Konon katanya, orang Jawa itu halus. Kurang lebih lima kali saya ikut seminar keperawatan di Jawa. Saya tidak tahu persis apakah pesertanya murni orang Jawa atau ada yang dari luar Jawa. Yang jelas dalam seminar tersebut saya perhatikan ramai sekali, terutama suara kaum Hawa.Â
Memang, acara belum dimulai, kayak pasar atau temu alumni aja. Kesan saya ambyar tentang orang Jawa yang katanya kalem, bicaranya pelan dan menjunjung tinggi sopan-santun.
Saya bandingkan dengan orang Aceh, dalam forum yang sama. Bahkan yang berkomentar tentang orang Aceh ini bukan saya, namun orang Jawa yang sedang ikut ke sana. Beliau malah jadi pembicara saat ke Aceh. Bilangnya, orang Aceh ini sopan sekali. Orang Aceh sepertinya begitu hati-hati dalam berbicara. Terutama kamu Hawa. Dalam seminarnya, sebelum acara dimulai, terkesan tertib, katanya.
Apa yang saya sampaikan di atas, dari dua scenario yang ada, orang memiliki persepsi yang berbeda tentang dua suku yang berbeda. Kesan saya terhadap orang Jawa, ada yang menangkap sebagai kritik, tetapi ada yang menganggapnya seperti ujaran kebencian. Apalagi omongan saya tidak didukung data. Pendapat saya tidak akurat, subyektif pula.
Padahal bukan itu maksud saya. Maksud saya hanya ingin melukiskan fenomena social budaya, tanpa ada maksud mengkritik apalagi membenci orang Jawa.
Mengkritik dan membenci, memang beda tipis. Terlebih suasana batin orang yang menilai. Suasana psikologis orang yang kita ajak bicara atau yang sedang membaca tulisan kita misalnya, sangat subyektik terhadap penilaiannya. Baik yang terlalu gembira ataupun yang terlalu susah, akan membuat keputusannya tidak bakal obyektif.
Saya pernah bertemu dengan orang Pakistan, India, Filipina, Malaysia dan Sigapore. Mereka terlihat sangat terbuka dari gaya bicaranya. Orang Pakistan dan India terkesan lebih longgar. Mereka akan bilang apa adanya teradap apa yang dilihat dan dirasakan. Orang Filipina, Malaysia dan Singapore yang boleh dikata 'serumpun', cenderung agak 'hati-hati' jika berkomentar, khususnya keturunan Melayu. Orang Filipina sedikit lebih fair, walaupun nampak sekali 'ketimurannya'.
Kondisinya beda halnya dengan teman-teman saya yang berasal dari Indonesia Timur. Dari suaranya saja, orang mengerti bahwa mereka lebih terbuka dan suka 'berterus-terang'. Tidak seperti orang Jawa mungkin yang nampak 'hati-hati' sekali dan 'bersembunyi'. Orang Flores, Timor, Sulawesi, Ambon dan Papua, secara tradisional bersuara 'lantang'.
Teman-teman dari Indonesia Timur suka berbicara keras, terus terang jika tidak suka, tetapi bukan berarti 'benci'. Marah pun, kadang dianggap biasa. Dalam kehidupan sehari-hari mereka sudah terbiasa 'berteriak'.Â
Sebenarnya, kehidupan orang-orang di Sumatera Barat juga demikian. Jarak rumah satu dan rumah lain yang cukup jauh, bisa menjadi salah satu factor mengapa mereka kalau bicara normal harus 'berteriak'. Perangai orang Batak juga demikian. Mereka aslinya memang begitu, bersuara keras, dan suka akan keterus-terangan.
Bagaimana dengan perbedaan antara Kritik dan Benci ini?
Saya pernah menjumpai kasus, seorang perawat senior, sebut saja Mr. Jo namanya. Orang asli NTT. Mr. Jo ini, betapapun lama tinggal dan bekerja di Jawa, temperamen nya tidak hilang. Semua orang tahu tentang ini. Makanya jika dalam setiap pertemuan beliau hadir, orang tidak kaget.
Permasalahnnya, zaman sekarang ini zaman Online. Terkadang apa yang orang bicarakan itu beda dengan bahasa tulisan. Yang biasa-biasa saja di dunia maya, terasa keras di dunia nyata. Padahal, jika diutarakan, kedengarannya biasa saja. Itulah namanya interpretasi yang berbeda.
Nah, Mr. Jo yang aktif dalam organisasi profesi ini memang dari awal suka ngomongnya koar-koar, membentak sudah biasa dan bicara lantang juga bukan hal yang baru bagi rekan-rekan yang mengenalnya. Ketika kebiasaan ini dibawa ke dunia maya, sosmed orang bilang, reaksi yang berdatangan muncul.
Akibatnya bisa diduga. Kritikan-kritikan yang dia biasa lontarkan, ditanggapi berbeda. Danggap menyerang individu dan sangat pedas isinya. Tidak dipungkiri ada orang-orang yang memang memiliki cara pandang berbeda dalam menafsirkan apa yang Mr. Jo sampaikan. Singkat cerita, kasusnya diangkat ke meja hijau. Dianggap mencemarkan nama baik.
Sangat disayangkan, karena kritik-kritik yang sebetulnya membangun yang beliau sampaikan, Â ditangkap berbeda artinya oleh orang lain. Mr. Jo kini harus meringkuk di balik jeruji besi. Mr. Jo diputuskan oleh pengadilan bersalah, dan dihukum setahun penjara.
Pelajaran yang ingin saya sampaikan adalah, kita perlu hati-hati dalam mengekspresikan kritikan, terutama jika di dunia maya atau di social media. Orang saat ini banyak yang pintar memutarbalikkan fakta. Jangan karena maksud kritikan kita baik, diartikan sebagai ujaran kebencian yang sifatnya pribadi.
Orang yang tidak paham dan berfikiran sempit, tidak mampu membedakan mana kritik dan mana benci. Makanya, sebelum menulis di medsos, ada baiknya mikir dulu. Jika tidak, saya kuatir, akan menambah jumlah penghuni Hotel Prodeo.
Malang, 29 June 2020
Ridha Afzal
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H