Saya mulai tertarik mengetahui perkembangan Pekerja Migran Indonesia (PMI) sejak tahun 2014 lalu. Tepatnya saat mengikuti acara tahunan pertemuan Ikatan Lembaga Mahasiswa Ilmu Keperawatan Indonesia di Bali (ILMIKI). Waktu itu, terdapat presentasi tentang peluang, tantangan dan potensi perawat Indonesia ke luar negeri.
Dari sanalah fokus orientasi kerja saya adalah ke luar negeri. Dari Belanda, Jerman, Timur Tengah, Jepang, Australia dan Amerika Serikat, saya telusuri kisah-kisah mereka sebagai PMI. Berikut ini ringkasannya:
Waktu itu saya duduk di semester lima, di Aceh. Sambil giat belajar, saya hubungi puluhan PMI yang tinggal dan bekerja di berbagai negara, ingin mendapatkan masukan mereka.Â
Ternyata untuk bekerja di manca negara, tidak cukup hanya berbekal bahasa. Bahasa hanya sarana komunikasi. Sedangkan kerja tidak cukup hanya dapat berkomunikasi.
Calon PMI harus memiliki persiapan fisik, mental, keterampilan, pengalaman, dukungan keluarga dan kolega, serta sejumlah uang serta dokumen.
Persiapan fisik dibutuhkan karena kita di sana sebagai PMI akan bekerja dan harus sehat. Negara-negara seperti Jerman, Belanda, Jepang, Hongkong, Korea, menuntut stamina fisik yang luar biasa.
Menurut Pak Alex, senior PMI yang puluhan tahun kerja di Jerman, etos kerja orang Jerman itu 'gila-gilaan'. Kerja di Jerman jangan harap bisa ada kesempatan untuk duduk-duduk. Hal yang sama dikemukakan oleh Ibu Nunung di Swiss.
Persiapan mental juga tidak kalah pentingnya. Kita harus kuat mental. Tahan banting. Tidak lebay, terlalu berperasaan, atau gampang ngambek, seperti yang disampaikan oleh Mas Dharmawan Arief di Jepang.
Mas Arief yang bekerja sebagai Perawat di Jepang hampir lima belas tahun mengemukakan, teman-teman yang gak betahan, akan mampu bertahan paling banter 2 tahun. Sesudah itu pingin cepat balik ke kampungnya.
Masalah keterampilan sangat penting. Saat ini, menurut Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), tahun 2018 lalu terdapat 23.431 warga kita yang berangkat kerja ke luar negeri.
Tahun 2019 mengalami peningkatan menjadi 25.489 orang. Sementara tahun 2020 ini mengalami penurunan drastis, karena efek Corona Virus, hanya berjumlah 2347 sampai bulan April lalu.Â
Selama 2 tahun terakhir, mayoritas PMI bekerja sebagai Domestic Worker, diikuti Operator, Caregiver, Pekerja kasar, Pekerja Kebun, Teknisi serta Crane Operator. Inilah 7 jenis keterampilan yang banyak diminati. Â Â
Pengalaman umumnya menjadi syarat utama, walaupun beberapa tidak butuh karena mendapatkan pelatihan. Minimum pengalaman biasanya selama 2 tahun. Untuk tenaga Caregiver, umumnya tidak mensyaratkan pengalaman walaupun yang berpengalaman lebih disuka. Mengapa tidak terlalu disyaratkan pengalaman ini karena calon peserta biasanya ditempa melalui pelatihan selama kurang lebih 5-6 bulan.
Saya pernah mengunjungi sebuah perusahaan pengerah tenaga kerja ini di Malang. Tepatnya PT Mitra Sinergi Sukses yang ada di wilayah Buring, Kodya Malang.
Mereka memiliki berbagai fasilitas pelatihan terkait bahasa, caregiver dan teknisi. Mayoritas pesertanya ke wilayah Asia Pasifik. Kebanyakan cewek. Permintaan tenaga Caregiver saat ini yang paling banyak diminati ke Jepang, Hongkong, Singapore dan Jerman. Â
Untuk bekerja di luar negeri juga butuh dukungan keluarga dan kolega. Ini penting mengingat salah satu syarat yang dibutuhkan, selain ijazah, passport, surat pengalaman kerja, surat sehat, adalah Surat Izin Orangtua. Tanpa dokumen tersebut, tidak akan diberangkatkan.
Lebih dari itu, dukungan keluarga ini sekaligus sebagai dukungan moral penting guna menyemangati kerja.
Saya pernah mengetahui perawat kita cewek asal Sumatera Barat, yang hanya bertahan sebulan kerja di Saudi Arabia, karena tidak betah, kangen sama ibu dan neneknya.
Akibatnya, dia harus mengembalikan biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan selama proses pemberangkatan yang tidak kecil jumlahnya.
Kasus seperti ini tidak sedikit. Biasanya tidak hanya dukungan keluarga saja. Ada kombinasi dari sejumlah factor yang membuat PMI tidak drop out.
Bekal terakhir yang sangat penting adalah dana. Memang ada sejumlah PT yang 'tidak menarik' biaya. Biasanya berupa pinjaman lunak yang bisa dilunasi ketika sudah bekerja di sana nanti.
Menurut bapak Syaifoel Hardy, dari Indonesian Nursing Trainers (INT) yang memberikan pelatihan Soft Skills pada perawat atau bidan khususnya, rata-rata calon PMI diminta membayar biaya terjemahan dokumen dan medical check up. Biayanya berkisar 3-8 juta.
Tetapi ada juga biaya yang mahal, bisa sampai Rp 40 juta lebih. Ini karena melibatkan proses pelatihan yang berbulan-bulan lamanya. Untuk ke Jepang misalnya, biaya mahal karena pelatihan selama 5 bulan, jika termasuk makan dan pondokan, katakan Rp 3 juta per bulan, untuk pelatihan saja per kandidat harus membayar Rp 15 juta.Â
Belum termasuk terjemaan dokumen, pembuatan passport dan medical. Pelatihan Bahasa Jerman bisa sampai Rp 35 juta. Negara-negara seperti Malaysia, Singapore dan Timur Tengah umumnya tidak butuh pelatihan, akan tetapi butuh Bahasa Inggris sebagai syaratnya.
Yang Membuat Betah
Saya kenal Mas Zaenal, asal Jawa barat yang sudah 10 tahun lebih bekerja sebagai perawat di Belanda mengatakan, perbedaan budaya, suhu udara yang ekstrim, pola dan jenis makanan yang berbeda, serta kultur kerja, sangat berpengaruh terhadap betah tidaknya PMI di luar negeri.Â
Mas Zaenal bisa bertahan hingga lebih dari 10 tahun karena memang sudah nekad ke sana. Keluarganya diajak ke sana dan memiliki kerjaan sampingan berupa jualan makanan khas Indonesia yang didistribusikan kepada warga kita.
Betah tidaknya kerja di luar negeri ini lebih bersifat subyektif. Menurut Pak Amir di Kuwait yang sudah dua puluh tahun lebih bekerja di sebuah Government Hospital, kurang panas apa di Kuwait? Toh teman-teman ada juga yang betah.Â
Bukan hanya gaji saja yang membuat mereka mampu bertahan. Keteguhan hati, minat dari dalam diri, motivasi ingin memiliki nilai investasi dan siap menghadapi tantangan adalah  beberapa yang perlu dimiliki seorang PMI.
Hal yang sama dikemukakan oleh Pak Imam dalam sebuah acara Webinar tentang Kiat Sukses Kerja di Luar Negeri pekan silam. Kemauan untuk maju dan berkembang menjadi salah satu motivasinya.Â
Kalau Pak menurut Pak Sugeng asal Purbalingga yang ada di Qatar saat ini di perusahaan internasional Qatar Petroleum, menyampaikan motivasi dari dalam diri yang paling penting apabila ingin bertahan.Â
Kerja di Qatar misalnya, negara kecil, jarang tempat rekreasi, tidak mudah. Namun apabila tekadnya kuat, semuanya jadi biasa. Pak Sugeng menulis pengalamnnya dalam sebuah karyanya berjudul "Merantau ke Qatar".
Kalau menurut Mas Akhir Fakhrudin, banyak orang kita yang betah kerja di Saudi Arabia, karena kenyamanan dekat dengan Baitullah. Bisa menunaikan ibadah Umrah dan Haji berkali-kali misalnya, meskipun penghasilan sebenarnya tidak seberapa, akan tetapi bisa membuat orang kita puluhan tahun ada yang belum minat pulang. Â
Tantangan
Pak Arief, perawat asal Semarang yang saat ini berada di Texas-USA, mengatakan lain lagi. Tantangan itu selalu ada. Dia mulai berjuang dari nol di negeri Paman Sam. Tidak bisa langsung diterima bekerja sebagai perawat di hospital sana.Â
Prosedurnya tidak mudah. Dia harus bekerja agar punya penghasilan guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Dia kerja di restaurant cepat saji selama beberapa tahun. Budaya yang berbeda, iklim, etos kerja, bagi yang tidak siap, akan sengsara.
Demikian pula yang dikemukakan oleh Ibu Lilik, asal Lawang-Jatim yang ikut suaminya bekerja di USA. Ibu Lilik dulu lulusan SPK, suaminya bekerja di hotel sudah lebih dari 10 tahun.
Ibu Lilik mengisi waktunya dengan bekerja paruh waktu sebagai tenaga admin assistant di sebuah perusahaan di Texas. Tahun-tahun pertama sulit untuk menyesuaikan diri. Lambat laun akan tiba dengan sendirinya masa untuk betah.
Yang paling berat bagi rata-rata orang Indonesia adalah keluarga dan makanan. Komunitas kita tidak seperti orang-orang India, China da Filipina yang banyak ditemui di berbagai negara, sebagaimana dikatakan oleh mbak Tita Widya dari Melbourne, Australia dalam buku sebagai proyek nulis buku bareng, bertajuk "Perawat, Lebah Pekerja Mengagumkan".
Orang kita suka Bakso, Supermie, Rawon, Gulai dan aneka camilan ang tidak tersedia di negeri mereka bekerja. Makanya, tidak sedikit yang akhirnya memutuskan untuk sambil jualan makanan Indonesia seperti yang dilakukan oleh beberapa teman PMI di Qatar. Kang Gun Gun biasa menjual Bala-bala, Pisang Goreng dan Molen di Doha. Lumayan banyak yang pesan biasanya pada akhir pekan.
Singkatnya, tinggal dan bekerja di luar negeri itu gampang-gampang susah. Jangankan dalam waktu lama, tahunan. Untuk tinggal sementara, sepekan saja seperti yang pernah dialami oleh rekan saya Rijal Maulana asal Aceh yang mengikuti program Student Exchange di Korea, bisa bikin stress jika tidak pandai menyesuaikan diri.Â
Faktor besarnya penghasilan, dukungan keluarga, banyaknya teman, ada tidaknya komunitas, iklim, kenyamanan kerja dan kelancaran ibadah, semuanya saling berkaitan dalam menunjang kelancaran tinggal dan bekerja di negeri orang.
Bagaimanapun, 'Ibarat hujan batu di negeri sendiri lebih baik daripada hujan emas di negeri orang' sepertinya kini mulai tidak berlaku. Himpitan ekonomi dan tuntutan pemenuhan kebutuhan hidup tidak jarang membuat orang kita nekad untuk memutuskan hengkang kerja di negeri jiran.Â
Walaupun ada yang tidak betah, tidak sedikit yang berpedoman itu urusan nanti. Yang penting happy di akhir bulan dan bisa kirim uang buat keluarga sekaligus guna nambah devisa negara. Â
Malang, 21 July 2020
Ridha Afzal
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H