Mohon tunggu...
Ridha Afzal
Ridha Afzal Mohon Tunggu... Perawat - Occupational Health Nurse

If I can't change the world, I'll change the way I see it

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

International Nurses Day, Jalan Perawat Kita yang Tersendat

12 Mei 2020   10:25 Diperbarui: 12 Mei 2020   14:59 795
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi tenaga medis. (KOMPAS.com/WALDA MARISON)

Membandingkan kualitas perawat kita dengan Amerika, Australia atau Inggris memang bukan pada tempatnya. Usia perawat kita masih berkepala 4, sementara mereka sudah satu abad lebih.

Padanan kita yang tepat mungkin adalah Thailand, Filipina, Malaysia dan Singapore. Itu pun, kita masih kalah sama mereka. Perbandingan Human Development Index (HDI) tahun 2019, Singapore no. 9. Malaysia no. 61, Thailand no.77. Filipina no. 106, dan Indonesia masih di urutan no. 111. Sekalipun HDI India ada pada nomer 129, tetapi soal pendidikan kita masih kalah dengan India. 

Di bidang keperawatan, India sudah memiliki Nursing Council sejak 1949. Sementara kita, tahun ini masih 'merekrut' calon-calon anggota yang diharapkan bisa menggodok Nursing Council. However, better late than never. 

Argumentasi yang kita gunakan terhadap keterlambatan atau ketidak-majuan ini selalu pada: butuh proses, sedang dalam proses atau butuh waktu. Kita tidak pernah berani mengakui bahwa keterlambatan ini karena kita malas dan belum bekerja secara maksimal dalam banyak hal.

Tiga bulan terakhir, maraknya kasus Covid-19, reputasi perawat mencuat. Nama baik mereka banyak disanjung. Bagus. Setidaknya ada perbaikan terhadap persepsi, baik itu dari Pemerintah, pejabat, maupun public terhadap perawat. 

Hanya saja, masih adanya penolakan public terhadap jasad perawat yang meninggal dunia karena Corona merupakan bukti nyata, bahwa masyarakat kita masih dangkal pemahamannya tentang makna kemanusiaan secara umum.

Tidak hanya kepada perawat, ini merupakan tantangan kita bersama. Tidak terkecuali tantangan perawat yang besar dalam mendidik masyarakat tentang tugas dan peran profesi perawat.

Saat ini, setidaknya lima persoalan besar yang dihadapi oleh perawat Indonesia sebagai bagian dari anggota Iternational Council of Nurses (ICN).

Pertama, sistem pendidikan. Sistem pendidikan keperawatan di negeri ini, masih amburadul. Sebetulnya yang disebut perawat itu yang mana dengan sistem pendididkan yang ada? 

Ada program D3, D4, Skep, Ners, dengan beragam rentetan gelarnya. Memang perawat bukan dokter. Tetapi pendidikan kedokteran sangat jelas.

Foto Perawat. (Dok. Pribadi)
Foto Perawat. (Dok. Pribadi)
Sistem pendidikan perawat beragam dan bikin orang bingung. Ada Stikes, Akper, Poltekkes, Stikep, Institut dan Universitas. Seolah-olah pada setiap kali ada pergantian kabinet, selalu diikuti pergantian sistem dan kurikulum, dengan mengatas-namakan peningkatan kualitas. 

Padahal, sebenarnya, sangat simple. Kalau kita memang tidak mampu, cukup 'Copy paste' saja apa yang sudah diterapkan oleh negara maju, yang sudah mapan sistem pendidikannya. 

Itulah jalan singkat kalau ingin diakui oleh masyarakat internasional. Saat ini, jangankan orang USA, Canada, Australia, serta Timur Tengah. Orang Malaysia dan Singapore saja, heran dengan sistem pendidikan keperawatan di Indonesia.

Kedua, masalah peluang kerja. Di dalam negeri, yang diinginkan komunitas keperawatan sebenarnya tidak muluk-muluk. Jika pemerintah tidak sanggup mengangkat lulusan pendidikan keperawatan jadi pegawai negeri, mestinya diberikan alternatif. 

Perawat kita lahir dan besar di negeri ini. Per tahunnya sekitar 41.000 jumlah lulusannya, Pemerintah hanya mampu menyerap 15% nya. Katakan yang diserap swasta mencapai 30%. 

Artinya yang tidak bisa terserap oleh lapangan kerja masih 55% dengan status lulusan 'gentayangan'. Lebih dari 20.000 perawat per tahun tidak tahu arah yang sesuai profesinya. 

Seharusnya, Pemerintah mampu menawarkan solusinya. Misalnya, memaksimalkan dunia entrepreneurship di lingkungan kesehatan, perketat aturan industri yang jumlah pegawainya 100 orang lebih untuk mempekerjakan perawat, perketat perbandingan perawat dan pasien di RS negeri dan swasta, atau mendukung praktik mandiri yang sudah diundang-undangkan.

Ketiga, permudah sistem rekrutmen ke luar negeri. Memang, tidak semua perawat kita ingin kerja di luar negeri. Tapi tidak menolak kenyataan, ada mereka yang ingin kerja di luar negeri. Minat mereka inilah yang perlu diakomodasi. 

Himbau para Dubes-dubes kita untuk serius menangani masalah ini, sebagaimana terjadi pada Dubes Filipina, India, yang memiliki kemampuan diplomasi tinggi. Indonesia adalah salah satu negara pemroduksi perawat terbesar ke 4 di dunia, sesudah USA, China, serta India. 

Pemerintah seharusnya mempermudah pembuatan Passport, perbanyak jumlah PJTKI di daerah, menciptakan lembaga pelatihan BLK di daerah untuk kepentingan ini agar perawat-perawat di Indonesia Bagian Tengah atau Timur tidak perlu ribet harus ke Jakarta. 

Mengirimkan perawat Indonesia ke luar negeri ini bukan persoalan penambahan perolehan devisa negara semata. Perawat kita yang kerja di uar negeri merupakan duta bangsa, yang mampu mengangkat harkat dan martabat nama baik bangsa Indonesia. 

Perawat Indonesia bukan hanya mencari uang, akan tetapi bersaing, mampu berbicara lantang di depan forum-forum internasional sekelas WHO dan UNICEF. Inilah keuntungan Indonesia di mata dunia, sebagai bangsa yang besar.

Keempat, pembentukan Nursing Council adalah kebutuhan. Tanpa lembaga ini, profesi perawat bisa jadi bahan bulan-bulanan karena tidak jelas siapa yang mengatur. Perawat memang orang kesehatan, tetapi orang kesehatan bukan perawat. 

Oleh sebab itu hanya Nursing Council yang mengerti bagaimana menciptakan profesi keperawatan ini, bukan profesi kesehatan secara umum. Badan independent inilah yang berhak mengatur internal masalah keperawatan di Indonesia. Ketidak-beradaan konsil yang independen ini menyebabkan perawat kita limpang-limpung. 

Tanpa konsil ini, standard pendidikan keperawatan kita dipertanyakan. Tanpa konsil, pendidikan keperawatan tidak berstandard, sistem registrasinya tidak tertata, serta nasib perawat banyak yang tidak jelas. 

Ketiadaan konsil inilah salah satu penyebab menderitanya ribuan perawat kita, setiap tahun dan terancam kronis. Kalau gelar, perawat sudah banyak memiliki doctor dan professor. Jadi bukan alasan, perawat tidak kompeten mengatur profesinya sendiri.

Kelima, kalau hanya soal makan, perawat tidak bakal mengalami Busung Lapar. Namun sebagai professional, perawat membutuhkan perlakuan sebagaimana professional lainnya, khususnya dalam lembaga-lembaga resmi Pemerintahan di bawah naungan Kementrian Kesehatan. Idealnya, perawat memiliki Departemen Keperawatan dalam naungan Kementrian Kesehatan. 

Di Kuwait saja, negeri kecil kemarin sore, ada Department of Nursing nya. Kita mestinya malu. Adanya Nursing Council dapat memperjelas arah leadership profesi. 

Memang, saat ini sudah ada sejumlah perawat yang jadi Kepala Puskesmas, juga ada satu-dua orang perawat sebagai kepala rumah sakit(?), namun belum maksimal. Mestinya, di zaman now, perawat tidak lagi dianak-tirikan. 

Mengelola organisasi seperti klinik, RS butuh orang yang handal di manajemen, bukan yang pintar bedah jantung. Dalam sistem layanan kesehatan manapun, jumlah perawat paling besar. 

Perawatlah pasukan terdepan di hampir semua sektor kesehatan di negeri ini. Perawat yang menjemput pasien, dan perawat pula yang ngantar pulang pasien. 

Dari Posyandu, Puskesmas, klinik hingga RS Pusat type A hingga D. Ironisnya, masih ribuan perawat yang tidak jelas statusnya. Ada yang digaji Rp 150.000 per bulan, tidak berontak. Ada yang lebih dari 10 tahun kerja, tidak berubah status kepegawaiannya. Kenapa? Mungkin satu penyebabnya adalah karena tidak adanya perawat yang terlibat dalam pembuatan kebijakan.

Dari berbagai permasalahan di atas dapat dimaklumi mengapa masih banyak perawat yang belum mendapatkan perlakuan yang layak di negeri ini. Baik yang terkait dengan pendidikan, pekerjaan, sistem penggajian maupun penyetaraan lainnya. 

Perawat masih banyak mendapatkan diskriminasi dalam banyak hal. Momen International Nurses Day ini bisa digunakan sebagai event yang tepat untuk merefleksi diri bagi perawat Indonesia.

Bahwa, terlepas dari berbagai ketimpangan dan keterbatasan negeri ini dalam mengatur dan memperlakukan perawat sebagaimana perlakuan terhadap profesi kesehatan lainnya, harus 'dimaklumi'. Perawat tetap harus berjuang.

Ke depan, perawat Indonesia menghadapi tantangan yang lebih besar daripada Corona. Adalah sangat bijak, perawat yang dewasa tidak harus menyalahkan siapa-siapa atas berbagai permasalahan yang dihadapi saat ini. 

Perawat yang dewasa adalah yang mampu mengidentifikasi serta menyelesaikan masalahnya sendiri. Walaupun campur tangan Pemerintah dan swasta serta berbagai pihak terkait, sangat dibutuhkan. 

Menghitung kontribusi perawat saja belum cukup di negeri ini. Perawat harus bekerja keras lagi agar layak disebut profesi. Supaya yang tertulis di dalam ijazah, sama dengan yang ditemukan oleh masyarakat dalam dunia nyata.

Happy International Nurses Day
Malang, 12 Mei 2020.
Ridha Afzal

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun