Mohon tunggu...
Ridha Afzal
Ridha Afzal Mohon Tunggu... Perawat - Occupational Health Nurse

If I can't change the world, I'll change the way I see it

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Inilah Akibat Longgarnya Pengawasan Penanaman Modal Asing (PMA)

1 Juli 2020   05:41 Diperbarui: 1 Juli 2020   05:45 291
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kelebihan PMA ini di antaranya sifatnya jangka panjang, memberikan andil dalam transfer of technology, alih keterampilan manajemen dan membuka lapangan kerja baru (Wikipedia Indonesia, 2020). Lapangan kerja ini sangat penting bagi negara seperti Indonesia, yang disebut sebagai negara berkembang, mengingat keterbatasan kita dalam penyediaan lapangan kerja.

Yang menjadi masalah adalah, persoalan transfer of knowledge and technology. Contoh yang sangat sederhana, plastic pembungkus botol infus, alat suntik dan alat infus yang diproduksi oleh PT Otsuka. Masak Indonesia tidak mampu membuatnya?

Belum lagi cairan infus, Pocari Sweat (minuman kemasan) produk mereka. Selama 40 tahun, sebenarnya apa yang kita pelajari dari PMA Jepang ini, ibaratnya bikin botol saja kita tidak bisa? Lantar transfer of technology mana yang kita pelajari dari mereka?

Padahal, jumlah RS di Indonesia mengalami pertumbuhan terus, tahun 2018 terdapat 2.269 unit (Databoks, 2020). Jumlah Puskesmas ada 9.993 unit pada tahun 2018 (Databoks, 2020). Jumlah fasilitas pelayanan kesehatan awal tahun 2019 mencapai 28.000 unit. Berapa jumlah pasien yang butuh infus, injeksi dan sejenisnya dari bisnis ini?

Seharusnya Pemerintah tegas. Dalam hal ini, pada MOU nya (Memorandum of Undertstanding) dicantumkan secara spesifik terkait transfer of tehncology. Apa, kapan, di mana, siapa, berapa dan bagaimana mekanisme transfer of knowledge and technology itu.

Jangan PMA bisanya hanya menggaji dan mempekerjakan orang kita, di tanah di kita, bahan dari kita, menjual produknya di kita, tetapi orang Indonesia tidak belajar apa-apa kecuali dibayar sebagai pekerja. Dari pihak kita harus proaktif, bukan pasif. Kita jangan cepat puas karena sudah dapat uang.  

Saya jadi heran dengan pengambil kebijakan di negeri ini dalam bernegosiasi dengan PMA. Kalau mereka tidak bersedia, mestinya tidak masalah. Pasti ada negara lain yang bersedia. Namanya juga bisnis, antar negara. Rakyat harus mendapatkan prioritas sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 Alinea ke-4.

Kita memang sudah tidak dijajah oleh Jepang, namun bentuk PMA seperti ini tidak ubahnya merupakan 'penjajahan gaya baru'. Bukan hanya perusahaan Jepang. Juga pakan ternak dari Korea, Amerika, kosmetika dari Jerman dan lain-lain.

Peluang Kerja
Saat ini PMA sudah banyak yang pintar untuk 'mengakali' orang kita. Dengan cara outsourcing tenaga kesehatan (perawat dan dokter) sebagai contoh. Kebijakan seperti ini tentu menguntungkan mereka. PMA tidak perlu repot-repot seleksi karyawan baru, bayar gaji dan tunjangan tiap bulan, urus asuransi mereka, serta cuti dan tetek bengek lainnya.

Dengan model outsourcing ini, manajemen PMA diuntungkan. Padahal sebagaimana yang disebut di atas, kompetensi perawat atau dokter perusahaan beda jauh dengan kompetensi perawat umum atau dokter umum.

Mempekerjakan perawat/dokter umum di perusahaan tanpa kompetensi yang sesuai adalah bentuk tidak diberlakukannya pemeliharaan kesehatan kerja yang maksimal. Sekalipun di atas kertas bisa dipertanggungjawabkan, namun pada kenyataannya sangat beda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun