Mohon tunggu...
Ridha Afzal
Ridha Afzal Mohon Tunggu... Perawat - Occupational Health Nurse

If I can't change the world, I'll change the way I see it

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Gaji UMR, Gaya DPR

26 Juli 2020   09:35 Diperbarui: 27 Juli 2020   18:02 1162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gaya hidup boros (sumber: SHUTTERSTOCK via kompas.com)

"Anda kesulitan dalam masalah keuangan, kami hadir di sekitar anda. Pinjaman dana tanpa agunan bunga 2%/tahun minimal pinjaman Rp5 -- 500 juta. Anda minat siahkan chat di WA 08234****." 

Demikian isi SMS yang masuk HP saya tanggal 15 Juli 2020 lalu. Ini bukan pertama kali. Hampir sekali sepekan saya dapat pesan serupa. Nada menggoda bagi yang tidak kuat iman.

Triger

Di era modern ini, nada yang sama banyak ditawarkan oleh perusahaan jasa keuangan. Awalnya memang lunak, sangat sopan dan memikat. Begitu terjerat, baru tahu rasa. Dua tiga bulan pertama, mungkin tanpa masalah. Bulan-bulan berikutnya, bagi yang tidak berfikir panjang, bisa jadi bencana.

Saya pernah bertanya pada seorang Sales dari penyalur motor terkenal di Malang, tentang berapa persentase pengambil kredit dibanding yang bayar kontan. Jawabannya sungguh fantastis. Lebih dari 90% pelanggan, ambil kredit. Padahal tahu sendiri,bayar lewat system kredit itu mahal sekali.

Ambil kredit motor saat ini, sangat murah di awal. Ada yang tidak perlu bayar pada bulan pertama. Tidak butuh Down Paymen (DP). Dengan hanya Rp 800.000 di awal, kita bisa dapat motor dalam dua-tiga hari sesudah menyerahkan surat permohonan.

Angka itu jika dikalikan 3 tahun atau sejumlah Rp 800.000 x 36 = Rp 28.8 juta. Padahal jika kontan mencapai Rp 18 atau Rp 19 juta. Berarti kita harus bayar sekitar Rp 10 juta (lebih dari 50% harga jual). Karena tergiur dengan harga nyicil yang murah, kita tidak peduli. Demi penampilan, kadang kita rela menderita dalam jangka panjang.

Perusahaan jasa pinjaman dana sangat cerdik dalam membujuk. Misalnya tidak perlu slip gaji atau SHM, cukup BPKB atau KTP atau ada yang hanya Akte Kenal Lahir. 

Meski jumlah pinjamannya mungkin tidak besar, namun 'kemudahan' ini membuat orang 'tergiur' untuk mencari penjaman lagi dan lagi, guna memenuhi 'keinginan' bukan 'kebutuhan' yang mendesak.

Lingkungan

Teman-teman di kampus kami dulu, boleh dibilang 100% punya motor. Anak-anak sekarang, kalau gak punya motor, kurang keren. Bukan hanya motor. Pakaian juga tidak kalah soal pamer-pameran penampilan ini. 

Belum lagi tas, sepatu, sandal dan aneka asesori lainnya. Hand phone (HP) sangat menyolok. Seolah HP adalah bagian dari penampilan. Ganti-ganti HP menjadi gaya hidup. Yang agak sedikit 'gila' lagi, adalah mobil.

Kata Mamak saya, di jajaran guru, banyak staf yang baru saja diangkat, berstatus sebagai PNS, sudah ramai ditawari hutang oleh bank. Ada yang Cash berbentuk uang, ada yang mobil. 

Dengan pangkat golongan IIIA, Penata Muda, pikirnya dengan tampil keren akan membuat rasa percaya diri dan harga diri meningkat. Mereka tidak sadar, bahwa keinginan seperti ini tidak realistic. Masih banyak kebutuhan yang mestinya mendapatkan prioritas.

Sayangnya, pengaruh pergaulan di kantor, kolega, kerabat, bahkan kelompok pengajian, terkadang sangat kuat. Iman yang tidak tabah ini, jadi tergoda. Akibatnya, kita mulai ambil cicilan-cicilan yang kelihatan nominalnya kecil di awal. 

Ambil jilbab 3 kali angsuran seharga Rp 50.000 padahal kontannya Rp 75.000. Ambil baju seharga Rp 400 ribu, padahal kontannya Rp 173.000. Hingga ambil mobil yang kontannya Rp 100 juta, tapi karena ngangsur di bank, jatuhnya berkitar Rp 135 juta. Saat ditotal akhir bulan, jumlah cicilan bisa mencapai 50% dari gaji. Nah!!!  

Tetangga punya mobil, badan kita mriyang. Teman punya HP baru, kita pusing. Kerabat mengenakan pakaian model terkini, tubuh ini mulai gerah. 

Jadinya, hidup tidak tenang hanya karena melihat orang lain yang hidupnya happy, serba ada dan kelihatan tidak pernah kekurangan. Padahal aslinya ngempet, karena di awal bulan pusing mikirin bagaimana mengatur cicilan dan pengeluaran lannya.

Akhirnya, penghasilan yang mestinya cukup untuk sebulan, pada tanggal 10 sudah mulai klepak-klepak, karena tinggal sisa-sisa saja. 

Sementara, beberapa undangan harus dihadiri, ada selamatan keluarga, membeli bensin, service motor, bayar air listrik, keperluan pemeliharaan rumah yang tampak sepele, semua butuh dana lumayan besar. Belum lagi jika sakit medadak. Dari mana uang didapat?      

Kebutuhan dan Keinginan

Itulah kondisi konsumtif yang banyak menyerang masyarakat kita. Gaji masih UMR, ingin tampilnya kayak anggota DPR. Kalau ada dan cukup sih tidak masalah. Persoalannya, pemasukan dan pengeluaran ini tidak imbang. Lebih besar pasak dari pada tiang.  

"Motor baru, mobil baru, pakaian, sepatu dan tas baru, tapi nyicil alias ngangsur. Susah membedakan mana kebutuhan dan mana keinginan."

Budaya belanja saat ini menjadi penyakit moderen kronis masyarakat kita. Orang tidak lagi merasa puas hanya dengan memiliki satu sepatu atau satu sandal. Apalagi baju. 

Saat ini, harus seragam dan harus ada kesesuaian antara warna baju, tas, sepatu hingga perhiasan. Padahal, siapa yang mau lihat penampilan kita?

Dosen atau guru memang banyak yang hidupnya sederhana. Namun karena tidak 'kuat' dengan pengaruh lingkungan, lebih banyak lagi yang karena "malu", hidupnya dipaksa berubah. Motor baru, mobil baru, pakaian, sepatu dan tas baru, tapi nyicil alias ngangsur. Susah membedakan mana kebutuhan dan mana keinginan.  

Kiat Sederhana

Hidup jadi terasa menderita sebetulnya bukan karena orang lain. Akan tetapi karena kita yang tidak mampu mengendalikan diri. Sebetulnya sangat simple. 

Sepanjang tidak butuh, tidak perlu beli, agar barang-barang di rumah gak numpuk. Sepanjang belum ada rejeki, tidak perlu nyicil, kecuali sangat terpaksa dan itu adalah kebutuhan, misalnya rumah. Dari pada dipakai ngontrak, memang lebih baik dipakai untuk ngangsur.  

Prinsip hidup kayak gini penting, apalagi jika bayaran masih level UMR. Supaya jangan karena ingin tampil keren, terlihat kayak anggota DPR, padahal kenyataannya, status rumah saja, masih nebeng.  

Malang, 26 July 2020
Ridha Afzal

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun