Selama kuliah di kampus keperawatan, kami belajar banyak mata kuliah yang membicarakan infeksi, sterilisasi, desinfeski dan sejenisnya. Istilah ini jadi makanan harian kami. Perawat dan dokter sepertinya sudah 'bosan' dengan materi yang bertajuk 'cuci tangan dan masker'.
Sekitar 40% mata kuliah kami yang terkait dengan upaya pencegahan penyakit serta promosi kesehatan. Materi ini umumnya dianggap 'menjenuhkan', karena saking seringnya. Makanya, jangan heran jika kadang kita temui petugas kesehatan entah lupa atau sengaja, tidak cuci tangan sebelum melakukan prosedur. Bahkan dengan percaya dirinya mereka bilang, :"Ada antibiotika..." Seolah tidak ada risikonya.
Dua bulan terkhir kita dikejutkan oleh berita meninggalnya perawat, dan juga lebih dari 30 orang dokter. Kedua-duanya professional yang bisa juga disebut sebagai The God Father of Health Care. Mereka yang ahlinya kesehatan, mengapa bisa terinfeksi? Jangankan public, orang kesehatan juga dibuat heran. Lebih heran lagi, menurut data terakhir, ada 36 dokter dan 32 perawat yang meninggal dunia karena Covid-19. Koq bisa?
Kita semua tahu, hidup mati manusia memang di tangan Tuhan. Kita tidak bisa protes. Setiap manusia sudah ada catatannya kapan lahir, kapan hidup dan kapan meninggal. Hanya caranya yang berbeda. Takdir kematian kita tidak punya pilihan. Tapi 'caranya' kita bisa milih. Misalnya, sama-sama akan mati, tapi jangan karena kanker paru oleh sebab kita doyan rokok. Kita bisa milih untuk tidak merokok. Jangan mati karena gaya hidup tidak sehat, lama di rumah sakit menghabiskan dana banyak. Sama-sama mati, jangan mati konyok karena terinfeksi. Apalagi sebagai petugas kesehatan.
Jika demikian, apa ada yang salah dengan petugas kesehatan yang terinfeksi virus Corona kemudian sampai meninggal dunia?
Ada dua penyebab besar mengapa petugas kesehatan bisa terinfeksi. Karena factor internal dan factor eksternal. Factor Internal, berasal dari dalam diri petugas. Sedangkan eksternal dari luar. Yang dari dalam diri petugas meliputi pengetahuan, keterampilan dan sikap (gaya hidup, gizi, kebiasaan, olahraga, dll).
Terkait aspek pengetahuan tidak diragukan. Rata-rata petugas kesehatan seperti dokter dan perawat memiliki standard ilmu yang relative sama terkait infeksi dan bagaimana mencegahnya. Demikian pula tentang keterampilan. Dokter dan perawat memiliki keterampilan standard bagaimana mencegah infeksi. Cuci tangan, masker, jaga jarak serta hindari kerumunan, mereka tidak perlu diajar. Justru mereka yang mengajar.
Yang jadi masalah adalah sikap. Meski perawat dan dokter tahu bahwa rokok itu berbahaya untuk kesehatan, anehnya mereka tetap merokok. Bahkan ada dokter jantung yang merokok. Perawat tidak terkecuali. Jadi, tingginya ilmu pengetahuan dn sikap tidak menjamin selarasnya sikap terkait bagaimana harus hidup sehat.
Saya pernah melihat langsung beberapa kali dokter atau perawat yang melakukan tindakan (prosedur) keperawatan atau kedokteran, tanpa menggunakan sarung tangan. Mereka perokok pula. Inilah contoh sikap. Jadi, jika ini yang terjadi, tidak heran mengapa ada dokter dan perawat yang terinfeksi virus Corona. Ini bisa dikakegorikan sebagai 'kelalaian' atau 'ceroboh' dalam kerjannya
Yang kedua, factor eksternal atau dari luar. Bisa dari lembaga tempat kerja, bisa standard operating procedure (SOP), kesediaan alat yang terbatas, kondisi pasien, lingkungan yang kotor, atau karena orang lain. Misalnya yang bersinggungan baik secara langsung atau tidak. Jika di tempat kerja tidak tersedia masker, sarung tangan, sabun cuci, baju kerja dan lai-lain, maka ini disebut sebagai kelalaian tempat kerja yang mestinya bertanggugjawab terhadap keselamatan dan kesehatan karyawannya.
Demikian juga jika tidak tersedia SOP yang sifatnya melindungi keselamatan, kesehatan karyawan. Atau terjadi kecelakaan kerja lantaran sarana dan prasarana yang tidak mendukung pekerja. Ini kita kategorikan sebagai factor eksternal.
Terkait dengan isyu Covid-19 ini, kita tidak bisa mengambil kesimpulan apakah mayoritas kematian mereka disebabkan oleh karena factor internal berupa kecerobohan atau kelalaian dokter dan perawat dalam bekerja atau karena factor eksternal berupa sarana dan prasarana yang kurang tersedia di tempat kerja. Kita butuh penelitian lebih detail untuk itu.
Hanya saja ada satu hal yang perlu disadari, bahwa semua petugas kesehatan, khususnya dokter dan perawat, pastinya tahu apa yang disebut Universal Precaution. Yakni kewaspadaan universal yang berupa upaya menghindar dari kontak dengan pasien, secara langsung khususnya dari ekskresinya (darah, semen, sekresi, urine, air liur, air kencing, lender dan sejenisnya). Oleh sebab itu dalam universal precaution alat-alat kedokteran/keperawatan harus digunakan dengan baik dan benar. Tujuannya adalah menghindarkan diri dari infeksi, mengendalikan infeksi serta mengurangi risiko penularan. Pemahaman tentang universal precaution di antara petugas kesehatan tidak diragukan lagi.
Persoalannya adalah, kadang mereka lupa, sibuk atau kondisi lainnya sehingga prinsip ini tidak diterapkan di tempat kerja pada semua situasi. Harusnya prinsip ini dikerjakan pada semua pasien, sehat atau sakit, diduga atau sudah positif. Semuanya dianggap berpontensi membahayakan diri mereka. Jika ini diterapkan, apalagi di era wabah saat ini, maka kasus tertular atau kematian petugas kesehatan karena virus Corona, bisa ditekan atau dikurangi.
Satu hal, jangan lupa, ada 'profesi' lain yang berada 'dibelakang layar' profesi ini yang sangat riskan bisa tertular atau menularkan. 'Profesi' ini selalu ada di sekitar petugas kesehatan, yakni 'Cleaner' atau tukang bersih-bersih di semua jenis layanan kesehatan. Mereka mestinya harus mendapatkan ekstra pengawasan dan pendidikan kesehatan terkait universal precaution. Karena merekalah yang membersihkan, menyapu, mengepel, mengangkut tempat sampah dari dan ke tempat pembuangan sampah. Sayangnya, mereka tidak pernah mendapatkan sorotan, namun besar peranannya dalam proses penularan ini.
Jadi, tidak peduli apakah dokter apakah perawat, mereka semua punya pilihan sejak dari awal, tanpa harus menyalahkan keadaan, Saat kita terinfeksi, tanyakan pada diri sendiri, apakah kita sudah terapkan Universal Precaution.
Tidak perlu salahkan tempat kerja, pemerintah atau pasien yang tidak jujur. Benar, bahwa lembaga tempat kerja wajib sediakan sarana dan prasarana universal precaution ini. Akan tetapi intinya, prinsip universal precaution harus dipegang teguh. Semua pasien dan orang-orang yang ada di lingkungan kerja harus dianggap berpotensi menularkan penyakit. Dengan demikiana kita akan ekstra hati-hati dalam bekerja. Kalau kesadaran ini muncul lantaran merebaknya Covid-19, barangkali profesionalitas kita yang perlu dipertanyakan.
Malang, 22 Mei 2020
Ridha Afzal
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H