Mohon tunggu...
Ridha Afzal
Ridha Afzal Mohon Tunggu... Perawat - Occupational Health Nurse

If I can't change the world, I'll change the way I see it

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tuyul dan Penglaris Dagang Etnis Tionghoa, Antara Mitos dan Realita

19 Juli 2020   07:43 Diperbarui: 19 Juli 2020   07:45 3948
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pecinan Aceh. Sumber: Sketnews.com

Di daerah kami, Sigli, boleh dibilang tidak ada pendatang keturunan China atau Tionghoa. Saya pertama kali menemui komunitas mereka sesudah kuliah di Ibu Kota Provinsi Aceh, Banda Aceh. Di sana terdapat pemukiman khusus orang China yang bernama Peunayong.

Sebetulnya aneh juga, saya ini orang Aceh, tapi tidak banyak tahu tentang wilayah Aceh. Maklum, etnis Tionghoa tidak banyak jumlahnya di sana, tidak seperti di Jawa. Meskipun demikian, di Aceh terdapat juga sebuah organisasi khusus etnis Tionghoa di Aceh yang bernama Yayasan Hakka Aceh.

Peunayong merupakan salah satu pusat perdagangan di Kota Banda Aceh. Peunayong inilah yang juga dikenal dengan China Town-nya Aceh. Saya dengar, kata "Peunayong" berasal dari bahasa Aceh yang artinya "memayungi". Daerah ini dulunya dihuni beragam etnis.

Sebagai salah satu daerah tertua di Banda Aceh, dalam sejarahnya Peunayong didesain oleh Belanda sebagai Chinezen Kamp (tenda) atau Pecinan. 

Menurut Wikipedia, Peunayong dihuni warga Cina dari Suku Khe, Tio Chiu, Kong Hu, Hokkian dan sub-etnis lainnya. Kegiatan perdagangan di kawasan tersebut, cukup menonjol. Karena berdagang merupakan mata pencaharian utama suku Cina, yang umumnya tumbuh di lingkungan pusat bisnis.

Pesugihan Orang Tionghoa
Kami orang Aceh tahu, pedagang China rata-rata hidupnya jauh lebih baik dari pada mayoritas orang Aceh. Mungkin ada yang tidak "kaya", tetapi kehidupan sosial ekonominya lebih baik dari kami.

Walaupun saya sebetulnya tidak terlalu percaya dengan klenik, ilmu pesugihan, penglaris dan sejenisnya, kami orang Aceh banyak yang masih percaya dengan 'Ilmu Hitam' ini. Terutama di wilayah Aceh Selatan.

Pertanyaannya adalah, mengapa orang-orang Tionghoa ini bisa "cepat" berhasil, kaya dan bisnisnya gampang berkembang? Ada yang bilang mereka pelihara Tuyul. Ada lagi yang menggunakan Ilmu Pesugihan. Ada pula yang bilang mereka gunakan Klenik Penglaris.

Pecinan Aceh. Sumber: Sketnews.com
Pecinan Aceh. Sumber: Sketnews.com
Rasa ingin tahu saya lebih besar lagi ketika datang ke Jawa. Di Malang, tempat saya tinggal sementara saat ini, ada juga Pecinan, yakni tempat di mana banyak orang China berdagang. Jauh lebih banyak jumlahnya dari pada orang Tionghoa di Peunayong.

Di Jawa, lebih kental dan lebih deras rumor tentang Pesugihan ini. Setidaknya itu yang saya dengar dari Pak Jumain. Seorang Tukang Pijat yang kadang diminta datang ke rumah tempat saya tinggal. Beliau asal Gunung Kawi, sebuah tempat yang katanya sebagai tempat terkenal mencari Pesugihan.

Apa benar orang-orang Tionghoa ini memelihara Tuyul, memburu Ilmu Pesugihan/Penglaris, atau karena kerja keras yang membuat mereka berhasil dalam bisnis atau dagangnya?    

Pesugihan Orang China
Dari beberapa referensi yang saya abaca, "Pesugihan" adalah suatu cara untuk memperoleh kekayaan secara cepat tanpa harus bekerja keras. 

Praktik pesugihan dapat dilakukan dengan beragam cara. Ada yang bilang, pesugihan adalah satu dari sembilan pintu setan yang mengorbankan orang-orang terdekat pelaku untuk dijadikan tumbal kepada setan atau sesembahan. Saya setengah percaya dan setengah tidak, karena ada beberapa bukti yang saya memang pernah lihat.

Kita harus akui, nafsu ingin kaya dalam waktu singkat di antara masyarakat kita membuat seseorang kadang khilaf dan mencari jalan pintas, masih kuat. Ke Gunung Kawi seperti yang disampaikan oleh Pak Jumain di atas misalnya. Tradisi ini sudah puluhan tahun tidak juga hilang di tengah kehidupan era digital.

Masyarakat meminta kekayaan kepada mahluk gaib, adalah contohnya. Di Jawa saya lihat praktik pesugihan ini meski tidak 'marak' banget, dipercaya masih ada dan sering dipakai. Buktinya, Gunung Kawi juga tetap ramai dikunjungi orang pada Bulan Suro, sebulan sesudah Hari Raya Idul Adha.

Dalam prosesnya, pesugihan ini dipercaya sebagai bentuk kerjasama perjanjian antara manusia sebagai pelaku pesugihan dengan makhluk gaib, jin, atau siluman. Ngeri juga......

Gunung Kawi
Sebetulnya beberapa kali saya melewati jalan menuju Gunung Kawi dari arah Malang menuju Blitar. Sayangnya saya tidak pernah mampir langsung ke sana. 

Jarak dari kota Malang ke Gunung Kawi sekitar 80 km. Dari kecamatan Kepanjen, sekitar 60 km, arah selatan kemudian ke arah barat. Jujur saja, saya tidak terlalu tertarik. Takut kaya mendadak. Ha..ha...ha.......

Daerahnya cukup cantik, menawan karena area pegunungan. Saya tahu di sepanjang perjalanan Kepanjen banyak orang jualan aneka sayur dan Ketela Rambat yang dikenal dengan Telo Gunung Kawi. 

Kata Pak Jumain, Gunung Kawi terkenal karena mitos pesugihannya itu. Di sana banyak gerombolan calo yang menanti di atas motor Ojek. Mereka akan memburu tamu-tamunya. Mereka cukup agresif mengejar tamu yang nampak belum berpengawal.

Gunung Kawi. Sumber: Okenews.com
Gunung Kawi. Sumber: Okenews.com

Saat ini agak sepi karena Covid-19. Sekitar dua jam perjalanan membelah tebing berliku sebelum sampai ke lokasi parkir kendaraan bermotor. Kawi merupakan salah satu gunung favorit di Pulau Jawa bagi orang-orang yang ingin meraup kekayaan dengan melakoni ritual tertentu.

Dari paparan Pak Jumain, sebetulnya mitos yang berkembang tentang Gunung Kawi ini terlalu dibesar-besarkan oleh orang-orang, baik pendatang maupun yang memburu bisnis di sana. Penjaganya sendiri menolak pendapat bahwa Gunung Kawi bisa membuat orang bebas dari kemiskinan.

Sayangnya mereka yang membuka bisnis di sana (pondokan, restaurant, warung makanan dan asesori lain), sudah terlanjur melekatkan predikat ini. Sehingga aroma Pesugihan sangat kental. Misalnya ada Pohon Dewandaru yang bila kita kejatuhan daunnya, bisa bebas dari kemiskinan. 

Akibatnya, selalu ada gerombolan orang-orang yang berdiri di bawahnya, ada yang sampai 3 hari lamanya, menunggu jatuhnya daun ini. Mereka menjual paket dari Rp 75 ribu hingga jutaan harganya.

Di sana terdapat Klenteng, ada Lilin Raksana Dewi Kwan Im yang dibangun oleh seorang keturunan Tionghoa yang berubah nasibnya. Lilin raksana ini seharga Rp 50 juta. Ini semua merupakan daya tarik pengunjung.

Rata-rata pengunjungnya orang Jawa dan Tionghoa. Ada yang memang untuk tujuan mencari pesugihan, ada yang sekedar rekreasi dan ingin tahu. Kata Pak Jumain, kalau untuk mencari kekayaan bisa lewat Gunung Kawi, mengapa orang Gunung Kawi sendiri tidak memanfaatkannya, sehingga tidak perlu Ngojek atau jualan Ketela Rambat? Benar juga ya?  

Tuyul dan Ciri-ciri Pesugihan
Memang repot. Tidak percaya ini ada, kalau percaya koq tidak masuk akal. Mbak Ratna, keponakan dari Landlord saya tinggal, pernah beberapa kali kehilangan lembaran Rp 100.000 di rumahnya. Anak-anaknya masih kecil dan tidak mungkin mengambil. Ada pembantu Part Time job juga tidak mungkin, katanya. Dia tidak sendirian. Beberapa ibu-ibu di kompeks perumahannya mengemukakan hal yang sama.

Ada yang bilang mencegah Tuyul ini bisa dengan jalan menaruh Al Quran di lemari di mana duitnya di simpan. Ada juga yang bilang menaruh rambut di dompet. Kepercayaan ini tidak hilang hingga sekarang. Tidak hanya kalangan orang Jawa. Kata Ibu Santi, di antara pemukiman orang-orang Madura di daerah Asembagus-Situbondo, Jawa Timur, juga ada. Hanya tidak spesifik apakah ditujukan untuk etis China atau orang Jawa.    
Menurut Muhammad Alpian dalam Sonara (2020), terdapat beberapa ciri Pesugihan. Di antaranya adalah ada penampakan. Beberapa penampakan yang sering muncul di sekitar rumah pelaku pesugihan bisa berupa hewan-hewan atau bahkan wanita cantik dengan pakaian jaman dulu serta makhluk lelembut lainnnya yang tak kalah menyeramkan. 

Penampakan itu sering dilihat oleh siapa saja, baik orang yang sedang lewat di rumah itu atau tetangga sekitar. Hi..hi.hi.....ngeri juga....

Ada pula yang dalam bentuk wangi-wangian aneh. Rumah yang memiliki wangi-wangian yang baunya membuat suasana rumah terasa mencekam dan menakutkan disinyalir sebagai rumah pelaku pesugihan. Ada lagi yang berupa rumah mewah yang kelihatan angker. Ini bisa dilihat dari ciri fisik yang bisa berupa bentuk rumahnya yang tampak mewah dari luar dan berbeda dengan rumah-rumah di sekelilingnya. 

Mungkin kayak rumah-rumah gaya Eropa kuno barangkali, menjulang tapi menyeramkan. Saya akui memang ada bangunan seperti ini di Jawa. Orang kadang merasa takut hanya dengan melihatnya.

Ada pula yang percaya, adanya ruangan rahasia dalam rumah. Ruangan ini biasanya hanya penghuni dan orang-orang tertentu saja yang mendapatkan akses masuk. Orang lain seperti tamu tak diperkenankan masuk ke dalam ruangan tersebut. Konon ruangan ini digunakan untuk ritual pesugihan atau menyimpan syarat-syarat dari ritual pesugihan itu sendiri. Wallahu a'lam.

Tidak jarang orang percaya berupa benda-benda pernik yang tampak tak wajar seperti patung yang ada di sudut rumah, di tengah kolam, keris, lukisan dan sejenisnya yang diletakkan di ruangan biasanya menandakan pelaku pesugihan. Believe it or not, patung atau lukisan ini pada waktu-waktu tertentu dipercaya sebagai simbol yang mewakili dari apa yang dia sembah dalam pesugihan.

Realita
Terlepas dari benar tidaknya adanya Tuyul dan klenik Pesugihan di antara orang Tionghoa, sebetulnya yang perlu dikaji adalah karakteristik orang Tiongoa dalam berdagang atau bisnis. Harus diakui bahwa orang China ini ulet. Mereka tidak gampang menyerah. Mereka juga hemat, tidak suka menghambur-hamburkan uang untuk kepentingan yang tidak perlu.

Saya pernah ke tempat rekreasi dan bareng dengan sekelompok orang Tionghoa. Saya lihat mereka mengenakan pakaian, sandal atau sepatu murahan. Tidak seperti orang kita yang ingin kelihatan 'Wah', padahal aslinya tidak punya. Mereka juga sederhana hidupnya, tidak membeli barang-barang hiasan yang tidak bermanfaat.

Orang China hanya menyekolahkan anak-anaknya yang pintar. Yang tidak pintar disuruh kerja, berdagang. Orang kita, semua disekolahkan. Yang IQ nya biasa saja kita sekolahkan ke kampus mahal. Ujung-ujungnya nganggur. Prinsip ini tidak dainut oleh orang Tionghoa.

Dalam bisnis dagang, mereka milih keuntungan kecil tapi konsisten. Mereka juga jujur, disiplin, tepat waktu. Kiat ini dicintai oleh orang-orang kita. Hasilnya, orang kita sendiri yang lebih suka berbelanja ke toko-toko mereka, walaupun tidak mengedepankan keindahan atau excellent cutomer service. 

Orang Tionghoa dalam berdagang tidak suka macam-macam, pelayannya saja, termasuk orang mereka sendiri, tidak jarang mengenakan Daster atau Celana Pendek. Tidak peduli. Orang kita pun juga tidak peduli juga dengan penampilan mereka. Yang penting harga murah.

Jadi, realitanya, sekali lagi, mungin ada sebagian dari mereka yang percaya klenik ini, karena memang banyaknya yang berkunjung ke Gunung Kawi, terutama saat krisis ekonomi atau Bulan Suro dua bulan lagi. 

Hanya saja, harus diakui karakteristik bisnis orang Tionghoa. Mereka merupakan pedagang ulet, disiplin, hemat, jujur, murah dan tidak mengutamakan penampilan.

Ada yang mau menambahkan?  

Malang, 19 July 2020
Ridha Afzal

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun