Awal tahun 1980-an, Universitas Terbuka (UT) lahir. Kemudian muncul pro dan kontra. Yang pro beralasan bahwa tidak semua mahasiswa bisa mengikuti perkuliahan dengan tatap muka.Â
Khususnya yang sudah bekerja, atau karena kendala lokasi serta transportasi. Yang kontra menganggap bahwa metode pembelajaran seperti ini tidak efektif. Kualitas hasil belajarnya rendah. Yang tatap muka saja tidak dijamin mutunya, apalagi yang terbuka sifatnya.
Bagaimanapun, program ini, karena milik Pemerintah, dengan dukungan dana serta regulasi yang mapan, jalan terus. Fakultas dan jurusan UT tambah tahun tambah banyak. Berkembang dan makin bagus.Â
Terlepas dari kualitas yang menuai pro-kontra, jebolan UT bisa bekerja nyaman jadi PNS dan pangkat serta golongan pun diakui, sejajar dengan kampus negeri lainnya.
Para jebolan UT juga menikmati fasilitas ini. Biaya kuliah murah, waktu belajar fleksibel serta nyaman proses belajar mengajarnya. Lulusan UT tidak pernah mencantumkan dalam gelarnya bagaimana cara belajarnya dengan online atau offline. Mereka juga tidak ditanya belajar di mana. Yang penting ada gelar. Itu sudah lebih dari cukup.
Apalagi, di Indonesia ini, masih edan dengan gelar. Tidak sedikit masyarakat asal kuliah, yang penting lulus dan dapat gelar. Kualitas itu nomer tiga.
Empat puluh tahun berlalu sudah. Kini, sesudah zaman dulu orang-orang meragukan kualitas hasil belajar mengajar Online atau Jarak Jauh, kini mereka terpaksa disuruh 'menelan' pahit getirnnya belajar online ini.
Guru Tambah Sibuk
Kedua orangtua kami guru. Kami tinggal di sebuah desa kecil di Kecamatan Sakti, Kabupaten Sigli, sekitar 3 jam perjalanan dari Banda Aceh ke arah utara, menuju Medan. Di Sigli, minim pendatang dari luar Aceh. Tidak seperti di Jawa tempat saya tinggal saat ini, Malang. Selain padat penduduk, pendatang dari luar provinsi cukup banyak.
Saya dulu sekolah SD dan SMP di Kecamatan Sakti. Kondisinya  memang tidak sebagus sekarang yang banyak berbenah. Apalagi jika melihat dari dekat sekolah-sekolah SD di Jawa. Kami jauh tertinggal masalah fasilitas ini. Sarana dan prasarana kami sangat minim. Satu lagi, tidak mengenal istilah belajar "Online".
Kita tahu Aceh merupakan salah satu dari 10 provinsi termiskin di Indonesia. Paling miskin di Sumatera. Delapan dari 10 orang Aceh tinggal di pedesaan. Jadi bisa dibayangkan bagaimana kondisi mereka.Â
Alhamdulillah, keluarga kami tergolong sangat beruntung, dari keluarga guru, PNS. Sementara mayoritas masyarakat di sekitar kondisinya beda. Bisa juga dibayangkan bagaimana situasi mereka saat Tsunama dulu.
Bapak mengajar di Kecamatan Mila. Ibu saya mengajar di Kecamatan Sakti. Kira-kira sekitar 10 kilometer dari rumah kami. Jalan-jalan di sana, meskipun lumayan bagus kondisinya, tapi masih sepi. Maklum, pedesaan. Jumlah siswa di sekolah tempat Ibu mengajar, sangat minim.Â
Bahkan tidak lebih dari 100 siswa satu sekolah. Ditambah lagi fasilitas yang kurang, Misalnya, tidak ada kamar mandi, perpustakaan miskin buku, tidak ada pagar. Jadi, jangankan bicara soal Teknologi Informasi. Usaha Kesehatan Sekolah saja, tidak ada. Sungguh miris.
Tablet Jadi Mainan Cucu
Pemerintah melalui Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan sebetulnya sudah sangat bermurah hati dalam hal upaya peningkatan kualitas pendidikan kita agar tidak tertinggal dengan negara-negara maju. Kami, para guru, diberi Tablet, demi kepentingan kelancaran proses belajar mengajar.
Bagus sekali, kami sangat mengapresasi. Masalahnya, tidak semua lokasi sekolah dan juga gurunya ini seperti di Jobotabek. Yang di luar Jawa utamanya. Khususnya daerah-daerah terpencil da tertinggal. Belum lagi usia guru-guru yang sudah memasuki masa pension, tidak update IT.
Â
Kata Ibu saya, tidak sedikit guru yang belum paham dengan bagaimana menggunakan teknologi baru ini. Tablet-tablet yang dibagikan oleh Dinas Dikbud ini tidak jarang bukan berada di tangan mereka. Malah digunakan sebagai mainan oleh cucu-cucunya. Â
Meski demikian, kesibukan mereka tidak kalah dengan yang di kota. IBu saya sampai kuwalahan atur waktu untuk bikin laporan. Saya sering diminta membantu meyelesaikannya.Â
Maklumlah, sekolah kecil, minim staf, sarana dan prasarana, tugas-tugas pelaporan yang banyak ini begi beliau sangat menyita waktu belum lagi yang namanya meeting-meeting. Â Â
Tidak Ada Jaringan Internet
Siapa sih yang tidak suka dengan tinggal di rumah dan dapat duit? Tapi guru-guru yang jiwa dan hatinya sudah mendarah-daging untuk mengabdikan diri demi pendidikan anak-anak bangsa ini, sangat sedih dengan kondisi yang ada. Masalahnya, aturan Pemerintah tidak mengizinkan mengajar, tatap muka langsung secara fisik dengan murid. Saat ini, aturannya mengiplementasi Pengajaran Daring. Bagus! Â Tapi Aceh ini kan bukan Jakarta?
Jadi, jangankan internet dan WA. HP saja mereka banyak yang tidak punya. Mereka tidak memiliki fasilitas sebagaimana anak-anak kota yang dalam sarana dan prasarana hidupnya ada di dunia moderen. Kalaupun ada yang memiliki HP, tidak ada fasilitas internet atau WA nya yang memadai.
Solusinya, tidak jarang Ibu saya harus keliling dari satu rumah ke rumah lain, untuk menemui murid dan orangtua mereka di Aceh Utara. Sekolah seperti libur. Tapi guru-guru hidup tidak tenang mikirin anak-anak kampun yang tidak tahu bagaimana nasibnya di masa depan jika kondisi seperti ini berkelanjutan.
Siapa yang sekolah?
Tahun Ajaran Baru 2020 dimulai. Namun belum masalah status Corona belum jelas. Di banyak tempat belum sepenuhnya pulih normal. Pemerintah masih memberlakukan kebijakan pembelajaran dengan metode Daring di semua sekolah. Â
Di beberapa kelas tempat Ibu saya ngajar, jumlah muridnya sangat minim. Ada yang tidak sampai 10 orang. Di setiap pergantian tahun ajaran seperti ini, tidak jarang Ibu harus keliling dari rumah ke rumah, mencari murid. Jadi, kalaupun bisa jalan terus, degan protocol kesehatan seperti ini, Ibu saya yag menjabat sebagai Kepala Sekolah tidak habis mikir, dana untuk protocol ini bagaimana.Â
Meskipun tidak ada kasus Coroa di tempat kami, status hijau, nanti disaahkan jika tidak: cuci tangan, mengenakan masker, dan jaga jarak. Sementara semua itu butuh duit kan?
Kalaupun sekolahnya diiming-iming gratis, tidak gampang menarik minat masyarakat Kampung Cot untuk menyekolahkan anaknya di SD Negeri. Beberapa anggota keluarga yang agak mampu, mengirimkan anaknya ke sekolah di kota kecamatan. Sedikit jauh, namun mereka lalukan.Â
Nah, ibu-ibu guru ini keliling dari rumah ke rumah hanya untuk 'membujuk' para orangtua menyekolahkan anaknya di SD Cot ini. Â
Pada tahun Ajaran Baru 2020 ini tentu saja tidak mudah menarik minat mereka. Terlebih jika fasilitas, sarana dan prasarana sekolah kurang.Â
Saat ini, Era New Normal, sekolah-sekolah diharapkan memiliki berbagai fisilitas yang harus memenuhi kriteria Protokol Kesehatan. Sekolah seperti SD Cot ini pastinya mengalami kesulitan bagaimana bisa mendapatkan dana guna memenuhi kebutuhan Protokol New Normal bagi murid-murid SD Cot.
Yang paling penting lagi adalah, di saat seperti ini, bukan hanya murid-murid yang repot. Orangtua juga repot. Mereka bukan hanya harus belajar ilmu baru, bagaimana menggunakan HP, WA, Zoom meeting dan lain-lain. Mereka harus beradaptasi dengan kesibukan baru ini yang membuat mereka kadang kuwalahan karena padatnya acara.Â
Iya kalau hanya satu anak, barangkai tidak seberapa. Lha kalau anaknya 3 orang, semuanya duduk di bangku SD, yang sekolah ini sebetulnya siapa?
Malang, 14 July 2020
Ridha Afzal Â