteran. Itu pun, sudah cukup memadati tempat sebagai "Penduduk Tetap" dalam Dompet anda. Bahannya tidak harus kulit jika dirasakan mahal. Tapi saat ini banyak dompet harga murah. Apalagi jika diobral.Â
Di perusahaan-perusahaan pribadi, kerajinan kulit di Malang, yang seharga Rp 50 ribu sudah cukup bagus dari bahan kulit.
Dompet, diakui atau tidak, menjadi bagian dari performa kaum pria. Malu kan, jika saat harus merogoh dompet dan dilihat banyak, orang ternyata bahannya dari plastic, robek pula?
Â
Sabuk (Ikat Pinggang)
Bahasa Acehnya Kaloe Ki'ing. Sama dengan orang Jawa, Madura, Minang dan banyak lagi di negeri ini. Ikat pinggang bagian dari penampilan.Â
Beberapa pria tidak terlalu memperhatikan penggunaan ikat pinggang ini. Hanya saja, kaum pria harus paham, bahwa mengenakan ikat pinggang merupakan bagian dari etika berbusana. Gak lucu kan kalau celana mlorot karena kancingnya lepas, sementara ikat pinggang tidak ada?
Tugas dan fungsinya bukan hanya terbatas pada agar celana tidak mlorot. Bisa untuk tujuan tampil rapi, menyesuaikan antara baju dan celana, menambah wibawa, untuk tujuan keindahan, untuk gaya, menopang perut (maaf) yang 'mlorot' karena besar, hingga tujuan menyimpan 'barang'.
Di Aceh dulu, Kaloe Ki'ing ini merangkap fungsinya sebagai dompet. Warnanya bisa putih atau hijau. Saat ini, ikat pinggang besar jarang digunakan orang, kecuali orang tua, di pelosok seperti di Jawa Tengah dan Jawa Timur, yang merangkap fungsinya sebagai dompet.
Jamaah Umrah dan Haji masih mengenakan sabuk dalam ukuran besar karena tujuan ini. Yakni menyimpan dokumen, passport, buku kecil kumpulan do'a, duit, mungkin juga gunting kecil dan guntingan kuku. Kadangkala permen juga masuk. Asyik kan?
Zaman modern ini kaum pria tidak sedikit yang memiliki koleksi ikat pinggang. Warna dominannya hitam dan cokelat. Bahan dasar yang umum dari kulit. Ada juga yang imitasi. Kalau untuk Haji dan Umrah biasanya dari kain tebal.
Pernah mendengar pepatah,: "Kencangkan ikat pinggang"? Itu menandakan betapa penting artinya ikat pinggang bagi hidup kita. Ikat pinggang ternyata bukan hanya untuk tujuan mempercantik diri. Namun juga bisa untuk tujuan berpuisi.
Sepatu
Ini pokok bahasan yang paling keren, sepatu. Saya punya beberapa sepatu. Untuk menghadiri acara resmi atau formal seperti ngantor, untuk olah raga dan untuk main. Saat ini, tiga kriteria ini menjadi kebutuhan. Saya kadang ditegur teman karena saat mengikuti acara formal hanya mengenakan Sandal. Ini bukti bahwa Sepatu telah mengubah cara pandang orang.
Tidak seperti kaum Hawa, koleksi sepatu, warna dan model kaum Adam tidak banyak. Kecuali untuk artis. Gak lucu juga kalau bertamu menemui Pak Presiden, bapak-bapak mengenakan sepatu warna merah ata kuning menyala kan?
Tujuannya jelas untuk melindungi kaki secara utuh. Kalau zaman kerajaan Sultan Iskandar Muda dan Sriwijaya dulu banyak model-model sepatu pria yang kayak Perahu kecil. Lancip di bagian ujung kaki. Ada pernik-pernik mengkilat, warna-warni. Sepatu model ini masih ada di India. Saya bisa lihat di film-film mereka. Tapi orang kita lebih simple. Kecuali sepatu olahraga memang lebih variatif, baik warna, model dan bahan dasarnya.
Mungkin karena pengaruh zaman dan pergaulan, sepatu menjadi kebutuhan utama dalam penampilan. Kedudukannya melebihi peran Dompet dan Ikat pinggang. Barangkali posisinya atau letaknya yang 'menyolok', sepatu dipercaya sebagai bagian dari gambaran tingkat social ekonomi seseorang.
Dari bahan, model, merek, serta warnanya, orang akan tahu 'level' kita ada di mana. Sekalipun ada orang-orang kalangan The Have yang tidak mengenakan sepatu, katakan hanya Sandal sebagai penggantinya, orang lain tahu levelnya ada di mana. Pernah lihat Gus Dur yang hanya mengenakan Sandal? Atau Bob Sadino?
Kesimpulan
Tidak ada kewajiban bagi kita berpakaian hanya karena demi menyenangkan mata orang lain agar terlihat sedap pemandangannya. Akan tetapi tidak ada salahnya memahami etika suasana. Karena orang yang dianggap pandai menyesuaikan diri adalah yang tahu 'adat berpakaian'. Di zaman modern ini, adat dan adab berpakaian tidak bisa kita mengelak perannya.
Oleh karenanya, meskipun tidak harus dari bahan mahal dan bagus, memiliki dompet dan mengenakan Ikat pinggang serta sepatu, ada baiknya perlu kita perhatikan. Ini penting supaya jangan sampai kita jadi perhatian puluhan pasang mata, hanya karena celana mlorot lantaran tidak mengenakan ikat pinggang. Atau karena sepatu yang bolong, lupa menjahitnya.
Parah kan? Â
Malang, 27 Juli 2020
Ridha Afzal
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H