Mohon tunggu...
Ridha Afzal
Ridha Afzal Mohon Tunggu... Perawat - Occupational Health Nurse

If I can't change the world, I'll change the way I see it

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama FEATURED

Bidan Indonesia, Profesi di Persimpangan Jalan

11 Juli 2020   06:54 Diperbarui: 24 Juni 2021   07:09 6091
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perawat membuat pelindung wajah atau ''Face Shield (KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG)

Awal tahun 1980, program Pendidikan Bidan di Indonesia "berakhir". Pemerintah mendirikan pendidikan baru, yang merupakan gabungan dari pendidikan keperawatan klinis Rumah Sakit, Kebidanan dan Masyarakat, yang dikenal dengan nama Sekolah Perawat Kesehatan (SPK). 

Sejak berdirinya SPK ini, seluruh program pendidikan keperawatan seperti Sekolah Pengatur Rawat (SPR) A dan B tutup, termasuk Pendidikan Bidan digabung, mereka gabung jadi satu.

Maksud Pemerintah bagus, yaitu efektivitas dan efisiensi pendidikan keperawatan. Kurikulumya cukup menantang, programnya padat, mata kuliah untuk pendidikan yang selevel SMA ini mencapai hampir 50 buah. Praktik lapangan program SPK luar biasa dinamis dan boleh disebut, kelemahannya, tidak fokus. 

Rumah Sakit masuk, masyarakat ikut, kebidanan juga masuk. Praktik di rumah sakit dimulai pada bulan ketiga pendidikan. Demikian pula praktik di masyarakat. Praktik yang mengarah ke jurusan kebidanan dimulai pada bulan ke enam. Untuk bisa lulus SPK, target menolong persalinan harus 10 minimal untuk cowok dan 20 untuk cewek waktu itu.

Era SPK ini merupakan era integras pendidikan keperawatan yang menurut kami sebagai awal permulaan yang cukup bagus sebagai masa awal berkembangnya pendidikan keperawatan Indonesia. Nampaknya, program ini menuai pro dan kontra. SPK berakhir sesudah berjalan sekitar 20 tahun lamanya. SPK dihapus kemudian dig anti dengan Diploma III yang pendidikan dasarnya SMA. Pamor SPK pun meredup.

Dari sini, entah trigger nya dari mana. mungkin karena hasil pendidikan SPK yang praktik di bangsal kebidanan dirasa kurang 'pas', dibanding lulusan pendidikan Bidan, kemudian muncul Program Diploma I Kebidanan.

Dari sinilah awal terjadiya 'konflik'. Dari sini kemudian lahir Program Pendidikan Diploma III Kebidanan, Program Diploma IV, hingga Sarjana dan Pasca Sarjana Kebidanan. Dari sinilah kemudian muncul berbagai pendapat simpang siur tentang masa depan Program Pendidikan Keperawata dan Kebidanan di Indonesia.

Ratusan kampus kebidanan yang ada di Indonesia. Ibaratnya, di mana ada program keperawatan, di situ ada program kebidanan. Kami tidak tahu apakah ini bagian dari visi misi pendidikan atau ajang bisnis.

Ini bukannya tanpa masalah. Berdirinya program pendidikan bidan memang berdampak positif dengan adanya Program Bidan Desa misalnya. Kita tahu jumlah desa yang ada di Indonesia sebanyak 83.931.

Bila rata-rata per tahun lulusan pendidikan bidan mencapai katakan 25.000 dari sekitar 500 lebih lembaga pendidikan kebidanan yang ada, berarti dalam waktu 3-5 tahun, akan tercapai. Selebihya akan ke mana para lulusan bidan ini?

Sementara, jumlah kebutuhan tenaga Bidan di rumah sakit tidak lebih dari 10% dari kebutuhan tenaga perawatnya. Dalam kondisi emergensi, perawat bisa melakukan tindakan kebidanan. Namun bidan tidak memiliki kompetensi keperawatan secara umum. 

Walaupun 'bisa' secara individual, namun bidan tidak disebut memiliki kewenangan secara professional di bidang keperawatan. Karena itu wajar, jika di manapun di rumah sakit, klinik, balai kesehatan, ketika ada pasien baru, yang mereka cari atau tanyakan adalah perawat. "Mana perawatnya?" Bukan "Mana bidan nya?"

Source: Mom.com
Source: Mom.com

Maraknya program akreditasi akhir-akhir ini membuat bidan banyak yang 'bingung'. Mereka menghadapi situasi yang dilematis. Dalam proses penilaian akreditasi dan sertifikasi baik di rumah sakit, klinik dan balai kesehatan, bidan harus berada di dalam bangsal 'kebidanan' sesuai ijazahnya. Akibatnya, ribuan bidan yang bekerja di klinik, perawatan anak, ICU, Kamar Operasi, IGD, bayi dan lain-lain terancam 'kehilangan pekerjaan'. 

Padahal mereka sudah bekerja ada yang lebih dari 10 tahu di sana. Bidan dianggap tidak bekerja sesuai kompetensinya. Pihak rumah sakit tidak punya pilihan. Akhirnya ada yang ditempatkan di area yang tidak sesuai harapan bidan. Ada yang di administrasi, laundry atau bagian sterilisasi instrument.

Permintaan tenaga kesehatan dari luar negeri, rata-rata perawat. Bukan bidan. Sekalipun bidan di Indonesia bisa mengerjakan tugas keperawatan, namun karena ijazahnya tertulis 'Bidan', maka ditolak. Akibatnya, para Bidan yang ingin kerja di luar negeri (Jerman, Belanda, Jepang, Saudi Arabia, Kuwait, Qatar, UAE,dll) ini mengalami kesulitan besar dalam perolehan kerja di mancanegara.

Masalah lain, sejumlah kampus memiliki program pasca sarjana, jurusan Ilmu Keperawatan Maternitas. Disipplin ilmu ini merupakan bagian dari Ilmu Keperawatan spesialisasi. Maternitas mempelajari segala sesuatu yang berhubungan dengan 'mother', ibu, kebidanan. Bukan bayi dan anak. Bayi dan Anak ada spesialisasinya tersendiri.

Munculnya jenjang pendidikan spesialisasi ini otomatis mejadi 'saingan Bidan'. Semua orang tahu Bidan hanya punya keterampilan satu area. Sedangkan perawat maternitas jauh lebih luas area kerjanya. Perawat Materinitas bisa bekerja di mana saja termasuk Kamar Bersalin, Ginekologi, bayi, anak, OK, dan lain-lain.

Sementara Bidan hanya di Ruang Bersalin dan Ginekologi atau klinik kebidanan.Bidang boleh jadi mengklaim area kompetensinya mencakup Bayi, Anak, penyakit kandungan, imunisasi, KB dan sejenisnya. 

Ilmu yang sama dipelajari bahkan di keperawatan umum. Tidak terkecuali keperawatan maternitas ini. Lulusan Keperawatan Maternitas yang membuka praktik, area praktiknya jauh lebih besar ketimbang kebidanan.

Harus diakui pula, area disiplin 'keilmuan' kebidanan hanya sebatas panggul. Bahkan tidak sampai ke lutut. Dalam dunia kedokteran, mempelajari ilmu ini disebut 'spesialisasi'. Progam spesialisasi itu seharusnya dimulai dari program umum.

Program kebidanan jika dimulai dari keperawatan umum sudah sepatutnya disebut pendidikan keperawatan. Karena Profesi yang hanya mengurusi 'panggul' dan organ yang ada di dalamnya, dalam sudut pandang ilmu keperawatan, harus memahami konsep secara keperawatan keseluruhan tubuh manusia, baru merawat panggul dan isinya.

Pertanyaannya adalah sebenarnya Bidan ini profesi sendiri atau bagian dari Keperawatan? 

Kita terlanjur 'membesarkan' sesuatu yang kurang pada tempatnya. Profesi Keperawatan memiliki spesialisasi lebih dari 100 jenis di USA, termasuk kebidaan atau maternitas. Kebidanan, diakui atau tidak, disiplin ilmunya berawal dari prinsip merawat manusia secara umum. Bukan  langsung 'membidani' manusia. 

Bidan adalah bagian dari jurusan ilmu keperawatan, sebagaimana ilmu-ilmu keperawatan spesialis lainnya, seperti ICU, Kanker, Anak, Bedah, perawat OHN, Hemodialisis dan lain-lain.

Karena itu, berkembangnya program pendidikan kebidanan di Indonesia bisa menuai 'potensi' bermasalah. Baik dari segi dasar-dasar disiplin ilmu, kemungkinan pengembangan profesi serta masa depan perolehan kerja. Andai saja bidan Indoesia memahami 'kekurangan' ini, maka ribuan bidan akan bis diselamatkan masa depannya. Dan itu sangat menguntungkan bidan itu sendiri. Mereka tetap punya predikat 'Bidan'. Registrasinya sebagai perawat Spesialis Kebidanan. Bisa praktik mendiri, bisa pula ke luar negeri.

Bagi dunia keperawatan, sebenarnya sangat sederhana dalam menangani koflik yang dialami jurusan kebidanan ini. Kebidanan bisa menghadapi kesulitan dalam mengatur dirinya sendiri. Karena dari awalnya saja sudah 'salah'. Tidak ada jurusan pendidikan kesehatan yang begitu Bidan mengklaim sebagai professional yang pendidikannya langsung spesialis. 

Jika ini dianggap benar, mengapa jangka waktu pedidikan spesialisnya melebihi seorang doktor? Diploma III (3 tahun), S1 (4 tahun), S2 (2 tahun). Apa yang membedakan Bidan lulusan D3, S1 dan S2? Jika ketiganya disebut sebagai spesialis? Hanya untuk belajar merawat panggul bidan butuh lebih dari 6 tahun pendidikannya spesilisnya. Kecuali lulusan S2 kebidanan mengantongi predikat Sub-spesialis.

Solusinya masalah ini adalah, pendidikan kebidanan mestinya dijadikan sebagai bagian dari jurusan ilmu keperawatan spesialis. Alangkah eloknya jika masuk ke area 'maternitas'. Perawat maternitas memilki kompetensi sama dengan bidan. 

Pemerintah, dalam hal ini Kementrian Kesehatan mestinya menyadari. Kemenkes hendaknya tidak hanya sekedar menyetujui berdirinya program-program, tapi kurang jeli dalam melihat potensi konflik internal antara sesama profesinal kesehatan.

Di sini pentingnya peran Pemerintah yang harus tegas (Kemenkes dan Kemenristekdikti), agar masyarakat tidak terombang-ambing dalam ketidak-pastian. Tidak ada yang jadi korban kecuali kita sendiri, masyarakat yang sudah mengenyam pendidikan yang sejatinya direstui oleh Pemerintah, terkait izin pendirian serta kurikulumnya.

Namun demikian, semuanya juga berpulang pada kemauan bidan-bidan Indonesia. Seandainya bidan-bidan di Indoesia tidak rela dengan konsep 'merger' bersama profesi keperawatan, ya monggo silahkan. Bidan punya hak untuk memilih. Akan tetapi jangan lupa, bahwa tuntutan dunia kerja saat ini beda. Jangan sampai bisanya asal milih tanpa milah, berakibat hidup tambah susah.

Malang, 11 July 2020
Ridha Afzal

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun