Hidup bagi sementara orang dianggap tidak adil. Di tempat kerja, ada orang-orang yang bebannya sedikit, bayarannya besar. Sedangkan yang kerjanya berat, gajinya kecil. Namun karena tidak ada pilihan, mereka seringkali dihadapkan pada situasi di mana tidak bisa berkutik. Tidak mampu berbuat banyak, kecuali bertahan dengan apa yang ada.
Saya kenal seorang guru, tengah baya, biasa kami ketemu di masjid. Mengajar Olahraga. Di samping mengajar, juga membari Les privat. Mengajar di SMK tidak jauh dari rumah. Statusnya honor. Dari namanya saja, honorer, semua orang paham, pasti beda perlakuan yang diterima dengan pegawai tetap di instansi Pemerintah.Â
Mulai dari besarnya gaji, jam ngajar, beban kerja hingga insentif lainnya jika ada. menjadi pegawai honor, utamanya di instansi pemerintah, katanya harus siap-siap mendapatkan perlakuan beda. Itulah konsekuensinya. Pak Guru Olahraga ini, 4 bulan terakhir 'sepi' proyeknya. Ngajar tidak, les privat juga kagak.
Pengalaman senada diakui oleh seorang teman perawat. Guru dan perawat ini senasib sepertinya. Sebut saja mbak Tri namanya. Bekerja di sebuah rumah sakit, lebih dari 10 tahun sudah dengan status sebagai tenaga honor. Kalau di sekolah, mungkin tidak seberapa secara fisik beban kerjanya. Di rumah sakit, sangat beda. Kerja perawat itu itu berat. Makanya bagi yang tidak merasa dapat panggilan jiwa, sangat tersiksa.
Dinas di RS misalnya, tidak gampang. Apalagi jika bertugas di unit keperawatan penyakit Dalam dan Bedah, geriatric, gawat darurat. Bisa pontang-panting, bolang-baling. Pasien-pasien dengan komplikasi, usia tua, tidak mampu jalan, bisa bikin tenaga perawat terkuras. Dengan beban dan volume kerja yang demikian, jangan tanya bagaimana derita pegawai honornya. Pokoknya, jangan pernah tanya. Bisa nangis sebelum kisahnya selesai.
Â
Saking capeknya, seharian suntuk kalaupun digunakan untuk tidur sesudah pulang dinas, kayaknya belum cukup untuk melunasinya. Saat dinas pagi pun, pegawai dengan status honor ini, harus siap sebagai 'tenaga suruhan umum'. Artinya, mereka yang statusnya sebagai pegawai tetap, konon, sering kali mentang-mentang. Mungkin terkesan menjeneralisasi. Akan tetapi rata-rata demikian pengakuan teman-teman honorer.
Status pegawai honor, tidak lebih beruntung dari mahasiswa praktik. Kalau mahasiswa masih bisa berdalih. Mahasiswa, karena merasa 'bayar' saat praktik, bisa 'menghindar' saat disuruh ini atau itu oleh sang pegawai tetap. Namun tidak demikian bagi hononer ini. Walaupun mungkin tidak semua mengalami nasib yang sama. Nasib pegawai honor mirip anak tiri.
Maklumlah, honorer. Tidak jarang instansi butuh tenaga kerja seperti ini, karena beban kerja terlalu banyak. Tenaga kerja yang ada, tidak atau belum mencukupi. Sementara anggaran dan formasi belum ada. Salah satu solusinya adalah mengangkat pegawai honor, harian atau tenaga tidak tetap. Tidak ada jalan lain
Â
Hanya saja tidak semua Pemerintah Daerah mengizinkan pengangkatan status pegawai honor ini. Saat ini tidak atau belum ada keseragaman suara terkait boleh tidaknya pengangkatan pegawai dengan status honor di sebuah instansi atau lembaga.
Sedihnya, pegawai honorer ini kadang berharap terlalu jauh atau berlebihan. Bulan demi bulan, tahun demi tahun mereka mimpi ada formasi untuk bisa diangkat menjadi pegawai tetap daerah atau pusat (Baca: PNS).Â
Tidak sedikit yang pada akhirnya menelan pil pahit. Artinya, impian hanya sebatas impian. Tidak pernah menjadi kenyataan. Sepuluh tahun lebih sudah dialaminya, penghasilan masih tetap tidak berubah. Tidak lebih dari 30% dari penghasilan PNS yang diterimanya. Honor sebesar ini hanya cukup untuk beli bensin dan makan. Itupun sudah cukup lumayan.
Ada yang lebih mengenaskan nasibnya. Honor yang diterima, karena tidak ada anggaran, ternyata mereka dapat dari hasil 'iuran' belas kasih para PNS di bangsal tempat kerja. Setiap pegawai tetap PNS diminta uluran tangannya, menyumbang para tenaga honor. Kasihan....
Selama Corona ini, sangat terasa bedanya. Bagi guru honor, tidak ada Panen Raya. Penerimaan siswa baru, ujian dan wisuda adalah masa-masa yang dianggap memberikan pemasukan tambahan. Boleh dikata sebagai masa Panen Raya. Tahun ini tidak ada. Kalaupun ada income tambahan, mungkin sedikit ada dari penerimaan siswa baru. Tapi jumlahnya minim banget.Â
Tahu sendiri, kali ini ujian online, wisuda juga online. Nyaris tidak ada penghasilan tambahan. Jika yang statusnya sebagai pegawai tetap saja 'kering', apalagi yang honorer. Bisa 'memilukan'.
Perawat di rumah sakit juga mengeluhkan hal yang sama. Selama masa Covid-19 ini, pasien-pasien di rumah sakit pada sepi. Maklumlah, ada aturan baru 'ekstra ketat' prosedur masuk rumah sakit. Mereka yang berkunjung ke bagian emergency misalnya, sangat selektif. Hanya yang benar-benar 'parah' yang dirawat. Akibatnya, bisa dipahami. Pemasukan rumah sakit berkurang dratsis. Kata mbak Tri, bisa 50%. Sementara pengeluaran rumah sakit bertambah.
Bertambahnya pengeluaran RS ini misalnya berupa penyediaan Alat Pelindung Diri, hand sanitizer, sarung tangan dan seterusnya. Pengeluaran ini bisa jadi berlipat-lipat kebutuhannya, melebihi dulu 'saat' normal. Itu belum terhitung pengeluaran lain seperti kertas, banner, kantong plastic, tempat penyimpanan cairan dll. Kelihatannya kecil dan sepele. Namun jika dikumpulkan dan dikalikan selama beberapa bulan, HRD bisa 'pingsan' ngitungnya.
Bagi yang paham, akan bisa menerima mengapa di saat Corona ini karyawan honorer akhirnya tidak menerima insentif, pegawai tetap juga hanya dapat sedikit.
Memang, ada pegawai honor yang kreatif. Mereka punya aktivitas tambahan yang memberikan pemasukan ekstra. Teman senior saya, mbak Tatik misalnya, memberikan layanan homecare, perawatan luka, bahkan melayani khitan. Ada juga yang sambil jualan online. Artinya, tidak berharap hanya dari satu sumber penghasilan yang tidak menentu sifatnya.
Dari dulu hingga sekarang, sepertinya nasib tenaga honor tidak pernah berubah. Hal ini karena sumber dananya tidak bisa rutin diharapkan datangnya. Sebenarnya mereka di tempat kerja yang berstatus sebagai tenaga tetap (PNS) banyak yang mengerti akan kondisinya. Namun mereka tidak mampu berbuat apa-apa.
Instansi, pemerintah daerah, hingga pusat, juga menyadatari fenomenanya. Persoalannya, semuanya punya keterbatasan, baik kapasitas hingga dananya. Oleh sebab itu, cara terbaik adalah berpulang pada tenaga honorer itu sendiri. Misalnya bagaimana agar tenaga honor ini bisa memperkaya keterampilan, kreativitas serta inovasi individualnya.
Tenaga honorer harus pintar-pintar mengatur waktu, tenaga dan fikiran untuk bisa bekerja esktra di luar yang dikerjakan sekarang. Tenaga honorer juga perlu memperluas wawasan serta jaringan agar bisa memasarkan 'produk' jika itu berupa barang atau jasa. Tenaga honorer harus membuang jauh rasa gengsi atau keuntungan yang dianggap 'kecil'.
Dua hal terakhir yang saya sebut ini seringkali dianggap remeh. Asal tahu formulanya, tenaga Honor tidak seperti film horror, yang sadis dan mengerikan.
Malang, 22 June 2020
Ridha Afzal
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H