Mohon tunggu...
Ridha Afzal
Ridha Afzal Mohon Tunggu... Perawat - Occupational Health Nurse

If I can't change the world, I'll change the way I see it

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Mengukur Cinta Kita pada Bahasa Inggris

31 Mei 2020   05:58 Diperbarui: 31 Mei 2020   06:15 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Memasuki sebuah Mall terkenal di kota Malang, sekitar 90% nama-nama outlet/toko-toko yang ada, semua menggunakan Bahasa Inggris. Orang tidak mengenal artinya, tak masalah. Bisa dimengerti, karena 'mall' itu sendiri berasal dari Bahasa Inggris.

Bahasa Inggris, Nampak lebih keren. Sebelum masuk Mall pun, kita sudah disuguhi rentetan iklan yang rata-rata berbahasa Inggris. Ironisnya, kalau kita ngomong Bahasa Inggris, dikira 'sok' keinggrisan.  

Lima bulan lalu, atau sekitar 3 bulan sebelum 'berhentinya' aktivitas sekolah karena Corona, di desa kami dibuka kursus Bahasa Inggris 'Gratis'. Hanya untuk 10 anak-anak usia SMP dan SMA. Kursus ini diberikan sebagai bentuk kepedulian kepada masyarakat yang kurang mampu namun minatnya tinggi untuk belajar Bahasa Inggris. Hasilnya? Hanya 8 anak yag daftar.

Dari dua scenario di atas, terdapat kontradiksi. Di satu sisi, masyarakat kita menganggap bahwa dengan mengunakan Bahasa Inggris, kehidupan dan gaya hidup terlihat lebih 'keren'. 

Di sisi lain, antusias untuk mempelajarinya tidak begitu menggembirakan. Meskipun tidak bayar, minim peminat. Artinya, motivasi belajar Bahasa Inggris belum sampai pada tingkat kebutuhan. Bahasa Inggris belum kita jadikan sebagai suatu kebutuhan yang membuat kualitas hidup menjadi lebih baik, meskipun kenyataan membuktikan bahwa Bahasa  Inggris dibutuhkan di hampir semua lini kehidupan.

Apa yang tidak mendapat sentuhan Bahasa Inggris dalam kehidupan ini? Ekonomi, politik, sosial, pertahanan, keamanan, kesehatan, kimia, fisika, biologi, geografi, matematika, fisika, computer, teknik, pertanian, peternakan, kehutanan, kelautan, penerbangan, geologi hingga elektronik. Semuanya tidak bisa lepas dari peran Bahasa Inggris.

Bahkan belajar agama pun kalau berangkat Umrah atau Haji, kita butuh Bahasa Inggris. Minimal saat di kantor imigrasi dan dalam pesawat dan komunikasi antara bangsa di Makkah. Bukan Bahasa Arab.

Semua orang tidak pernah menyangsikan betapa penting dan bermanfaat penguasaan Bahasa Inggris, di sekolah, bisnis, pekerjaan, masyarakat hingga pergaulan internasional.

Ironis memang. Waktu kami sekolah di bangku SMP, yang menyukai Bahasa Inggris hanya sekitar 10%. Selebihnya, yang penting dapat nilai baik atau minimal lulus. Jarang sekali yang serius mempelajarinya.

Faktor pengajar sangat penting. Pengajar yang kurang menarik dalam membawakannya, tidak bakal mendapat simpati dari muridnya. Teman-teman rata-rata belajar hanya karena takut nilainya jatuh.

Bahasa Inggris hanya dipelajari sebatas sebagai ilmu pengetahuan kemudian mendapatkan nilai, titik. Bahasa Inggris tidak dipelajari sebagai bagian dari keterampilan yang harus dikuasai seperti halnya saat belajar keterampilan perangkat 'keras' lainnya. Misalnya keterampilan elektronik, pertukangan, bangunan dan lainnya.

Belajar Bahasa Inggris sangat beda dengan belajar Bahasa Arab di sekolah. Dalam mempelajari Bahasa Arab, bagi umat Islam, minimal diterapkan dalam kehidupan nyata. Belajar Bahasa Arab otomatis belajar agama yang digunakan dan digunakan sehari-hari dalam membaca Al Quran, doa dan Salat. Bahkan dalam acara-acara ritual keagamaan di masyarakat sangat nyata.

Hal ini yang membedakan tingkap aplikasi bahasa. Dari sini muncul kesan bahwa ternyata belajar Bahasa Arab lebih mudah, lebih menarik dan lebih aplikatif daripada Bahasa Inggris. Masyarakat menganggap Bahasa Inggris untuk turis dan kalau kerja di luar negeri. Inilah yang menyebabkan belajar Bahasa Inggris dipandang sulit bagi rata-rata murid sekolah kita dari tingkat SD, SMP dan SMA atau SMK.

Meskipun di mana-mana ada tulisan Bahasa Inggris, terkesan suka-suka. Model pembelajaran kita di masyarakat cenderung 'seenaknya' dalam menyerap Bahasa Inggris. Orang jadi dibuat bingung antara istilah dan kosa kata. Kita pilih-pilih seenaknya dalam menerjemahkan Bahasa Inggris ke dalam Bahasa Indonesia.

Misalnya, United States of America diterjemahkan menjadi Amerika Serikat, tapi United Arab Emirates diterjemahkan menjadi Uni Arab Emirat. New Zealand diterjemahkan menjadi Selandia Baru. Tetapi Papua New Guinea tidak diterjemahkan. New Delhi juga tidak diterjemahkan. New York juga tidak. Nama negara Ivory Coast diterjemahkan menjadi Pantai Gading.

Padahal, kita tahu nama ya seharusnya diperlakukan sebagai nama, tidak bisa seenaknya kita terjemahkan. Sama halnya Kota Batu, Pulau Lombok, kota Palu, tidak bisa lantas orang Barat menyebutnya sebagai Stone City, Chilly Island dan Hammer City.

Demikian pula istilah pengetahuan lainnya, misalnya dalam istilah kesehatan kita mengenal Cardio Pulmonary Resuscitation (CPR). Biar seperti itu, karena itu adalah istilah temuan mereka. Tidak perlu diterjemahkan menjadi Resusitasi Jantung Paru (RJP).

Ini yang membuat professional kesehatan kita akhirnya belajar dua kali ketika mereka ingin ke luar negeri. Di kampus, semua istilah Bahasa Inggris diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, namun tidak tepat. Ketika lulus, ketemu turis, menghadapi pasien orang asing, atau ingin kerja di luar negeri, bingung lagi mencari istilah aslinya.

Orang kita juga kadang seenaknya mengadopsi Bahasa Inggris yang mestinya tidak perlu dipaksaakan. Belajarlah dari orang Malaysia bagaimana mereka memperlakukan dengan bijak antara Bahasa Melayu dan Bahasa Inggris.

Biarlah kata-kata 'export, import, stop, traffic light, mall, agenda, classic, music, social distancing, hingga new normal' sebagaimana aslinya. Biar orang tahu bahwa itu bukan 'milik' kita.

Tidak perlu dipaksakan menjadi 'ekspor, impor, setop, tanda-tanda lalu lintas dan lain-lain, seolah-olah menjadi milik atau bahasa kita. Hal ini tidak membuat kita belajar, justru pembodohan. Mari kita belajar jujur tentang kosa kata milik orang lain. Agar orang Inggris tidak sakit hati dengan kita. Sama seperti kita yang tidak rela jika Reyog Ponorogo diaku milik negara lain.

Bahasa Inggris masih digunakaan sebagai sarana untuk Jaga Image di negeri ini. Penguasaanya seolah-olah hanya pantas di kalangan pejabat dan artis, bukan masyarakat umum. Padahal, di mana-mana tulisan Bahasa Inggris tidak pernah bisa kita hindari. Kita justru bangga menggunakan Bahasa Sanskerta, milik asli orang India yang bukan Bahasa Internasional.

Bahasa Sansekerta bukan bahasa kita. Bahkan orang-orang Jawa sendiri banyak yang tidak paham. Apalagi orang luar Jawa. Kalau kita mau jujur, Bahasa Inggris adalah bahasa masa depan yang kita tidak bisa menolak.

Sayangnya, hanya segini ini level cinta kita terhadap nilai sebuah bahasa yang banyak menjanjikan masa depan kita. Baik dalam artian professional maupun kepentingan sosial. Bahasa Inggris bukan barang mewah. Kita tidak perlu berlebihan menyintainya. Tapi harus disadari bahwa Bahasa Inggris merupakan kebutuhan.

Malang, 31 Mei 2020
Ridha Afzal

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun