Mohon tunggu...
Ridha Afzal
Ridha Afzal Mohon Tunggu... Perawat - Occupational Health Nurse

If I can't change the world, I'll change the way I see it

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Samingan: Kiat Hemat ala Petani

15 Mei 2020   15:29 Diperbarui: 15 Mei 2020   16:04 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Farmer, di United States of America, bergengsi. Mereka bertopi cowboy, mengenakan sepatu booth, sarung tangan, kadang masker, berkendara. Tangan-tangan dan kaki mereka nyaris tidak bersentuhan langsung dengan tanah dan lumpur. Bahkan dengan hasil bumi nya pun tidak. Farmer di Amerika kaya, sawah ladangnya berhektar-hektar. Memiliki gudang besar dan pablik selip sendiri. Yang bersentuhan dengan tanah dan hasil bumi namanya bukan Farmer, tapi buruh tani, alias worker, farming workers.

Di kita sangat beda. Semua orang yang bekerja di sawah, kita sebut 'Petani'. Padahal, sawah sepetak aja gak punya. Di sini kita tidak bisa bedakan mana petani dan mana buruh tani. Yang tertulis di KTP pun, tertera 'petani'. Kenyataannya, ya itu tadi, tidak punya lahan tempat bercocok-tanam. Tapi tidak mengapa. Lain negara, lain istilah. Yang penting kecerdasan. Petani atau buruh tani di kita kadang tidak kalah cerdas dengan yang ada di USA. Saya ingin bercerita sedikit tentang seorang Petani yang saya kenal dari Trenggalek Selatan.

Saya mengenalnya saat Lebaran tahun lalu, 2019. Diajak oleh senior jalan-jalan, silaturahim Lebaran. Dari Malang ke Trenggalek, motoran. Asyik juga. Sepanjang 7 jam perjalanan dari arab Malang meuju Trenggalek mengingatkan saya akan Takengon di Aceh Tengah. Sungguh indah pemandangannya. Kami berangkat malam Idul Fitri bertiga.

Tiba di sebuah desa namanya Salam Wates, Kecamatan Dongko, saya takjub. Desanya terletak paling ujung arah tenggara, persis dibatasi oleh hutan Pinus di beberapa bukit. Hijau, menawan. Dari jauh tidak kelihatan ada penghuninya. 

Ketika sudah sampai, kami tiba di sebuah dusun, persis di area perbukitan Gunung Butak namanya. Ada sekitar 20 rumah di lerengnya. Masing-masing berjarak antara 50-100 meter dari satu rumah ke rumah lainnya. 

Rumah Pak Samingan yang akan kami tuju berada di paling ujung timur, tidak ada rumah lain kecuali rumah beliau. Sebuah rumah kokoh, saya heran, koq bisa? Dihuni oleh 7 orang. Pak Samingan beserta istrinya, kedua mertua, anak dan menantu, serta cucu satu orang.

Pak Mingan saya memanggilnya, berusia 54 tahun. Pendidikan SD. Keterampilannya bikin saya geleng-geleng kepala. Luar biasa. Rumah yang didirikan adalah hasil karyanya, dibantu oleh orang-orang kampung. 

Sekalipun ada beberapa bahan bangunan yang beli di toko seperti semen, cat, paku, dan tegel, mayoritas adalah hasil karyanya sendiri. Beliau tebang kayunya sendiri di kebun. Diolah dan digergaji sendiri. Batu bata cetak sendiri. Pasir dan batu juga cari sendiri di sungai.

Pak Mingan memiliki beberapa hektar sawah dan ladang. Sawah ditanami padi, kadang jagung atau kacang. Semua digarap sendiri. Kadang bersama-sama orang Gunung Butak, semacam arisan kerja bhakti. Tidak ada istilah bayar jasa buruh tani di sana, termasuk kala panen tiba. Ada 6 kamar di rumahnya yang cukup besar, salah satunya digunakan untuk gudang atau lumbung padi. 

Saya melihat masih ada beberapa tumpukan padi dalam karung yang terlihat dari ruang makan saat kami bersantap bareng dengan keluarga mereka.Kebun pak Mingan lumayan luas di sekitar rumah. Ada lebih dari 10 ekor kambing, 3 ekor Sapi, dan puluhan ayam kampung. 

Sebelum kami tiba, ibu Karti, istri Pak Mingan menyembelih beberapa ekor ayam yang disajikan kepada kami. Lebaran di sana luar biasa nuansa festivalnya. Jauh dari keramian kota, namun tidak mengurangi makna begitu antusias warga mereka dalam menyambutnya. 

Bu Karti tidak perlu membeli lauk pauk repot ke pasar yang jaraknya 2 km  lebih dari rumah. Harus jalan kaki naik turun bukit. Sayur bayam, kelor, kacang, cabe, tomat, cengkih, nangka, mangga, papaya, jambu, hingga durian, semua ada.

Dari penampilan fisiknya, pak Mingan terlihat sangat sederhana. Dari pakaian yang dikenakan, jauh dari sebutan seorang Petani USA. Tapi pak Mingan sebenarnya juga mengenakan topi dan sepatu. Hanya saja tidak mengendarai traktor. Karena jangankan kendaraan jenis ini. Sepeda motor aja sulit jalan di perbukitan Gunung Butak. 

Pak Mingan mungkin tidak pegang uang, tetapi sebenarnya 'kaya', jauh lebih kaya dari pada orang-orang kota yang bermobil tapi dari hasil kredit alias hutang. Pak Mingan tidak punya hutang.

Prinsip hidup hematnya patut dicontoh meski tidak berstatus sebagai pegawai yang kerja secara formal degan gaji mapan. Pak Mingan sangat piawai memanfaatkan apa yang ada di sekitarnya. Kayu bakar tidak beli, sayu mayur, lauk pauk, bahan bangunan, ternak, semua ada tinggal ambil. Air diambil dari sumber di puncak bukit sejauh 2.5 km, dengan pipa plastik dialirkan ke rumahnya. 

Ladangnya, saya sempat melihatnya, dengan mendaki gunung hingga hampir puncak ditanami pohon karet dan kelapa sawit. Beliau juga menanam rumput untuk Sapi dan kambingnya. Puteri pak Mingan, mbak Maryam kami memanggilnya, ibu satu anak, perawakannya kecil, namun sanggup memikul 40 kg 'rambanan' atau makanan ternak yang diambil dari perbukitan. Luar biasa.....

Pelajaran yang sangat berharga dari pak Mingan yang saya dapat adalah, ternyata untuk jadi orang cerdas itu tidak harus sekolah formal. Butuh kedisiplinan pun tidak harus sekolah. Konsistensi juga tidak butuh kuliah. Sekolah hanya pemoles. Ilmu dan keterampilan hanya persoalan formalitas. Sedangkan realitas adalah jauh lebih utama. 

Lantas apa yang perlu dimiliki? Kesadaran akan tanggungjawab. Itu didapat turun-temurun dari orangtuanya. Mereka sangat rajin dan tepat waktu. Kapan harus berangkat ke sawah, ke ladang dan kapan harus pulang, jadwalnya tidak perlu ditulis pada gadget. 

Dua hari di sana saya perhatikan semua. Ada handphone sebatas yang penting bisa digunakan untuk komunikasi. Cucunya yang semata wayang juga memanfaatkan mainan dari bahan kayu atau pasir yang ada di sekitar rumah. 

"Kenapa anak-anak dulu tidak sekolah di kota?" Tanya saya. 

"Lha nanti yang garap sawah ladang kami siapa?" Jawabnya sederhana. Pakaian yang penting ada. Toh sehari-hari di sawah dan ladang tidak butuh fashion.

Prinsip hemat yang digunakan pak Mingan ada tiga: memanfaatkan yang dia punya, memberdayakan yang ada dan tidak perlu konsumtif. Pak Mingan, sosok petani sejati, asli Indonesia.

Malang, 15 Mei 2020.
Ridha Afzal

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun