Bu Karti tidak perlu membeli lauk pauk repot ke pasar yang jaraknya 2 km  lebih dari rumah. Harus jalan kaki naik turun bukit. Sayur bayam, kelor, kacang, cabe, tomat, cengkih, nangka, mangga, papaya, jambu, hingga durian, semua ada.
Dari penampilan fisiknya, pak Mingan terlihat sangat sederhana. Dari pakaian yang dikenakan, jauh dari sebutan seorang Petani USA. Tapi pak Mingan sebenarnya juga mengenakan topi dan sepatu. Hanya saja tidak mengendarai traktor. Karena jangankan kendaraan jenis ini. Sepeda motor aja sulit jalan di perbukitan Gunung Butak.Â
Pak Mingan mungkin tidak pegang uang, tetapi sebenarnya 'kaya', jauh lebih kaya dari pada orang-orang kota yang bermobil tapi dari hasil kredit alias hutang. Pak Mingan tidak punya hutang.
Prinsip hidup hematnya patut dicontoh meski tidak berstatus sebagai pegawai yang kerja secara formal degan gaji mapan. Pak Mingan sangat piawai memanfaatkan apa yang ada di sekitarnya. Kayu bakar tidak beli, sayu mayur, lauk pauk, bahan bangunan, ternak, semua ada tinggal ambil. Air diambil dari sumber di puncak bukit sejauh 2.5 km, dengan pipa plastik dialirkan ke rumahnya.Â
Ladangnya, saya sempat melihatnya, dengan mendaki gunung hingga hampir puncak ditanami pohon karet dan kelapa sawit. Beliau juga menanam rumput untuk Sapi dan kambingnya. Puteri pak Mingan, mbak Maryam kami memanggilnya, ibu satu anak, perawakannya kecil, namun sanggup memikul 40 kg 'rambanan' atau makanan ternak yang diambil dari perbukitan. Luar biasa.....
Pelajaran yang sangat berharga dari pak Mingan yang saya dapat adalah, ternyata untuk jadi orang cerdas itu tidak harus sekolah formal. Butuh kedisiplinan pun tidak harus sekolah. Konsistensi juga tidak butuh kuliah. Sekolah hanya pemoles. Ilmu dan keterampilan hanya persoalan formalitas. Sedangkan realitas adalah jauh lebih utama.Â
Lantas apa yang perlu dimiliki? Kesadaran akan tanggungjawab. Itu didapat turun-temurun dari orangtuanya. Mereka sangat rajin dan tepat waktu. Kapan harus berangkat ke sawah, ke ladang dan kapan harus pulang, jadwalnya tidak perlu ditulis pada gadget.Â
Dua hari di sana saya perhatikan semua. Ada handphone sebatas yang penting bisa digunakan untuk komunikasi. Cucunya yang semata wayang juga memanfaatkan mainan dari bahan kayu atau pasir yang ada di sekitar rumah.Â
"Kenapa anak-anak dulu tidak sekolah di kota?" Tanya saya.Â
"Lha nanti yang garap sawah ladang kami siapa?" Jawabnya sederhana. Pakaian yang penting ada. Toh sehari-hari di sawah dan ladang tidak butuh fashion.
Prinsip hemat yang digunakan pak Mingan ada tiga: memanfaatkan yang dia punya, memberdayakan yang ada dan tidak perlu konsumtif. Pak Mingan, sosok petani sejati, asli Indonesia.