Mohon tunggu...
Ridha Afzal
Ridha Afzal Mohon Tunggu... Perawat - Occupational Health Nurse

If I can't change the world, I'll change the way I see it

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Kuliah, Ujian, Wisuda, dan Kerja Online, Zaman Apa Ini?

19 Juni 2020   08:21 Diperbarui: 19 Juni 2020   16:22 775
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Jadi bagaimana masa depan belajar, sekolah, ujian, pelatihan, wisuda, hingga kerja online ini? Karena tidak semuanya bisa di-online-kan." 

Mau curhat? Tidak juga. Saya maunya yang realistis saja. Saya tidak suka angan-angan dan impian seperti yang biasa dikemukakan oleh para motivator. 

Motivator saja, tidak ada yang hidupnya langsung enak. Mereka pasti pernah ngalami hidup susah. Predikat 'motivator' diperoleh sesudah nempuh perjalanan jauh. Kita yang telat dengar ceritanya. Yang kita tahu, sesudah mereka berhasil, kini enak hidupnya.

Supermie instant saja, harus dimasak dulu kalau mau makan. Bahkan mie instant yang enak, perlu nanak air dua kali kalau ingin kandungan Lilin dalam supermie hilang.

Air mendidih yang pertama dibuang, kemudian harus nanak air lagi. Kalau mau lebih lezat lagi dikasih telur, sedikit sayur Sawi serta cabe, bila mau nambah rasa pedasnya.

Intinya, hidup tidak ada yang enak-enakan kalau mau berhasil. Kayak naik sepeda lah. Harus dipancal jika ingin seimbang dan tetap jalan. Jika diam, jatuh. Alias mati.

Kini zaman sudah berubah. Sayangnya, kita sadarnya terlambat. Maklum, sudah jadi budaya. Ketika Corona mewabah, baru nyadar. Cuci tangan saja, baru sekarang melek, bahwa penyakit bisa menular jika tangan kotor. Kita sering lambat cara mikirnya. Tidak heran human development index (IDP) kita rendah, di urutan 111 dari 189 negara di dunia (UNDP, 2019). 

Kita kalah sama negara-negara tetangga yang "kecil-kecil". Pesimis? Gak sih. Ini cambuk dan kita sepantasnya refleksi diri, bahwa masih banyak PR yang harus dikerjakan. Utamanya sistem pendidikan.

Semula orang-orang, khususnya akademisi sendiri tidak memiliki pendapat yang sama. Tidak sedikit yang terlalu realistis cara pandangnya. Mereka menganggap belajar online itu nonsense, tidak bermutu. Lulusan kampus online, diragukan kualitasnya. 

Anehnya, ada Universitas Terbuka. Padahal di Australia, akhir tahun 1990-an sudah ramai sistemnya, serta diakui di dunia. Kata 'Online' mulai dikenal dunia pada tahun 1959 (Merriam Webster, 2020).

Di negeri kita, repot. Di satu sisi, kita didukung belajar online, jarak jauh. Di sisi lain hasilnya tidak diakui eksistensinya. Akibatnya, orang yang belajar Online atau jarak jauh jadi maju mundur, ada yang takut. Takut tidak diakui ijazahnya. Terutama yang bercita-cita jadi PNS, jadi dosen atau yang kerja ngikut orang lain.

Jangankan belajar online, yang kemudian diterjemahkan jadi daring. Yang belajar on campus saja, sekalipun yang memberi dan mengeluarkan izin Pemerintah, masih juga diragukan kualitasnya. Kita sering lebih mengutamakan status registrasi kampus dari pada hasil dari rasa percaya diri dalam hal belajar.

Alhasil, orang berbondong-bondong kuliah di kampus terkenal dan mahal daripada giat belajar di kampus mana saja, yang penting ada esensi kuliahnya. 

Orang kita lebih suka sampul dari pada isi. Memang, harus diakui bahwa ada kampus-kampus kondang berkualitas, menghasilkan lulusan berkualitas pula. Tetapi jangan lupa, kampus yang berkualitas biasanya mendapatkan mahasiswa yang sejak awalnya sudah berkualitas lewat seleksi alam.

Bagaimana dari awal disebut berkualitas? Seleksi mahasiswanya alam, dosennya pintar-pintar, dibiayai negara dan didukung fasilitasnya dari pemerintah.

Jadi bagaimana tidak berkualitas? Ibaratnya, saking pintarnya mahasiswanya, khususnya kampus negeri, tanpa diajar pun, mahasiswa bisa belajar sendiri. 

Tanpa ada kuliah pun, mahasiswa bisa mandiri. Cukup dikasih materi saja, tidak perlu dipecut, mahasiwanya bisa lari. Sangat beda dengan swasta yang semuanya dengan biaya sendiri.

Ketika Covid-19 mewabah, kalau mau jujur, tidak semua orang kita kaget. Ada yang bahkan dari kalangan kampus menyikapinya biasa-biasa aja. Mengapa? Karena tidak sedikit  mahasiswa yang mampu belajar mandiri. Malah ada yang tidak suka ketemu dosen. 

Ada yang karena ngajarnya gak bagus, dosen cerewet, terlalu bertele-tele kalau ngajar, hingga yang monoton serta membosakan. Mahasiswa model begini, lebih suka diam dan belajar di rumah daripada repot-repot ke kampus. Buang waktu, tenaga dan uang katanya.

Nah, ketika ada wabah Corona merebak, tidak semuanya menyambut dengan rasa 'duka'. Saya tidak punya statistiknya. Tapi pasti ada yang 'senang'. Corona membawa hikmah, katanya. Para mahasiswa, siswa-siswa SMA, SMP ini tidak perlu repot keluar ongkos ke sekolah, ke kampus. Pikirnya, toh akan lulus atau diluluskan juga. Ikut kuliah online, tidak masalah.

Kita ngerti kata 'Online', itu bukan milik kita. Bukan pula hasil temuan orang Indonesia. Anehnya, dengan istilah tersebut dengan gampangnya kita 'mengindonesiakan'. 

Padahal istilah itu nyata milik orang lain. Tidak sedikit istilah-istilah lain yang kita jug berusaha mencari dalam Bahasa Indonesia, dengan alasan 'cinta Bahasa Indonesia'. Alasan ini, tidak mendidik. 

Milik orang lain, harusnya diakui tetap sebagai milik orang lain. Biarlah begitu, sebagaimana aslinya. Kata 'Online', biar tetap 'Online' tidak perlu diterjemahkan. Inilah contoh sepele yang bikin kita repot, tidak maju dalam memahami 'hak cipta'.

Jadi bagaimana masa depan belajar, sekolah, ujian, pelatihan, wisuda hingga kerja online ini? Kita punya pekerjaan besar dalam mensosialisasikan konsep ini di masyarakat. Karena tidak semuanya bisa di-online-kan. Materi-materi pembelajaran pendidikan vokasi misalnya, tidak pas jika online. 

Materinya lebih banyak butuh bimbingan dan arahan langsung dari tutor atau pembimbingnya. Terutama jika ada kaitan dengan problem solving. Makanya harus ada definisi yang jelas. Batasan yang jelas.

Materi pembelajaran seperti automobile, listrik, bangunan, tata boga, kesehatan, perhotelan dan lain-lain, berat jika online. Kecuali di jenjang pendidikan yang lebih tinggi misalnya pasca sarjana yang sudah mengantongi basic (dasar) nya. Sebagai contoh jurusan keperawatan. Di tingkat Diploma 3 sudah mempelajari dasar-dasar ilmu keperawatan. 

Di Australia, lulusan program Diploma Keperawatan ini bisa ambil Online Learning untuk program sarjana atau S2 nya. Hanya saja masih terbatas jurusannya. Di kita, belum memiliki sistem ini.

Tantangan terbesar dalam menghadapi Online Learning ini adalah kesiapan mental kita. Kita belum memiliki kesamaan persepsi tentang kualitas online learning yang harusnya sejajar dengan on campus learning. Saat ini, kita 'dipaksa' untuk menerima kenyataan. 

Mau atau tidak, setuju atau tidak, kita harus sadar akan kenyataan, bahwa lulusan pendidikan Online, sama kualitasnya dengan pendidikan normal sebelum adanya wabah Corona. Jika tidak, Bapak Menteri Pendidikan pasti 'marah'.

Ketidak-siapan kita menghadapi membudayanya kebutuhan online learning ini sebagai bukti perlunya jurusan Futuristic dalam kurikulum pendidikan kita. 

Artinya, jurusan pendidikan yang ada hubungannya dengan masa depan. Ini penting, agar tidak kaget lagi jika menemui fenomena kehidupan yang mirip Corona ini, di waktu yang akan datang.

Malang, 19 June 2020
Ridha Afzal    

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun